jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Jumat, 28 November 2008

PKS Taliban?


Tulisan I Made Artjana soal nasionalisme Partai Keadilan Sejahtera (PKS) cukup menarik untuk ditanggapi. Dibandingkan dengan partai-partai Islam lain, PKS memang paling mendapat sorotan.

Banyak kalangan memang mencurigai partai yang berasal dari anak muda kampus ini mengusung agenda tersembunyi. Yang paling banyak dicurigai partai ini merupakan partai trans nasionalis dan mengusung semangat Pan Islamisme.

Karena itu para politisi lain secara diam-diam menjuluki mereka sebagai Taliban, merujuk pada kelompok pelajar di Afghanistan yang mengambilalih kekuasaan dan memberlakukan aturan-aturan Islam tradisional secara tegas.

Apakah kecurigaan mereka berdasar atau sekedar kecemburuan? Sebab partai ini secara fantastis mampu mengubah dirinya dari partai yang tidak lolos ET pada Pemilu 1999, menjadi salah satu pemenang Pemilu 2004?

Dibandingkan dengan partai-partai lain yang mengaku berazas Islam (PPP, PBR) atau partai yang berbau Islam (PAN dan PKB), langkah-langkah PKS memang sangat mencuri perhatian. Partai ini membawa berbagai perubahan dalam tradisi dan praktik politik di Indonesia.

Pada kampanye Pemilu 2004, massa PKS merebut simpati karena selalu tampil tertib dan santun. Mereka juga mempunyai ‘pasukan semut’ yang bertugas membersihkan sampah dari lokasi bekas kampanye. Beda dengan sejumlah massa partai yang acap tampil beringas dan menakutkan ketika menggelar kampanye.

Kekaguman orang kian berlanjut, ketika sejumlah anggota dewan dari sejumlah partai banyak terlibat dalam skandal korupsi dan skandal seks, para anggota PKS malah ramai-ramai mengembalikan uang suap. Di sejumlah daerah praktik serupa juga terjadi. Belum lama ini, di Kutai Kertanegara, Kaltim yang memiliki 43 orang anggota DPRD, 40 orang di antaranya diseret ke pengadilan karena korupsi. Hanya 3 orang yang tidak terlibat. Mereka adalah anggota Fraksi PKS.

Berbagai praktik politik ‘yang baik dan benar’ ini barangkali bisa menjelaskan mengapa kemudian sejumlah Pilkada dimenangkan oleh calon yang diusung PKS. Yang paling fenomenal adalah kemenangan pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf pada Pilkada Jabar.

Sebelumnya jago PKS juga sempat mengguncang DKI. Dikeroyok oleh 20 partai, pasangan Adang-Dani yang diusung PKS hanya kalah tipis lawan Fauzi Bowo-Prijanto. Trend kemenangan itu juga berlanjut di sejumlah daerah. Barangkali dalam hal Pilkada, PKS hanya kalah dibanding Golkar dan PDIP. Dengan performans semacam itu wajar kalau keberadaan PKS menjadi diwaspadai oleh partai lainnya.

Kembali ke soal nasionalis atau tidak? Saya setuju dengan parameter yang digunakan oleh I Made Artjana terutama pada parameter ketiga yakni performans partai. Namun saya tidak hanya membatasi pada wilyah dimana PKS menang Pilkada, namun performans secara keseluruhan.

Ketika PKS menang pada Pemilu DKI, banyak yang khawatir akan lahir sejumlah Perda Syariah. Tempat hiburan malam ditutup, para pelacur diburu, dan minuman keras dilarang. Ternyata sampai saat ini tak ada Perda semacam itu. Yang membuat Perda Syariah justru Walikota Tangerang Wahyudin Halim yang notabene calon yang diusung Golkar. Begitu juga dengan Jawa Barat. Sejauh ini tak terdengar ada gerakan yang mengarah pada Islamisasi.

Yang kita bisa amati sekarang, justru terlihat ada kecenderungan PKS mulai bergerak ke kanan tengah. Ini misalnya terlihat ketika mereka menyatakan sebagai partai terbuka dalam Mukernas di Bali. Pilihan Bali sebagai tempat Mukernas pun sudah menyiratkan ada yang berubah pada partai ini. Acara-acara besar PKS juga tidak lagi didominasi dengan hiburan nasyid. Sejumlah band seperti coklat dan Nidji pernah tampil dalam perhelatan PKS. Irama rock malah lebih terasa dibandingkan nasyid.

Apakah mungkin kelompok Taliban yang melarang anak-anak wanita ke sekolah, membiarkan pertunjukan semacam itu, apalagi mengundangnya?

Perubahan-perubahan yang dilakukan oleh PKS itu pasti, bukan tanpa kesengajaan. Seolah ingin menepis keraguan tentang nasionalisme mereka, saat ini kita bisa melihat atribut bendera putih seolah tak terpisahkan dengan mereka. Para petinggi partai, termasuk Ketua Dewan Syuro PKS Hilmi Aminudin selalu menggunakan simbol merah putih mencolok dibajunya.

Ketika memilih 100 orang pemimpin muda, ternyata PKS juga tidak hanya memilih figur yang dikenal dengan latar belakang Islam yang kental. Sejumlah tokoh muda dari partai lain, seperti PDI, PPP dan Golkar termasuk dalam deretan 100 nama tadi.

Apakah semua langkah tadi merupakan sebuah strategi menghilangkan jejak? Saya kira untuk sebuah partai yang mempunyai idiologi kuat seperti PKS tidak mungkin melakukan kompromi hanya untuk kepentingan-kepentingan semacam itu. Walaupun tidak lepas dari sebuah upaya untuk meraih suara sebanyak mungkin pada Pemilu 2009, langkah-langkah tersebut patut kita hargai.

Mencurigai kelompok lain atau mengklaim bahwa kita paling nasionalis dan yang lain tidak, adalah sikap yang berbahaya.


Billy Duta Adhyasta, billyadhyasta@gmail.com
http://smsplus.blogspot.com/