Sosok abdi dalem penjaga gunung merapi itu ditemukan meninggal dalam kondisi bersujud. Selepas menjalankan sholat ashar beliau memang memperbanyak dzikir dan munajat di masjid dekat rumahnya. Berita meninggalnya Mbah Maridjan pun merebak, dan segera menarik simpati sekaligus kedukaan di sebagian besar masyarakat Indonesia, yang sejak lama memang mengagumi keteguhannya dalam menjalankan tugas. Hanya satu yang sedikit saya sayangkan, bahwa ada stasiun teve yang selalu mengulang-ulang tayangan almarhum saat melakukan ritual menyembah batu, seolah makin menegaskan tentang lekatnya sosok mbah Maridjan dengan dunia mistis dan perklenikan. Lalu apakah benar demikian?
Setahu saya, beliau tidak lebih dari seorang abdi dalem yang ditugaskan menjadi juru kunci Merapi oleh Sultan HamengkuBuwono IX sejak 1982 atau sekitar tiga puluhtahunan yang lampau. Sebelum itu ia menjadi wakil jurukunci Merapi. Jikapun ada satu dua ritual aneh yang beliau jalankan, saya berharap itu lebih karena tugas dan penghayatannya sebagai abdi dalem yang harus lekat dengan budaya jawa. Karena secara aliran keagamaan, justru Nadhatul Ulama-lah yang mendarah daging dalam sosok Mbah Maridjan. Beliau pernah menjabat sebagai rais NU Desa Kinahrejo. Setelah itu Mbah Maridjan kemudian diangkat menjadi salah satu wakil rais di MWC NU Kecamatan Cangkringan. KH Nur Jamil, ketua PCNU Sleman mengatakan Mbah Maridjan figur yang sangat dihormati masyarakat dan total dalam ber-NU.
Beliau bukan hanya tokoh spritual tapi juga dai dan guru ngaji, tapi juga mempunyai taman pengajaran Al-quran di kampungnya. Dengan latar belakang ajaran Nadhatul Ulama yang kental, maka hampir bisa dipastikan bahwa Mbah Maridjan bukanlah pelaku ritual sembah menyembah sejati sebagai mana ditampilkan di salah satu stasiun televisi. Sekalipun terkadang dilakukan, mungkin saja hanya beliau anggap sebagai budaya nenek moyang yang ingin dilestarikan, tidak lebih. Ini mirip banyak dari kita yang hormat saat sang Merah putih dikibarkan, nyaris tanpa penghayatan karena meyakini itu hanya simbol saja. Dalam beberapa kesempatan pun jelas terlihat, bahwa ritual yang beliau lakukan hanya saat ada tamu yang berkunjung dan menemui beliau atas nama juru kuncen Merapi. Dan biasanya, para tamu itulah yang ‘memaksa’ penyelenggaraan ritual khusus tertentu. Beliau pun menjalankannya sebagai bagian dari pelaksanaan tugas sebagai juru kunci merapi, tidak lebih.