Di saat masyarakat Indonesia kian gandrung terhadap rokok, Muhammadiyah tampil dengan fatwa kontroversialnya, yakni keharaman rokok yang sebelumnya bertengger di peringkat mubah. Di internal Muhammadiyah, fatwa haram rokok itu menuai pro dan kontra. Mantan orang nomor satu di Muhammadiyah, Amien Rais, satu di antara orang yang menyayangkan fatwa tersebut. Sementara di luar Muhammadiyah, bisa dipastikan berbagai kecaman sulit dihindari, khususnya pegiat industri rokok.
Sesekali fatwa itu dikaitkan dengan tradisi di organisasi “tandingan” Muhammadiyah, NU, yang masih teguh pada pendirian bahwa rokok hukumnya tidak haram, melainkan mubah. Satu alasannya, tidak ada keterangan tegas dan jelas yang menjatuhkan vonis haram terhadap rokok. Oleh karenanya, statusnya dikembalikan pada hukum asal, yakni diperbolehkan. Artinya, segala sesuatu yang tidak ada larangan maka hukumnya adalah mubah alias boleh. Kendati demikian, jika sesuatu tanpa aturan itu mendatangkan mudarat atau membahayakan, tak bisa tidak, tanpa titah ilahi secara tersurat pun statusnya adalah haram.
Dalam konteks fatwa haram Muhammadiyah, walau belum disepakati secara nasional, sedikit mengundang pertanyaan yakni penalaran logika atau runtutan metodologi-sitematis yang dikedepankan Muhammadiyah. Bagaimana metodologi yang digunakan Muhammadiyah dalam kasus ini? Sejauh manakah Muhammadiyah mempertimbangkan aspek sosiologis atau pembacaan terhadap dampak yang ditimbulkan sebagai sandaran menarik hukum atau fatwa haram rokok? Pertanyaan di atas penting. Sebab, konsistensi metodologi ijtihad sejatinya menjadi pertimbangan, bukan alasan-alasan lainnya yang mengaburkan kemuliaan fatwa. Jika benang merah fatwa itu dapat ditarik, berbagai tuduhan dependen atau intervensi terhadap fatwa secara tidak langsung tertolak.