jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Senin, 20 Juni 2011

Napak Tilas Dakwah PKS di BIAK NUMFOR

Oleh: Cahyadi Takariawan

Tiba juga akhirnya di Biak Numfor. Berjuta kenangan saya membuncah di daerah yang satu ini. Ingat saat sembilan tahun yang lalu, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki ke Biak atas kehendak Allah. Pengalaman yang sungguh tidak akan terlupakan seumur hidup saya.

Saya datang ke Biak Numfor sembilan tahun lalu itu sesungguhnya bukanlah termasuk dalam jadual yang direncanakan. Semula rekan-rekan aktivis dakwah di Papua mengajak saya mengunjungi Biak dan meneruskan perjalanan selanjutnya dari Biak. Akan tetapi, karena berbagai keterbatasan, rencana ke Biak akhirnya dibatalkan, sehingga dari Jayapura rencana langsung ke Makassar, padahal rekan-rekan aktivis di Biak telah menyiapkan berbagai kegiatan.

Mendapatkan berita pembatalan rencana saya ke Biak, Bandi Sukmadi, seorang aktivis dakwah di Biak bergurau kepada rekan-rekan lainnya, “Kita buat trouble saja pesawatnya, sehingga bisa singgah di Biak”. Barangkali ungkapan kekecewaan mereka telah sedemikian rupa, sehingga didengarkan dan dikabulkan Allah.

Pesawat Merpati yang saya tumpangi dari Jayapura menuju Makassar, direncanakan transit di Timika, dan langsung ke Makassar. Selepas transit di Timika, baru 30 menit terbang, mendadak ada pengumuman dari kapten penerbangan, bahwa pesawat mengalami kerusakan dan terpaksa mendarat di Biak untuk melakukan perbaikan. Akhirnya jam 11.00 wit Merpati mendarat di Biak. Selama hampir dua jam menunggu perbaikan, saya mengontak rekan-rekan aktivis Jayapura agar dihubungkan dengan para aktivis di Biak, tetapi ternyata tidak berhasil.

Kurang lebih jam 13.00 wit pesawat berangkat lagi, karena telah berhasil diperbaiki. Akan tetapi baru 30 menit terbang, kembali kapten penerbangan memberikan pengumuman bahwa pesawat masih mengalami kerusakan sehingga akan mendarat untuk kedua kalinya di Biak. Jam 14.00 wit pesawat kembali mendarat di Biak, dan saya kembali mengontak rekan-rekan Jayapura Ternyata perbaikan pesawat cukup lama, dan tidak ada kejelasan nasib penumpang apakah akan ganti pesawat atau menginap, atau alternatif lainnya. Di pesawat itu ada juga dua selebritis, Lulu Tobing dan Garin Nugroho yang tengah syuting film di wilayah Papua.

Jam 17.00 wit datanglah beberapa aktivis dakwah Biak ke bandara. Karena tidak ada kejelasan nasib sampai jam 17.30 wit, akhirnya saya putuskan untuk mabit di Biak agar bisa bertemu dengan para aktivis dakwah, dan baru besok harinya diteruskan perjalanan ke Makassar. Ternyata Merpati memberikan fasilitas untuk itu, berupa hotel gratis. Jadilah bertemu dengan aktivis dakwah di Biak pada malam harinya. Seusai pertemuan, Bandi mengatakan, “Kami berharap lebih sering ada kunjungan ke Biak, dan bukan hanya karena pesawat yang rusak”.

“Tapi pesawatnya rusak itu berkat doa anda”, jawab saya.

Ah, itu kenangan tahun 2002 saat pertama kali saya “dipaksa” transit di Biak agar bisa bertemu para kader dakwah yang sangat merindukan kehadiran saudaranya. Skenario Allah pasti terjadi, dan sarananya adalah kerusakan pesawat Merpati.

Setelah peristiwa itu saya beberapa kali hadir lagi dengan sengaja dan direncanakan ke Biak. Di antara kehadiran yang paling sering adalah di tahun 2004. Saya sempat bolak balik di wilayah Papua membersamai para aktivis dakwah dalam berbagai kegiatan mereka. Semenjak itu, saya tidak pernah lagi mengunjungi Biak. Baru sekarang bisa hadir kembali, setelah tujuh tahun absen.

Tadi pagi saya mendarat di Biak Numfor dari Jayapura. “Rarama Be Bye Ro”, selamat datang di Biak, demikian ungkapan di bandara Frans Kasiebo. Tampak para senior di Biak menjemput saya dan isteri di bandara. Ada pak Sumardi, Agus Riyanto dan beberapa aktivis lainnya. Senang sekali rasanya bisa kembali berjumpa mereka.

“Kita menginap di Basana Inn ustadz”, kata pak Sumardi.

Kamipun diantar menuju Hotel Basana Inn, tempat saya biasa menginap setiap kali ke Biak tujuh tahun yang lalu.

Tidak banyak berubah. Saya segera ingat tempat ini, serasa di rumah sendiri. Ya, tidak salah lagi. Kamar-kamar yang berjajar seperti kos mahasiswa, masih seperti dulu. Di sini saya selalu menginap sejak pertama kali datang ke Biak sembilan tahun lalu. Saya segera melihat ke arah depan hotel. Waw, masih sama juga. Warung makan Jawa Timur yang menyediakan Pecel Madiun. Di warung itu biasanya saya sarapan atau makan siang. Ah, benar-benar utuh mengenang kegiatan antara 2002 hingga 2004. Saya serasa kembali ke masa lalu. Sangat indah.

Di tahun 2004 saya pernah membuat rekan-rekan aktivis dakwah di Biak cemas, karena pesawat yang membawa saya dari Serui menuju Biak ternyata dibatalkan penerbangannya disebabkan faktor cuaca. Sangat biasa kejadian seperti ini di wilayah Papua. Cuaca cepat berubah, sehingga pesawat-pesawat kecil tidak berani terbang dalam cuaca buruk. Akhirnya pesawat batal terbang pada hari itu dan ditunda besok atau bahkan lusa menunggu cerahnya cuaca.

Saya harus sampai di Biak malam itu, karena esok paginya ada acara publik yang harus saya hadiri. Tapi saya masih di Serui karena pesawat batal terbang. Hari sudah menjelang malam. Tidak ada cara lain, kecuali melewati laut, menyeberang menuju Biak. Masalah berikutnya muncul, sudah tidak ada lagi kapal penumpang yang beroperasi pada jam yang sudah hampir malam ini. Satu-satunya cara adalah menyewa speedboat.

Bismillah, saya naik speedboat mengarungi lautan lepas dari Serui menuju Biak. Enam jam di atas lautan, berdua saja dengan pengemudi speedboat. Ombak di tengah lautan terasa cukup besar sehingga speedboat seperti terbanting-banting. Jalannya speedboat harus berkelok-kelok menyesuaikan dengan irama ombak yang datang. Sangat gelap suasana malam hari itu, atas izin Allah sampai juga saya di Biak. Alhamdulillah.

Betapa bahagia para aktivis dakwah di Biak menyambut kedatangan saya turun dari speedboat. Pertama bahagia karena saya selamat, mengarungi lautan lepas dengan speedboat selama enam jam, berdua saja dengan pengemudi. Kedua bahagia karena saya bisa datang mengisi acara yang telah dijadwalkan. Jika saya tidak hadir, acara yang digelar para aktivis dakwah di Biak bisa berkurang nilainya, karena nama saya sebagai pembicara terlanjur dipublikasikan luas.

Saya masih termangu ketika dipersilakan masuk kamar oleh petugas hotel. Benar-benar utuh kenangan saya, hadir semuanya. Begitulah cara petugas Basana Inn mempersilakan tamunya. Di tangannya ada obat nyamuk semprot, dia menyemprotkan obat nyamuk sebelum tamu masuk kamar. Ya, persis, seperti itu sejak sembilan tahun yang lalu. Tidak ada yang berubah. Kamipun masuk kamar, dan meletakkan barang-barang bawaan.

Tak sabar saya mengajak isteri sarapan pagi di warung makan Jawa Timur yang berada di seberang hotel. Pecel Madiun, itu menu kesukaan saya di warung ini. Masih sama juga suasananya. Benar-benar muncul dengan sangat kuat semua kenangan di Biak Numfor.


Siang selepas Dhuhur bertemu dengan para kader senior di Biak Numfor. Banyak sekali wajah baru, belum saya jumpai tujuh tahun lalu saat terakhir ke Biak. Alhamdulillah, banyak tenaga baru untuk menggarap ladang dakwah di sini. Bertempat di TKIT Permata Insani saya menyampaikan tausiyah untuk mereka. Saya merasa bangga dengan perkembangan dakwah di Biak yang tampak di mata, seperti munculnya sekolah TKIT dan SDIT yang dulu belum ada.

Sore selepas Ashar bertemu kader dalam forum yang lebih luas. Saya memberi tausiyah tentang Ketahanan Keluarga, bertempat di sekolah SDIT. Syukur alhamdulillah, saya merasa sangat berbahagia bisa bertemu mereka semua. Sungguh saya sangat merindukan rekan-rekan di sepanjang wilayah Papua, karena saking lamanya tidak datang mengunjungi mereka.

Malam selepas Isya’, para aktivis dakwah berkumpul di rumah pak Sumardi untuk menjamu kami dengan bakar ikan. Subhanallah, saya ingat saat di Sydney dijamu pak Anwar dengan bakar barbeque di halaman belakang rumahnya yang luas. Malam ini saya bersama para kader dakwah Biak bersantai dengan bakar ikan di halaman depan rumah pak Sumardi. Para ummahat duduk di ruang tamu mendengarkan tausiyah dari isteri saya. Sedangkan para suami sibuk dan asyik membakar ikan segar di halaman depan rumah.

Sangat tersanjung kami diperlakukan sangat istimewa oleh para kader di Biak Numfor. Saya merasakan getar kerinduan yang sama seperti saya rasakan. Terimakasih atas penghormatan yang luar biasa ini. Walau hanya sempat menginap satu malam, namun sungguh sangat berkesan bagi saya. Ini benar-benar napak tilas perjalanan 2002 – 2004. Semua kenangan saya muncul dengan sangat kuatnya.


Selamat bekerja, selamat berkarya saudara-saudaraku di Biak Numfor. Bumi dakwah yang anda pijak ini sangatlah luasnya. Sangat banyak pula tantangannya. Namun justru dengan itu akan menghidupkan gairah dan semangat anda tanpa jeda. Justru dengan itu akan memupuk rasa cinta dan setia anda di jalan dakwah ini tanpa sisa. Nikmati semuanya : lelahnya, kendalanya, keterbatasannya, tantangannya. Semuanya, nikmati saja.

Jangan sampai sisa.

Biak Numfor, 15 Juni 2011

Sumber: Cahyadi Takariawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar