jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Senin, 04 Mei 2009

Mengapa Takut pada PKS ?


Sebuah acara talk show di stasiun televisi berlangsung seru pasca Pemilu yang baru berlalu di Indonesia. Para pembicara berasal dari partai-partai besar peraih suara terbanyak: Anas Urbaningrum dari Partai Demokrat yang tampil sebagai pemenang pemilu, Sumarsono (Sekretaris Jenderal Partai Golongan Karya yang sempat shock karena tergeser ke ranking kedua), dan Tjahjo Kumolo (Ketua Fraksi PDI Perjuangan yang menempuh jalan oposisi). Narasumber keempat adalah seorang anak muda, doktor bidang teknik industry lulusan Graduate School of Knowledge Science, Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST), Mohammad Sohibul Iman, dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Usai debat panas, Kumolo mendekati Iman dan berbisik: “Mas, bagaimana sikap teman-teman PKS terhadap PDIP? Posisi Hidayat Nur Wahid cukup berpengaruh di kalangan PDIP, dia menempati ranking kedua untuk mendampingi Ibu Mega.” Perbincangan intim itu tak pernah dilansir media manapun, meski publik mencatat Hidayat pernah diundang khusus dalam acara rapat kerja yang dihadiri pengurus dan kader PDIP se-Indonesia. Dua pekan setelah Pemilu, DPD PDIP Sulawesi Utara, yang berpenduduk mayoritas non-Muslim masih mengusulkan lima calon wakil presiden yang layak mendampingi Mega, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono, Prabowo Subianto, Akbar Tanjung, Hidayat Nur Wahid dan Surya Paloh (Republika, 21/4). Itu bukti kedekatan partai nasionalis sekuler dengan Islam, lalu mengapa selepas pemilu yang aman dan lancar, tersebar rumor sistematik bahwa partai Islam radikal (PKS) menjadi ancaman keutuhan nasional Indonesia?

Partai Demokrat dan PKS sekali lagi membuat kejutan. Dalam Pemilu 2004, partai pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Dewan Pembina itu, hanya menempati urutan kelima dengan perolehan suara 7,5%. Sekarang mereka menempati tempat teratas dengan raihan suara lebih dari 20,6% menurut perhitungan suara sementara. Sementara PKS yang menempati ranking keenam pada Pemilu 2004 dengan suara 7,3% memang tak bertambah secara drastis, diperkirakan hanya meraih 8,2% suara, menurut tabulasi sementara Komisi Pemilihan Umum. Tapi, PKS dengan posisi keempat dalam pentas nasional menjadi Partai Islam terbesar di Indonesia. Inilah yang menjadi sumber kontroversi bagi sebagian pengamat Barat.

Bila kemenangan Partai Demokrat disambut meriah oleh media Barat, sehingga majalah Time berencana untuk memasukkan sosok SBY sebagai satu di antara 100 tokoh berpengaruh di dunia, maka kemunculan PKS dinilai negatif oleh penulis semisal Sadanand Dhume. Dalam Wall Street Journal Asia (15/4), Dhume menyatakan: “The most dramatic example of political Islam’s diminished appeal is the tepid performance of the Prosperous Justice Party (PKS), Indonesia’s version of the Muslim Brotherhood. PKS seeks to order society and the state according to the medieval precepts enshrined in shariah law.” Pandangan serupa diungkapkan Sara Webb dan Sunanda Creagh yang mengutip kekhawatiran pengusaha keturunan Cina, Sofjan Wanandi dan pengamat beraliran Muslim liberal, Muhammad Guntur Romli (Reuters, 26/4).

Wanandi, pengusaha sekaligus pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS), berkata terus terang: “The possibility that SBY will join with PKS makes us nervous. There is a lot of uncertainity around this. We don’t know if we can believe them.” Sedangkan, Romli menegaskan: “PKS have a conservative ideology but are portraying themselves as open and moderate because they are also pragmatic.” Kesangsian Wanandi dan Romli justru menimbulkan pertanyaan, karena mereka mungkin sudah membaca Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan yang dikeluarkan PKS setahun sebelum penyelenggaraan pemilu. Buku setebal 650 halaman itu menjelaskan segala langkah yang sudah, sedang dan akan dilakukan PKS untuk mewujudkan masyarakat madani yang maju dan sejahtera di Indonesia. Tak ada sedikitpun disebut ide Negara teokratis atau diskriminasi terhadap kaum minoritas.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyediakan waktu khusus untuk menyimak platform PKS setebal 4,5 centimeter itu dan berkomentar, “Isinya cukup komprehensif seperti Garis-garis Besar Haluan Negara atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang disusun pemerintah meliputi seluruh aspek kehidupan Negara modern.” Prof. Jimly Ashiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, menilai inisiatif PKS merupakan tradisi baru dalam dunia politik agar setiap partai menjelaskan agendanya ke hadapan publik secara transparan dan bertanggung-jawab. Sementara Prof. Azyumardi Azra, mantan Rektor Universitas Islam Negeri, memberikan apresiasi khusus karena PKS berani melakukan obyektivikasi terhadap nilai-nilai Islam dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Siapa yang harus kita percaya saat ini, pengusaha dan pengamat yang gelisah karena kepentingan pribadinya mungkin terhambat atau menteri dan pakar yang menginginkan perbaikan dalam kualitas pemerintahan di masa datang?

Kehadiran partai Islam memang kerap memancing perhatian, tak hanya di Indonesia. Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki yang secara harfiyah menyebut diri berideologi sekuler ternyata masih dicap sebagai kelanjutan dari partai fundamentalis Islam. Gerakan Hamas yang secara patriotik membuktikan diri berjuang sepenuhnya untuk kemerdekaaan nasional Palestina disalahpersepsikan sebagai ancaman perdamaian dunia. Perhatian publik semakin kritis setelah partai Islam berhasil memenangkan pemilu yang demokratis, dan berpeluang menjalankan pemerintahan. Stereotipe buruk kemudian disebarkan untuk menggambarkan partai Islam seperti virus flu yang berbahaya, dengan merujuk pengalaman di Aljazair, Sudan atau Pakistan.

Tapi, semua insinuasi itu tak berlaku di Indonesia karena partai Islam dan organisasi sosial-politik Islam yang lebih luas telah berurat-akar dalam sejarah dan memberi kontribusi kongkrit dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hanya orang bodoh yang tak tahu bahwa: organisasi modern yang pertama lahir di Indonesia adalah Serikat Dagang Islam (1905), partai politik yang pertama berdiri dan bersikap nonkooperasi terhadap penjajah Belanda adalah Syarikat Islam (1911), organisasi pemuda yang mendorong pertemuan lintas etnik dan daerah ialah Jong Islamienten Bond hingga terselenggaranya Sumpah Pemuda (1928), mayoritas perumus konstitusi dan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (1945) adalah tokoh Islam, dan penyelamat Negara kesatuan Indonesia dari ancaman komunisme (1966) adalah organisasi pemuda dan mahasiswa Muslim nasionalis. Kekuatan Islam juga sangat berperan dalam mengusung gerakan reformasi di tahun 1998, tanpa meremehkan peran kelompok agama/ideologi lain.

Tak ada yang perlu ditakuti dari kiprah Partai Islam di masa lalu dan masa akan datang, termasuk dalam membentuk pemerintahan baru di Indonesia. Partai Islam memiliki agenda yang jelas untuk memberantas korupsi melalui reformasi birokrasi, meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan menekan angka kemiskinan dan pengangguran, sehingga semangat “jihad” yang sering disalahtafsirkan itu, dalam konteks Indonesia modern bisa bermakna: perang melawan korupsi, kemiskinan dan pengangguran. Jika ada kelompok yang takut atau memusuhi Partai Islam, maka perlu diselidiki apakah mereka memiliki komitmen yang sama untuk membasmi korupsi, kemiskinan dan pengangguran? Membatasi, apalagi mengisolasi Partai Islam, hanya akan menambah panjang persoalan yang berkecamuk di negeri mayoritas Muslim seperti Indonesia.

Partai Islam tak hanya mampu meraih dukungan yang cukup luas dalam pemilu, bahkan tokoh-tokohnya yang berusia relatif muda mulai mendapat kepercayaan pemilih. Exit poll yang digelar Lembaga Pengkajian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada tanggal 9 April menunjukkan bahwa pasangan Yudhoyono-Hidayat meraih suara 20,8 persen, mengungguli Yudhoyono-Jusuf Kalla yang meraih 16,3 persen, dan Yudhoyono-Akbar Tandjung yang hanya memperoleh 5,4 persen dukungan responden. Jika fakta elektabilitas yang tinggi ini masih diingkari, maka kecurigaan terhadap Partai Islam sungguh tak berdasar dan melawan kehendak rakyat yang menjadi inti demokrasi.

Oleh:
Sapto Waluyo (Direktur Eksekutif Center for Indonesian Reform)
Center for Indonesian Reform (CIR), Gedung PP Plaza Lantai 3, Jalan TB Simatupang No. 57, Jakarta Timur Email: sapto.waluyo@gmail.com

(dipublikasikan di www.eramuslim.com pada hari Rabu, 29/04/2009 14:08 WIB)

Remaja Masjid Dukung HNW Cawapres SBY


Jakarta, RMonline. Brigade Masjid Badan Komunikasi Pemuda Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) memberikan dukungan kepada Hidayat Nur Wahid menjadi cawapres SBY pada Pemilu Presiden 2009.

Hal itu dikatakan Komandan Nasional Brigade BKPRMI Said Aldi Al Idrus ketika bertemu HNW yang juga Ketua MPR, di gedung DPR, Rabu (29/4).

"Brigade Masjid sebenarnya mendukung HNW sebagai capres. Namun, karena Majelis Syuro PKS menetapkannya sebagai cawapres, ya kita dukung penuh," katanya.

Atas dukungan itu, Hidayat menyampaikan penghargaan dan terima kasih. "Terima kasih dukungannya, tapi dalam konteks PKS kita sudah menyampaikannya dalam amplop tertutup. Kita tunggu bagaimana respons dari beliau (SBY)," tandas Hidayat.

Demokrat-PKS Sudah Solid


JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah sejumlah partai politik menyelesaikan pertemuan nasionalnya sepanjang pekan lalu, peta koalisi memperlihatkan keseimbangan baru. Partai Demokrat yang telah ”bercerai” dengan Partai Golkar memperlihatkan arah koalisi yang lebih jelas dengan Partai Keadilan Sejahtera.

Meski demikian, hal itu tidak serta-merta membuat PKS mendapatkan keistimewaan untuk mengisi posisi calon wakil presiden. ”Semua diserahkan sepenuhnya kepada SBY,” ujar Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam jumpa pers seusai Rapimnas II Partai Demokrat di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Minggu (26/4).

PKS kemarin telah memutuskan untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Keputusan itu dikeluarkan dalam Musyawarah Majelis Syura XI di Jakarta.

Namun, untuk calon wapres, PKS akan menyampaikannya dalam amplop tertutup kepada Yudhoyono. ”Dengan mempertimbangkan etika dan kesantunan politik,” sebut Ketua Majelis Syura PKS Hilmi Aminuddin.

Dengan demikian, koalisi Demokrat, PKS, dan Partai Kebangkitan Bangsa sudah semakin jelas. Di kubu ”seberang”, PDI-P, Gerindra, dan Hanura juga sudah menunjukkan sikap yang jelas.

Partai Golkar sampai kini masih gamang. Di satu sisi, Partai Demokrat sudah mengatakan tak mau mengambil kader Golkar sebagai calon wapres, sedangkan jika Golkar berkoalisi dengan PDI-P, keduanya sama-sama mengusung capres.

Semalam, dalam pertemuan Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla dengan para ketua DPD I, muncul kembali wacana untuk membuka komunikasi politik dengan Partai Demokrat.

Partai Amanat Nasional juga belum memutuskan akan bergabung ke kubu mana. Hal itu akan diputuskan dalam Rapimnas pada Senin malam ini. Sejauh ini tokoh PAN, Amien Rais, sudah mewacanakan koalisi PAN dengan Demokrat.

Bulat untuk SBY

Tanpa perdebatan maupun rapat-rapat panjang, Rapimnas Partai Demokrat memutuskan dengan suara bulat Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden dalam Pemilu Presiden 2009. Yudhoyono diberi kewenangan penuh menetapkan calon wapres dari partai anggota koalisi, atau dari luar. ”Bukan hanya untuk memenangi pilpres, tetapi jika insya Allah terpilih kembali, akan saya lanjutkan tugas memajukan dan menyejahterakan rakyat Indonesia,” ujar Yudhoyono.

Yudhoyono minta bantuan dan kebersamaan Demokrat serta teman-teman seperjuangan untuk berjuang dan berkompetisi dengan cara-cara beretika. Untuk penantangnya, ia minta kompetisi dijalankan secara terhormat, sehat, dan kesatria.

Untuk penetapan cawapres itu, Yudhoyono diberi waktu sampai 10 Mei. Ia berjanji, sebelum 10 Mei nama cawapres sudah diputuskannya untuk kemudian didaftarkan ke KPU.

Untuk cawapres, Yudhoyono dalam pembukaan Rapimnas menyebut telah memiliki 19 nama yang diusulkan masyarakat melalui layanan pesan singkat termasuk melalui telepon seluler Ny Ani Yudhoyono.

Menurut Yudhoyono, Demokrat membangun koalisi atas dasar kesamaan platform, arah kebijakan, aturan main, dan kontrak politik. ”Jangan sampai setelah koalisi terbentuk, salah satu atau dua partai melakukan tindakan politik yang bisa menjatuhkan pemerintah,” ujarnya.

Kontrak politik

Hilmi Aminuddin mengatakan, kontrak politik dilandasi kesamaan platform dan disetujui Tim 5 PKS dan Tim 9 Partai Demokrat. Tim 5 PKS yang diketuai Presiden PKS Tifatul Sembiring ditugaskan menindaklanjuti keputusan Majelis Syura. Keputusan itu diambil secara mufakat dalam forum tertutup.

Tifatul mengelak menyebutkan nama yang bakal disampaikan kepada Yudhoyono. Informasi yang beredar, sejumlah kandidat yang kerap disebut sebagai calon wapres adalah Hidayat Nur Wahid, Tifatul Sembiring, dan Salim Segaf Aljufri.

Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta menyebutkan, sejauh ini tidak ada hambatan komunikasi dengan pihak Partai Demokrat.

Terkait pengajuan calon wapres, akan ada pembicaraan berikutnya jika Yudhoyono ternyata tidak sependapat dengan calon PKS. Sejalan dengan keinginan memperkuat sistem presidensial, PKS sadar bahwa kewenangan memilih calon wakil presiden berada di tangan calon presiden.

Di Teuku Umar, Jakarta, Prabowo Subianto yang namanya diusung untuk menjadi calon wapres oleh 33 DPD PDI-P dalam Rakornas PDI-P Sabtu lalu, kembali menemui Megawati, Minggu.

Menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, pertemuan kali ini adalah kelanjutan dari komunikasi politik yang intens sebelumnya. ”Semua pertemuan yang diadakan bertujuan menyatukan persamaan dan menghilangkan perbedaan sehingga mudah-mudahan koalisi parpol bisa sama-sama dibentuk,” kata Fadli.


Sumber: smsplus.blogspot.com