Pengertian menghafal (tahfizh)
Menghafal Al-Qur’an terdiri dari dua kata, yaitu kata “menghafal” dan “Al-Qur’an”. Dalam kamus besar bahasa indonesia, pengertian menghafal adalah berusaha meresapkan kedalam fikiran agar selalu ingat. Menurut Zuhairini dan Ghofir, menghafal adalah suatu metode yang digunakan untuk mengingat kembali sesuatu yang pernah dibaca secara benar seperti apa adanya. Metode tersebut banyak digunakan dalam usaha untuk menghafal Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Al-Hifzh secara etimologi adalah menjaga, memelihara atau menghafalkan. Sedang Al-Hafizh adalah orang yang menghafal dengan cermat, orang yang selalu berjaga-jaga, orang yang selalu menekuni pekerjaannya. Istilah Al-Hafizh ini dipergunakan untuk orang yang hafal Al-Qur’an tiga puluh juz tanpa mengetahui isi dan kandungan Al-Qur’an. Sebenarnya istilah Al-Hafizh ini adalah predikat bagi sahabat Nabi yang hafal hadits-hadits shahih (bukan predikat bagi penghafal Al-Qur’an). Hifzh diartikan memelihara atau menjaga dan mempunyai banyak idiom yang lain, seperti si-fulan membaca Al-Qur’an dengan kecepatan yang jitu (zhahru al-lisan) dengan hafalan di luar kepala (zhahru al-qolb). Baik kata-kata zhahru al-lisan maupun zharu al-qolb merupakan kinayah (metafora) dari hafalan tanpa kitab, karena itu disebut “istizhahrahu” yang berarti menghafal dan membacanya di luar kepala. Dalam kitab ini, menghafal Al-Qur’an, memeliharanya serta menalarnya haruslah memperhatikan beberapa unsur pokok sebagai berikut:
a. Menghayati bentuk-bentuk visual, sehingga bisa diingat kembali meski tanpa kitab.
b. Membaca secara rutin ayat-ayat yang dihafalkan.
c. Penghafal Al-Qur’an dituntut untuk menghafal secara keseluruhan baik hafalan maupun ketelitian.
d. Menekuni, merutinkan dan melindungi hafalan dari kelupaan.
Langkah-langkah menghafal
Ada empat langkah yang perlu dilakukan dalam menggunakan metode ini, antara lain:
a. merefleksi, yakni memperhatikan bahan yang sedang dipelajari, baik dari segi tulisan, tanda bacannya dan syakalnya.
b. mengulang, yaitu membaca dan atau mengikuti berulang-ulang apa yang diucapkan oleh pengajar.
c. meresitasi, yaitu mengulang secara individual guna menunjukkan perolehan hasil belajar tentang apa yang telah dipelajari.
d. retensi, yaitu ingatan yang telah dimiliki mengenai apa yang telah dipelajari yang bersifat permanen.
Menurut Suryabrata, istilah menghafal disebut juga mencamkan dengan sengaja dan dikehendaki, artinya dengan sadar dan sungguh-sungguh mencamkan sesuatu. Dikatakan dengan sadar dan sungguh-sungguh, karena ada pula mencamkan yang tidak disengaja dalam memperoleh suatu pengetahuan. Menurut beliau, hal-hal yang dapat membantu menghafal atau mencamkan antara lain:
a. Menyuarakan dalam menghafal. Dalam proses menghafal akan lebih efektif bila seseorang menyuarakan bacaannya, artinya tidak membaca dalam hati saja.
b. Pembagian waktu yang tepat dalam menambah hafalan, yaitu menambah hafalan sedikit demi sedikit akan tetapi dilakukan secara kontinu.
c. Menggunakan metode yang tepat dalam menghafal, antara lain:
1) Metode keseluruhan/metode G (Ganzlern methode), yaitu metode menghafal dengan mengulang berkali-kali dari awal sampai akhir,
2) Metode bagian/metode T (Teilern methode), yaitu menghafal bagian demi bagian sesuatu yang dihafalkan, dan
3) Metode campuran/metode V (vermittelendelern), yaitu menghafal bagian-bagian yang sukar terlebih dahulu selanjutnya dipelajari dengan metode keseluruhan.
Definisi Al-Qur’an
Al-Qur’an menurut bahasa ialah bacaan atau yang dibaca. Kata Al-Qur’an diambil dari isim mashdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul, yaitu: maqru’ (yang dibaca). Menurut istilah ahli agama Islam, Al-Qur’an ialah “nama bagi kalamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw, yang ditulis dalam mushaf,” Definisi Al-Qur’an menurut sebagian ulama ahli ushul adalah: “firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw yang bersifat mukjizat (melemahkan) dengan sebuah surat dari padanya, dan beribadat bagi yang membacanya”. Sebagian ahli ushul juga mendefinisikan: Al-Kitab (Al-Qur’an) adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad dengan bahasa arab untuk diperhatikan dan diambil pelajaran oleh manusia, yang dinukilkan (dipindahkan) kepada kita dengan khabar mutawatir, yang ditulis dalam mushaf, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas”. Dalam tafsir Al-Munir, Wahbah Al-Zuhaili mendefinisikan pengertian Al-
Qur’an sebagai berikut: Al-Qur’an adalah kitab Allah yang melemahkan, yang diturunkan kepadan nabi Muhammad Saw dengan lafaz bahasa arab, yang tertulis dalam lembaran-lembaran, membacanya dianggap ibadah, yang dipindahkan dengan mutawatir, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas.
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa menghafal Al-Qur’an merupakan usaha dengan sadar dan sungguh-sungguh yang dilakukan , untuk mengingat-ingat dan meresapkan bacaan kitab suci Al-Qur’an yang mengandung mukjizat kedalam fikiran agar selalu ingat, dengan menggunakan metode dan strategi tertentu.
Hakikat menghafal
Al-Hifzh (hafalan) adalah lawan dari lupa, yaitu selalu ingat dan sedikit lupa. Penghafal adalah seorang yang menghafal dengan cermat dan termasuk sederetan kaum yang menghafal oleh sebab itu para penghafal (hafizh) Al-Qur’an mempunyai kedudukan yang istimewa dihadapan Allah Swt. Kata-kata hifzh dalam Al-Qur’an dapat berarti banyak hal yang sesuai dengan pemahaman konteks. Diantaranya memelihara dan menjaga. Firman Allah: “Dan kami akan dapat memelihara saudara kami karena seseungguhnya Allah adalah sebaik-baik Penjaga dan dia adalah Maha Penyanyang diantara para penyayang (Yusuf 65)”, “ dan mereka yang senantiasa menjaga shalat." (Al-Mukminun 5). Atau menahan diri dari yang tidak dihalalkan oleh Allah. Allah berfirman: “Dan kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya (Al-Anbiyat :32).” Ibnu Madzur berkata bahwa al-hifzh adalah orang yang selalu berjaga-jaga yaitu orang yang selalu menekuni pekerjaanya, dalam Q.S (Al-Baqarah: 238) Artinya: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu.”
Penghafal Al-Qur’an dan penghafal-penghafal lainnya
Ada dua perkara asasi yang membedakan antara penghafal Al-Qur’an, penghafal al-hadits, penghafal syair-syair, mutiara-mutiara hikmah, tamtsil, teks-teks susastra, dan lain-lainnya yaitu:
1. Penghafal Al-Qur’an dituntut untuk menghafal secara keseluruhan, baik hafalan maupun ketelitian, sebab itu tidaklah disebut penghafal yang sempurna orang yang menghafal Al-Qur’an setengahnya saja, atau sepertiganya, dan tidak menyempurnakannya. Dan hendaknya hafalan itu berlangsung dalam keadaan cermat, sebab jika tidak begitu implikasinya adalah bahwa seluruh umat Islam dapat disebut penghafal Al-Qur’an, karena setiap muslim dapat dipastikan bisa membaca Al-fatihah mengingat surat ini merupakan salah satu rukun sholat, menurut mayoritas mazhab. Dalam kontek ini istilah penghafal Al-Qur’an atau pemangku keutuhan Al-Qur’an hampir tidak dipergunakan kecuali bagi orang yang hafal semua ayat Al-Qur’an dengan hafalan yang cepat dan berkompeten untuk mengajarkan kepada orang lain dengan berlandaskan kaidah-kaidah tilawah benar.
2. Menekuni, merutinkan, dan mencurahkan segenap tenaga untuk melindungi hafalan dari kelupaan. Maka barang siapa yang telah (pernah) menghafal Al-Qur’an kemudian lupa sebagian atau seluruhnya, karena disepelekan dan diremehkan tanpa alasan seperti
ketuaan atau sakit, tidak lagi dinamakan penghafal. Orang tersebut tidaklah bisa disebut pemangku Al-Qur’an. Hal ini mengingat perbedaan Al-Qur’an dan hadits atau lain-lainnya. Dalam hadits atau lainnya boleh menyebutkan kandungan maknanya saja, dan boleh pula
mengubah teksnya. Hal ini tidak boleh dilakukan terhadap Al-Qur’an. Hafalan Al-Qur’an apabila dinisbatkan kepada Allah Swt maksudnya adalah menjaga kemurniannya, perubahan, penyimpanan, penambahan atau pengurangan, Allah berfirman dalam QS.Al-Hijr 9: Artinya: “sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya (Q.S al-Hijr: 9)”
Mengapa harus menghafal Al-Qur’an?
Pertanyaan di atas mungkin tidak biasa, tidak lazim dan tidak populer. Bagi sebagian muslim, menghafal Al-Qur’an dianggap sebagai pekerjaan yang tidak terlalu penting. Selain tidak populer dan susah, aktifitas menghafal seringkali diidentikan dengan keletihan dan buang-buang waktu saja. Apa benar dugaan ini? Sebagai seorang muslim yang mengaku Al-Qur’an sebagai kitab sucinya dan Muhammad sebagai nabinya, orang-orang yang berkata demikian sepertinya harus segera instrospeksi diri. Karena, bagi mereka yang berpegang teguh dengan keislamannya tentu percaya bahwa hanya dengan berinteraksi dengan ayat-ayat Allah melalui petunjuk Rasulullah Saw itu, keyakinan kita kepada dinul Islam ini semakin menguat dan kokoh. Siapapun kita apabila sudah merasakan nikmatnya membaca Al-Qur’an dengan hafalan dan penuh penghayatan, pasti akan melupakan segala-galanya. Ini karena Al-Qur’an ini adalah kelezatan bagi hati orang-orang yang merindukan dialog dengan Tuhannya. Tidak ada yang bisa menyemangati dirinya selain berada dalam interaksi yang intensif dengan surat cintaNya itu. Semakin dekat seseorang dengan Tuhannya, maka akan semakin besar datang pertolongan-Nya kepada orang itu.
Dengan menghafalkan Al-Qur’an, diri kita akan selalu berada dalam keadaan ingat Allah, ingat perintah-perintah-Nya, ingat ancaman-ancamanNya jika berbuat maksiat, ingat akan surga, neraka dan hari akhir. Hal ini bisa dirasakan oleh siapapun ketika ia membaca Al-Qur’an dan meresapi maknanya. Semakin kuat interaksi seorang muslim dengan ayat-ayat Al-Qur’an maka akan semakin kuat imannya dan tegar jiwanya. Sungguh, Allah akan menitipkan kekuatan-Nya kepada mereka ketika mereka bersua dalam kesendirian bersama ayat-ayat-Nya. Menghafal Al-Qur’an dengan segala keistimewaannya akan mengantarkan seseorang selalu dicintai oleh Allah dan makhluk-Nya. Menghafal al-Qur’an akan menggerakkan pikiran dan jiwa untuk selalu berpikir, meresapi, merenung dan mencari hakikat diri di belantara kehidupan dunia ini. Masa-masa pencarian itu akan terjadi ketika pikiran-pikirannya diajak berkelana dan melanglang buana ke dunia lain yang penuh dengan misteri. Namun dengan begitu, kelembutan ayat-ayatNya membawanya kepada kerinduan kepada Ilahi. Semakin dibaca ayat-ayat itu maka akan semakin lembut jiwanya dan semakin tajam pikirannya.
Adapun alasan pentingnya menghafal Al-Qur’an, yaitu:
1. Al Qur’an adalah manhajul hayah (pedoman hidup) bagi seluruh manusia.
Allah berfirman, “Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara haq dan bathil)…“ (Q.S. Al-Baqarah 185). Hifzhul Quran (menghafal Al-Quran) merupakan upaya mengakrabkan orang-orang yang beriman dengan kitab sucinya sehingga ia tidak buta terhadap kitab sucinya. Terbukti dengan masih langkanya nilai-nilai Al-Qur’an yang membudaya dan menyatu dalam kehidupan saat ini, banyak muslimah yang masih terbuka auratnya, angka aborsi yang masih memprihatinkan, meningkatnya penderita HIV/AIDS akibat seks bebas atau narkoba atau tingkat korupsi yang cukup tinggi jelas membuktikan jauhnya nilai Al-Qur’an dalam diri umat.
2. Al-Qur’an adalah ruh bagi orang-orang yang beriman
Firman Allah, “Dan demikianlah kami wahyukan Ruh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami” (Q.S. Asy Syura 52). Sayyid Quthub mengatakan, “Di dalamnya (Al-Qur’an) terdapat kehidupan yang dapat menyebarkan, mendorong, menggerakkan, dan mengembangkan kehidupan di dalam hati dan realita aktivitas yang dapat disaksikan” (Fi Dzilalil Quran, Juz 5 hal. 3171). Orang-orang yang menghafalkan Al-Qur’an sesungguhnya bukanlah sedang menghafal kata-kata yang tidak memiliki misi khusus, sebagaimana orang yang menghafalkan syair-syair. Namun sesungguhnya mereka sedang menghafalkan sesuatu yang memberikan kehidupan pada jiwa, akal bahkan jasadnya. Imam Hasan Al Banna memberi gelar kepada para dai yang benar-benar komitmen terhadap Al-Qur’an sebagai ruh, lewat kalimat, “Kalian adalah ruh baru dalam tubuh umat ini.”
3. Al Qur’an sebagai Ad Dzikra (peringatan)
Firman Allah, “…Maka berilah peringatan dengan Al-Quran orang yang takut kepada ancaman-Ku” (Q.S. Qaaf 45). Al-Qur’an memiliki kemampuan untuk menggerakkan dan menggetarkan hati manusia yang hidup dan takut terhadap apa yang akan dihadapi di akhirat nanti, berupa ancaman yang dijanjikan Allah dalam Al-Qur’an bagi orang yang berpaling dari peringatannya (Fi Dzilalil Quran , juz 6 hal 3367). Contoh paling masyhur adalah proses islamnya Umar bin Khaththab. Walau punya watak yang keras dan temperamental, Umar bergetar hatinya begitu mendengar bacaan surat Thaha. Karena itu, sudah seharusnya Al-Qur’an perlu untuk dibaca berulang-ulang sampai dihafal oleh orang-orang yang beriman. Dengan demikian, mereka secara kontinyu mendapatkan peringatan dari Allah dan lebih banyak hidup bersama ayat-ayat-Nya.
4. Al-Qur’an sebagai inspirasi pengetahuan alam
Sesuai sifat Allah sendiri sebagai Maha Pencipta dan Maha Mengetahui, sudah sewajarnya jika Al Qur’an sarat dengan ilmu pengetahuan. Penghafal Al Qur’an sesungguhnya adalah orang yang otaknya penuh dengan informasi-informasi Allah baik rinci maupun global.
Bagaimana misalnya Al-Qur’an mendeskripsikan secara detil salah satu keadaan laut sebagaimana firman-Nya: ‘Dia biarkan dua lautan bertemu, di antara keduanya ada batas yang tidak boleh ditembus’ (Q.S. Ar Rahman 19-20). Al-Qur’an sebagai manhajul hayah juga menjelaskan tema pendidikan, ekonomi, dan politik. Sedangkan dari segi iptek didalamnya banyak isyarat tentang ilmu fisiologi, astronomi, kedokteran bahkan ruang angkasa.
5. Menjaga ke-mutawatir-an Al-Qur’an.
Apakah yang dimaksud berita yang mutawatir? Ulama hadits menjelaskan yaitu, ”Sesuatu yang diriwayatkan oleh orang banyak sehingga mustahil biasanya mereka bersatu dalam kedustaan.” Kemudahan dalam membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang telah ada sejak 14 abad lalu tanpa terkurangi kata bahkan juga hurufnya. Ini merupakan kenikmatan besar yang harus kita syukuri umat Islam. Hal ini juga tidak terlepas dari jasa para huffazh (para hafidz Al-Qur’an) yang jumlahnya jutaan dan terus ada sepanjang sejarah kehidupan manusia sejak diturunkan Al-Qur’an sampai sekarang. Sehingga Al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir dan tidak mudah bahkan tidak mungkin diubah atau dipalsukan oleh tangan-tangan kotor sebagaimana kitab-kitab suci sebelumnya. Oleh karena itu, para ulama menetapkan bahwa hifzhul Qur’an (menghafal Al-Qur’an) hukumnya fardhu kifayah. Hal ini agar tidak terjadi pemutusan jumlah kemutawatiran Al- Qur’an dan pengrusakan atau pemalsuan oleh tangan-tangan kotor.
6. Meningkatkan kualitas umat
Umat Islam telah dibekali oleh Allah swt. suatu mukjizat yang sangat besar. Ia merupakan sumber ilmu dan petunjuk bagi manusia. Tidak terangkat umat ini kecuali dengan Al-Qur’an. Allah menjelaskan, ”Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” (Q.S. Al-Anbiya 10).
7. Menjaga kelestarian sunnah-sunnah Rasulullah Saw.
Sebagian ibadah yang dilakukan Rasulullah Saw. ada yang sangat terkait dengan hafalan Al- Qur’an. Hafalan yang terbatas pada surat-surat pendek dalam juz 30 akan membatasi kita dalam meneladani ibadah beliau secara sempurna. Perhatikan, bagaimana beliau membaca surat-surat Al-Qur’an ketika shalat Id, Jum’at, Subuh, khusuf dan kusuf (shalat gerhana matahari dan bulan) serta qiyamullail. Selain membaca surat Al-A’la dan Al-Ghasyiah, Rasulullah Saw. biasa shalat jumat membaca Al-Jumu’ah dan Al-Munafiqun. Beliau sering membaca surat-surat yang panjang pada jumat subuh yaitu surat As-Sajadah dan Al-Insan. Pada hari-hari yang lain beliau juga membaca surat-surat yang panjang seperti surat Ar-Rum dan yang lain. Pada waktu shalat Idain (dua hari raya) selain membaca surat Al-A’la dan Al Ghasiyah, beliau sering juga membaca surat Qaaf dan Al-Qamar yang lamanya bisa mencapai setengah jam. Beliau pernah membaca surat Al-Baqarah dan Ali ’Imran dalam tahajud. Pernah juga ditambah surat An Nisaa. Karena panjangnya bacaan, nyaris membuat Hudzaifah yang ikut berjamaah meninggalkan beliau.
Keterangan ini seakan memberi teguran kepada kita betapa umat ini sangat kurang akrab dengan Al-Qur’an. Surat-surat yang dibaca oleh para imam masjid atau mushalla terbatas pada surat-surat di juz Amma (juz 30). Sehingga surat lain menjadi asing di telingga kita. Keadaan ini telah berlangsung bertahun-tahun tanpa ada usaha peningkatan. Wajarlah jika generasi sekarang yang ingin menghafal Al-Qur’an harus berjuang ekstra keras karena telinga mereka tidak biasa terlatih mendengarkan ayat-ayat panjang.
8. Menjauhkan mukmin dari aktivitas laghwu (tak berguna)
Mukmin yang sejati adalah mukmin yang telah berhasil menjauhkan dirinya dari aktivitas laghwu, baik yang mubah (boleh) apalagi yang haram. Ia harus memiliki sikap yang tidak mudah terbawa oleh arus deras yang membuatnya lupa kepada Allah. Maka wajarlah jika Allah menjamin kesuksesan bagi mereka di dunia dan di akhirat. Firman-Nya, ”Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya; dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang laghwu.” (Q.S. Al Mukminun 1-3). Banyak cara yang dapat kita lakukan agar kita terhindar dari laghwu. Kembali kepada Al- Qur’an adalah salah satu di antaranya. Dengan selalu membaca apalagi menghafalnya, otomatis akan menjauhkan kita dari laghwu.
Dalam sebuah riwayat, Umar bin Khattab Ra pernah menempuh perjalanan dari Madinah menuju Baitul Maqdis (Palestina). Ia mengendarai keledai secara bergantian dengan Aslam, pembantunya. Mereka sepakat untuk bergantian dengan ditentukan oleh bacaan Al-Qur’an. Saat itu belum ada lembaran kertas (mushaf) ayat Al-Qur’an seperti sekarang. Jadi, mereka berdua membaca secara hafalan. Tanpa kita sadari bahwa kita kadang terjebak dalam suasana yang laghwu, perjalanan yang jauh di dalam bus, kereta, pesawat, atau kapal laut kerap menyajikan tontonan yang laghwu atau hingar bingar musik yang tidak ada hentinya sepanjang perjalanan. Satu hal yang dapat kita lakukan untuk mengurangi dampak negatifnya adalah dengan membaca Al-Qur’an, baik hafalan maupun dengan mushaf.
9. Melestarikan budaya salafus shalih
Kalau kita kaji kembali sejarah kehidupan orang-orang yang shalih zaman dahulu (salafus shalih) akan kita dapatkan kehidupan yang cemerlang baik dalam hal pengetahuan maupun dalam hal ketaqwaan kepada Allah. Di antara kecemerlangan itu terlihat dalam perhatian mereka yang besar terhadap Al-Qur’an. Mereka pelajari kitab tafsir yang sampai sekarang dapat kita nikmati. Mereka juga mempelajari tilawahnya dengan baik sampai mereka hafal, terbukti dengan adanya para para imam qira’ah seperti Imam Nafi’ bin Ruwaim, Ibnu Katsir, ’Ashim bin Abin Najud, Muhammad bin Muhammad Al Jazari.
Suatu hal yang patut dicatat adalah bahwa pengajaran Al-Qur’an yang mereka lakukan tidak hanya terbatas pada kemampuan saja, kemudian selesai. Namun mereka juga memberikan perhatian dalam menghafal dan memahaminya. Dalam mentahfidzkan anak-anak, mereka lakukan sejak dini. Sehingga banyak tokoh-tokoh ulama sudah hafal Al-Qur’an pada usia sebelum baligh. Imam Syafi’i misalnya telah hafidz pada usia 10 tahun. Begitu pun Ibnu Sina, filsuf & ahli pengobatan Islam
"Ya Allah berikanlah kami keistiqamahan dalam menghafal kitabMU dan mudahkanlah hatiku agar dapat menghafal Al-Qur’an..."
Sumber: PKS Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar