jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Minggu, 01 Februari 2009

Bola di Tangan Parpol Islam


INILAH.COM, Jakarta. Eskalasi politik menjelang Pemilu 2009 makin hangat menyusul gagasan poros tengah dari Din Syamsudin. Alasan Din jelas dan gamblang. Saat ini, bola ada di partai politik Islam. Beranikah parpol Islam melawan SBY?

Keberanian parpol Islam bisa diukur dari jejak rekam politik sepanjang era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Indikasinya, bisa dilihat dari sikap parpol Islam menyikapi beberapa momentum politik yang dianggap penting di parlemen.

Dari komposisi Kabinet Indonesi Bersatu (KIB) pimpinan SBY, semua unsur partai Islam terlibat di KIB. Sebut saja, Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali menjadi Menteri Negara Koperasi dan UKM, Sekjen DPP PKB Lukman Edy sebagai Menteri Negara Percepatan Daerah Tertinggal (PDT), Pengurus DPP PKB Erman Suparno menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Dari unsur PKS, ada Menteri Pertanian Anton Apriyantono dan Adyaksa Dault sebagai Menteri Negara Pemuda dan Olahraga. Selain itu, PBB ada MS Kaban sebagai Menteri Kehutanan. Di partai pimpinan Soetrisno Bachir, PAN pun juga ada wakil di kabinet SBY yaitu Menteri Sekertaris Negara Hatta Radjasa dan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo.

Keterlibatan politisi Islam di KIB, jelas mempengaruhi ritme relasi antara parpol Islam dengan pemerintahan SBY. Setidaknya sampai muncul kontroversi hak angket BBM, parpol Islam dipastikan selalu mengamankan kebijakan pemerintah. Beberapa kali upaya hak angket dan interpelasi yang kandas di tengah jalan, tidak terlepas dari sikap politik partai Islam di parlemen.

Munculnya kejanggalan parpol Islam dalam hak angket, menurut analis politik, tidak terlepas dari situasi menjelang Pemilu 2009. Upaya menjaga jarak dengan pemerintah menjadi langkah jitu untuk mendongkrak popularitas parpol.

Kendati demikian, secara umum, sikap parpol Islam terhadap pemerintahan SBY cenderung mencari aman. Ini juga tidak terlepas dari sikap politik SBY yang tak jarang memberi angin segar bagi kalangan Islam. Sebut saja, soal UU Pornografi yang mendapat dukungan all out dari partai Islam dan ormas Islam.

Kendati begitu, menurut Din, poros tengah tidak dimaksudkan untuk mengunci figur SBY maupun Mega dalam Pilpres 2009 mendatang. “Jika mereka bersepakat misalnya mengusung SBY, itu terserah mereka (partai politik Islam, red),” katanya kepada INILAH.COM.

Namun, bagi pengamat politik Indria Samego, keberadaan poros tengah merupakan alat pemecah kebuntuan politik dengan bipolarisasasi dua kekuatan antara SBY dan Mega. “Poros tengah untuk memecah kebuntuan politik dalam rekrutmen kepemimpinan nasional. Agar tidak lu lagi-lu lagi,” tegasnya.

Sementara Ketua Fraksi PPP DPR, Lukman Hakiem Saifudin menyambut positif ajakan poros tengah oleh Ketua PP Muhammadiyah tersebut. Meski demikian, Lukman menyaratkan, poros tengah mungkin dapat terealisasi pasca pemilu legislatif. “Jadi konsolidasi konkret dapat terwujud pasca pemilu legislatif. Sangat terbuka poros tengah mencalonkan presiden/wakil presiden,” katanya, Jumat (12/12) di Jakarta.

Sementara, Ketua FPKS DPR Mahfudz Siddiq mempertanyakan pijakan poros tengah dengan membuat blok Islam dan non-Islam. Meski demikian, ia menyambut positif koalisi antar partai politik Islam. “Perlu dipertimbangkan apakah polarisasi aliran di Indonesia masih relevan atau tidak,” katanya kepada INILAH.COM, Jumat (12/12) di Jakarta.

Menurut Mahfudz, jauh lebih penting dari pembentukan koalisi partai Islam adalah pembentukan konfederasi besar partai-partai dari beragam latar belakang. “Konfederasi inilah diproyeksikan menjadi partai berkuasa dan partai oposisi,” tegasnya.

Di internal partai politik Islam memang terjadi ganjalan yang tidak sederhana dalam membentuk koalisi partai-partai Islam. Selain pertimbangan pragmatis terkait dengan incumbent, persoalan di masing-masing internal partai politik juga tidak mudah diatasi. PKS, misalnya, beberapa waktu terakhir berjuang keras untuk beranjak menjadi partai terbuka.

Meski begitu, Din menilai, politisi Islam terlalu inferior dan apologetik soal identitas kepartainnya. “Politisi Islam janganlah inferior. Bukankah mereka mengidentifikasi sebagai partai Islam,” kata Din. Berani tidak Partai Islam lawan SBY?