jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Senin, 20 Juni 2011

Negeri beda pendapat…

“Betapa pun sulit, perbedaan pendapat karena perbedaan pendekatan atau latar belakang orientasi, seharusnya dianggap wajar dan manusiawi. Bahkan, kalaupun yang berbeda pendapat itu sama-sama seorang nabi…”

Kutipan bijak itu saya petik dari kumpulan tulisan almarhum KH M Cholil Bisri dalam bukunya Menuju Ketenangan Batin. Sebuah pesan yang bagi saya begitu mendalam dan penuh makna bagi sebuah negeri yang mempunyai moto Bhineka Tunggal Ika ini.

Kiai Cholil, dalam tulisan itu secara tersirat ingin menggambarkan bahwa beda pendapat pada diri manusia itu sesungguhnya sesuatu yang amat wajar, manusiawi. Bahkan manusia paling mulia seperti nabi pun bisa berbeda pendapat tatkala masing-masing belum mengerti makna atas sebuah tindakan yang dilakukan.

Yang terpenting, ketika beda pendapat itu terjadi hendaknya tidak disikapi secara tergesa-gesa dan penuh emosi. Klarifikasi secara jujur dan bertindak bijak serta arif bijaksana atas sebuah perbedaan adalah hal terbaik layaknya jalan yang ditempuh para nabi.

Mbah Cholil mencontohkan beda pendapat antara Nabi Khidir dan Nabi Musa adalah kisah yang patut menjadi teladan. Suatu ketika Nabi Musa memaksa untuk terus mengikuti Nabi Khidir. Namun Nabi Khidir meminta janji Musa untuk tidak bertanya apa pun yang dilakukan Nabi Khidir. Nabi Musa menyanggupinya. Sepanjang perjalanan, begitu banyak hal tindakan Nabi Khidir yang ditentang Nabi Musa karena dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dipahaminya.


”Apa kataku? Kamu tidak akan sabar mengikuti perjalananku,” begitu kata Khidir karena banyak tindakannya yang tidak sesuai dengan pendapat Nabi Musa.

Beda pendapat itu diakhiri dengan kesepahaman bahwa di antara mereka sesungguhnya tidak terdapat pengetahuan dan orientasi yang sama. Karenanya, Nabi Khidir pun akhirnya meninggalkan Nabi Musa. ”Ketahuilah, bahwa segala tindakan yang aku lakukan sepanjang perjalanan tadi sesungguhnya bukan atas kemauanku sendiri namun atas perintah Tuhan. Itulah alasan-alasan tindakanku yang kamu tidak mampu bersabar terhadapnya. Selamat tinggal,” kata Nabi Khidir dan akhirnya meninggalkan Nabi Musa.

Begitulah. Dalam kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa itu, KH Cholil Bisri menutup dengan kesimpulan bahwa semua tindakan itu memerlukan alasan. Tindakan seseorang yang secara lahir berbeda, seharusnya tidak dengan tergesa-gesa disikapi.

”Klarifikasi dengan jujur adalah tindakan bijak. Menjelaskan dengan jujur dan objektif adalah kearifan. Jujur dan arif yang sangat diperlukan pada saat sebuah komunitas harus melalui masa transisi untuk memperbaiki keadaan, adalah niscaya. Betapa pun sulit, perbedaan pendapat karena perbedaan pendekatan atau latar belakang orientasi, seharusnya dianggap wajar dan manusiawi. Bahkan, kalaupun yang berbeda pendapat itu sama-sama seorang nabi,” tulis KH Cholil Bisri.

Beragam perbedaan

”Berlaku jujur, bertindak objektif dan bersikap arif bijaksana. Itulah sesungguhnya kuncinya ya Mas Warto,” kata Denmas Suloyo kepada temannya, Mas Wartonegoro, tatkala saya menyampaikan pesan Kiai Cholil Bisri dalam sebuah obrolan di warung hik kampung saya.


”Ya, betul. Itulah yang kurang di negeri kita yang Bhineka Tunggal Ika ini. Banyak orang tidak jujur, banyak yang tidak objektif ditambah kurang arif dan bijak. Jadinya, perbedaan yang sebenarnya merupakan fitrah manusia itu menjadi kian tajam. Bentrokan di mana-mana, teroris tidak kunjung berkurang dari negeri ini sekalipun para gembongnya sudah tidak ada,” jawab Mas Wartonegoro.

Lantas, apa yang mestinya kita lakukan? Bagi saya, kesadaran dan penyadaran bersama adalah solusi paling utama untuk mengembalikan jati diri bangsa. Bentrokan, kekerasan dan teror dengan bom secara masif rasanya baru mulai kita rasakan dalam dua belas tahun terakhir ini. Sejak dahulu kala, beragam perbedaan telah ada di negeri kita. Namun perbedaan itu justru bisa dikelola menjadi suatu kesepahaman bersama sehingga lahirlah moto ”walau pun berbeda-beda tetapi tetap satu jua”, bhineka tunggal ika.

Perbedaan pendapat, tidak bisa diselesaikan dengan cara kekerasan. Kekerasan akan melahirkan kekerasan berikutnya dan begitu seterusnya. Oleh karenanya, untuk meredam gejolak di masyarakat akibat perbedaan pendapat perlu tindakan nyata, kerja keras para alim ulama, para negarawan, kaum elite di negeri ini. Mereka harus jujur, objektif, adil, arif dan bijaksana untuk mengikis tindakan radikalisme, fanatisme tanpa dasar ilmu yang kuat.

Mari kita renungkan, betapa kita sebagai sebuah bangsa yang besar penting untuk senantiasa memiliki kesadaran tentang kebersamaan, memahami bahwa perbedaan pendapat itu sesungguhnya bagian dari rahmat Tuhan. Karenanya, mari kita pahami apa yang pernah dikatakan Emha Aiunun Nadjib dalam salah satu tulisannya bahwa kita ini masih tidak terbiasa dengan demokrasi ilmu, pencakrawalaan wacana, ketangguhan mental sosial. Tak ada kematangan filosofi hukum, kedewasaan budaya, dan kedalaman nurani keagamaan, untuk sanggup memahami perbedaan pendapat.

Oleh: Mulyanto Utomo, Wartawan SOLOPOS
Sumber: Solopos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar