Banyak yang terperangah mendengar salah satu hasil Munas ke-2 PKS yang menyatakan PKS sebagai partai terbuka; terbuka untuk segala suku, latar belakang, bahkan agama. Selama ini, PKS dikenal sebagai partai Islam, bahkan partai dakwah. Sulit membayangkan suatu hari nanti PKS akan dipimpin oleh orang-orang Non-Muslim.
Orang bisa larut dalam imajinasinya sendiri-sendiri. Struktur PKS memang kental dengan 'aroma’ Islam. Entah apa jadinya jika suatu hari nanti posisi ust. Surahman Hidayat sebagai Ketua Dewan Syariah Pusat (DSP) digantikan oleh seseorang yang nama depannya Fransiscus Xaverius, atau seorang doktor lulusan sekolah teologi. Entah bagaimana menjelaskan kepada publik jika Majelis Syuro diisi dengan orang-orang Non-Muslim, sementara ”syuro” itu sendiri merupakan istilah yang tak mungkin dipahami tanpa menggunakan worldview Islam.
Paling tidak ada dua 'tikungan' yang telah diambil oleh PKS sebelumnya, yang harus kita pahami bersama sebelum mencerna hasil Munas yang satu ini. Pertama, ketika dakwah mengambil bentuknya dalam wujud sebuah partai politik. Ketika hal itu terjadi, maka para da’i harus benar-benar siap mengurus negara, mulai dari level tertinggi hingga yang paling rendah, baik urusan Muslim maupun Non-Muslim. Kedua, ketika parpol ini dijadikan entitas yang menyeluruh yang dapat mewakili dakwah itu sendiri. Dengan demikian, bukan dakwah yang dibatasi oleh bentuk sebuah parpol, melainkan batasan-batasan parpol itulah yang kita tarik seluas-luasnya sehingga memiliki daya jangkau yang sesuai dengan tabiat dakwah. Tabiat dakwah, sebagaimana penjelasan ust. Surahman Hidayat dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi swasta, adalah "mengakses semua dan untuk semua!"