jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Senin, 18 Mei 2009

PKSku sayang, PKSku (tidak) malang


Sehari, setengah hari, serta dalam hitungan jam menjelang deklarasi pasangan Capres-Cawapres SBY Berbudi pada tanggal 15 Mei 2009 yang lalu, sebagian besar umat Islam, anggota dan kader PKS, termasuk simpatisan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) seperti saya, masih menantikan sepak terjang dan jurus pamungkas pimpinan PKS. Semua menantikan bagaimana “ending” hubungan antara Partai Demokrat (PD) dengan PKS, sehubungan dengan “hanya di sms” nya pimpinan PKS oleh pihak PD terkait dengan rencana penetapan Pak Budiono sebagai Cawapres bagi Susilo Bambang Yudhoyono yang telah lebih dulu diajuka sebagai Capres dari PD.

“Antiklimaks…..!”

Begitulah berbagai komentar akhirnya berdatangan dan beterbangan di berbagai media. Media cetak dan elektronik menggambarkan kekecewaan, hujatan, dan makian yang sangat menyakitkan dialamatkan kepada kubu PKS. Dari sekedar menyebutkan sebagai gertak sambal, tidak konsisten, tidak ada apa-apanya, hingga ungkapan sangat memalukan bisa kita baca dan dengarkan secara langsung. Demikian pula, berbagai hujatan dan nada ketidakpuasan kader atau masyarakat luas benar2 tumpah di berbagai blog, mailing list, maupun di jejaring sosial seperti Facebook.

Betapa tidak, berbagai kader PKS sebelumnya masih menyatakan ketersinggungan harga diri partai mereka diperlakukan secara “feodal” oleh penguasa. Mereka mencaci maki secara langsung ataupun tidak langsung sikap penguasa yang tidak mau menggunakan jalur komunikasi saling menghargai. Banyak teman saya simpatisan PKS yang sampai detik terakhir masih yakin bahwa pimpinan mereka akan bersikap tegas terhadap SBY. Namun apa mau dikata. Fakta yang ada di layar kaca ketika pencanangan “SBY Berbudi” jelas memperlihatkan bahwa “PKS akhirnya menyerah kepada Yudhoyono” sebagaimana headline Media Indonesia keesokan harinya. Presiden PKS yang beberapa jam sebelumnya...etc.

Tidak dapat saya bayangkan harga diri para kader yang dari dulu berusaha konsisten, harus diletakkan dimana setelah kejadian di Sabuga, Bandung itu. Memang politik tetaplah politik. Terus terang karena politik bukanlah ranah yang familiar buat saya, saya tidak ingin mengomentari lebih jauh tentang keterpurukan PKS akibat inkonsistensi para elite mereka ketika harus bersikap menghadapi incumbent.

“Mabuk Kemenangan dan Tidak Mau Dikritik”

Sejak menuai hasil yang diatas rata-rata partai lain dan tergolong memuaskan dalam Pemilu 2004 lalu, saya mengamati bagaimana senangnya para elite dan kader PKS. Tokoh mereka menjadi Ketua MPR, dan beberapa lainnya masuk ke jajaran Kabinet Indonesia Bersatu, meski belum memegang posisi kunci. Dari berbagai kejadian dan “event” yang digelar, kader PKS juga memperlihatkan dominansi mereka dalam berorasi, turun kejalan dan dalam melakukan berbagai aksi damai. Seperti halnya penomena AA Gym ketika jaya dulu, jangan kan orang muslim, kaum non muslim Indonesia saja merasa nyaman dengan kehadiran PKS yang meski mengusung Islam sebagai ideologi partai, namun tetap memperhatikan kemajemukan serta “tepo seliro” dengan penganut agama lain.

Dari berbagai keberhasilan tersebut, kelihatannya mereka terlena. SIkap egaliter yang dibiaskan oleh sebagian kader partai yang berasal dari Sumatera lama-lama dilupakan. Pelan-pelan sikap feodal yang dulu mereka dobrak kembali bersemi dalam keseharian mereka. Sesuatu yang alami sebenarnya. Namun Seperti pernah saya alami sendiri ketika mau beranjang sana ke salah satu tokoh PKS yang kebetulan menjadi pejabat negara di salah satu kota. Keinginan saya untuk bersilaturahmi sebagai warga kota itu dan membawa tokoh masyarakat setempat setelah waktu magrib yang syahdu, ditampik begitu saja. Setelah diterima dirumah sang tokoh, saya ditanya oleh “Ring-3″ mereka tentang keperluan apa dan maksud tujuan lainnya untuk bertemu.

Meski sedikit kesal karena sudah menelpon sebelumnya (nomor telepon rumah saya dapatkan dari tokoh PKS lainnya yang menjadi sahabat saya di DPD) saya berusaha tetap tenang. Berbagai pertanyaan diajukan kepada saya tentang maksud dan tujuan. Saya pun menceritakan tujuan saya beranjang sana dan bersilaturahmi. Namun setelah beberapa pertanyaan lain diajukan, dan saya jawab, tetap saja akhirnya kami diminta datang di hari lain. Singkat kata, meskipun sang Pejabat tokoh PKS itu ada di rumah, kami tidak layak untuk ditemui berdasarkan kriteria para “punggawa” di RIng 2 atau 3.

Kakak ipar saya sedikit angot. Iya juga tidak menduga seperti itu. Ia kecewa. Segera ia meminta saya untuk memberikan saja kartu nama kantor saya yang mempunyai logo Burung Garuda. Saya sabarkan ia. Saya datang kesini sebagai penduduk warga kota sang Pejabat kita, bukan sebagai pejabat dari kantor saya.

Dengan langkah gontai kami pun pulang kembali. Perjalanan saya yang menempuh waktu kurang lebih 1,5 jam dari Sawangan pun sia-sia. Kakak ipar saya masih saja mengomel dan mengungkapkan kekecewaaannya. Besoknya setelah ditolak bertemu dengan sang tokoh PKS yang sebelumnya sudah pernah berkenalan di Mesjid Komplek Perumahan kami di Sawangan, saya menyampaikan kejadian itu kepada tokoh lainnya agar di ambil langkah2 perbaikan. Karena bagaimanapun sikap feodal yang telah berupaya diruntuhkan oleh pendiri PKS dengan kombinasi sikap egaliter dan ketaatan beragama bagi para kadernya sebaiknya tetap dikikis habis.

Kejadian itu sekitar pertengahan tahun 2006. Ternyata saya dan kakak ipar saya saat ini tidak sendiri. Mungkin belasan juta atau puluhan juta mungkin simpatisan PKS merasakannya saat ini. PKS menjadi partai tak berdaya dihadapan PD. Tokoh-tokoh PKS tidak ada bedanya dengan partai lain. Politik memperlihatkan “nature of business” nya dengan jelas.

Mudah-mudahan para elite PKS cepat sadar dan mampu mengoreksi diri. Baik ketika harus tegas berhadapan dengan penguasa, ataupun mampu lebih merakyat dan mengayomi ketika mengurus rakyatnya.

Semoga ini bukan akhir segala nya bagi PKS. Bagaimanapun PKS masih menjadi andalan umat Islam untuk menjaga tegaknya ajaran AL Quran dan Sunat Rasulnya di bumi Indonesia. InsyaAllah.


Oleh: Eddy Satriya
Sumber: http://public.kompasiana.com/2009/05/18/pksku-sayang-pksku-tidak-malang/

PKS "Ikat" Boediono dengan Piagam Kerja Sama


JAKARTA, KOMPAS.com. Partai Keadilan Sejahtera telah bersedia mendukung pencalonan Boediono sebagai wakil presiden. Karena itu, partai dakwah tersebut membuat kontrak politik dengan Partai Demokrat. Salah satu poinnya adalah Piagam Kerja Sama di eksekutif dan legislatif.

"Basis piagam ini adalah kepedulian dan keberpihakan pada rakyat. Misalnya Pak Boediono, yang disebut-sebut sebagai perpanjangan tangan pihak asing, kita ikat dengan perjanjian ini sehingga tidak ada ruang bagi intervensi asing," ujar Presiden PKS Tifatul Sembiring seusai menghadiri rapat tim sukses pasangan SBY Boediono, Senin (18/5) di Bravo Media Center, Jakarta.

Sementara itu, dua poin lainnya adalah platform politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Pada poin tersebut, kedua belah pihak sepakat untuk meneruskan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta melakukan reformasi birokrasi. Di bidang ekonomi, PKS menekankan pentingnya kedaulatan nasional dan ketahanan pangan sehingga mendukung kemandirian bangsa.

Sementara itu, poin ketiga tetapi tidak kalah pentingnya adalah pembentukan forum komunikasi politik antara presiden dan pimpinan parpol, serta forum komunikasi eksekutif, mendukung koalisi. "Hal ini penting, mengingat pola komunikasi politik masa lalu belum dilakukan dengan baik," ujarnya.

Ketika Artis Menjadi Anggota Parlemen


Lolos ke Senayan tapi bingung. Itulah reaksi Rieke Dyah Pitaloka, calon anggota legislatif (caleg) dari PDI Perjuangan, ketika terpilih dari daerah pemilihan Jawa Barat II. "Saya pusing ketika tahu lolos pemilihan legislatif," kata Rieke kepada Birny Birdieni dari Gatra.

Pemeran Oneng dalam sinetron Bajaj Bajuri itu menyatakan, menjadi anggota DPR bukan hanya bertanggung jawab kepada pemilihnya, melainkan juga kepada seluruh masyarakat. Karena itu, kini Rieke ngebut belajar politik. Ia menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh LSM untuk menggali informasi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.

Dia juga berencana mengangkat staf ahli dan meminta masukan dari politisi senior di DPR. Wanita kelahiran Garut, Jawa Barat, 8 Januari 1974, ini akan fokus sebagai politikus dan melepas baju keartisannya. Di luar Rieke, ada belasan artis lain yang sukses melenggang ke Senayan, misalnya Inggrid Kansil, Dedi Gumelar, dan Vena Melinda. Juga Primus Yustisio, Rachel Maryam, dan lain-lain.

Masuknya kalangan artis ke DPR ini memang menjadi fenomena yang mencengangkan. Sebab, meski sudah lama ada kalangan artis yang menjadi anggota DPR, jumlahnya tak sebanyak saat ini. Sebagian adalah wajah lama, seperti Adjie Massaid, Angelina Sondakh, dan Nurul Qomar.

Dulu artis yang menjadi anggota parlemen adalah kader partai. Kini banyak artis yang secara instan digaet untuk mendulang suara. Selain artis, anggota DPR periode 2009-2014 ini juga cukup banyak dihuni kerabat pejabat atau mantan pejabat. Puan Maharani (anak Megawati Soekarnoputri), Eddhie Baskoro (anak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), dan Halim Kalla (adik Wakil Presiden Jusuf Kalla) adalah beberapa di antaranya.

Fenomena ini melahirkan kekhawatiran berbagai pihak tentang kualitas anggota parlemen kita. Direktur Eksekutif Cetro, Hadar N. Gumay, menilai masuknya barisan artis ini di parpol hanya berfungsi menarik suara. "Ini kekeliruan partai dalam melakukan perekrutan calon anggota legislatif," katanya. Sementara itu, masuknya kerabat pejabat dan mantan pejabat menjadi anggota DPR dinilai sebagai bibit dinasti politik.

Hal ini memang tidak menjadi masalah jika calon yang bersangkutan memang memiliki kualitas memadai. Sayangnya, menurut pengamat politik Yudi Latif, kebanyakan caleg terpilih dari kalangan artis dan keluarga pejabat itu diragukan kapasitas dan kapabilitasnya. "Mereka cenderung terpilih karena keterkenalan dan jaringan kekuasaan serta logistik ayah, suami, atau kerabat mereka," tutur Yudi.

Tak hanya itu. Politisi tulen yang terpilih pun, kata Yudi, banyak yang diragukan motifnya melaju ke Senayan. Indikasinya, ada caleg yang menggunakan kekuatan dana yang luar biasa demi menjadi anggota DPR. "Ada calon yang sampai menghabiskan Rp 25 milyar. Apa motif pengeluaran uang sebanyak ini?" Yudi menambahkan.

Dua hal itu akan terkait secara signifikan dalam menurunkan kualitas kinerja DPR. Di satu sisi, menurut Yudi, politisi tulen yang menjadi anggota DPR dengan kekuatan uang akan cenderung mencari uang pengganti biaya yang dikeluarkan, baik secara gamblang maupun remang-remang. Secara gamblang adalah dengan memanfaatkan kedudukannya untuk melakukan "transaksi" jual-beli pasal yang dibahas di DPR.

Secara remang-remang, ia akan menggunakan jabatannya untuk mendapatkan proyek dari berbagai instansi pemerintah untuk meraup keuntungan. "Ini juga korupsi secara terselubung," kata Yudi pula. Di sisi lain, para artis yang menjadi anggota DPR secara moral mungkin masih bisa dipertanggungjawabkan alias tak ada motif mencari keuntungan materi, karena dunia keartisan telah memberikan itu.

Namun, dengan pengalaman politik yang minim, mereka hanya akan menjadi anak manis yang mengikuti saja permainan politisi kawakan. "Jangan harap ada kekritisan dari mereka dalam memahami kepentingan-kepentingan tersembunyi dalam pembahasan sebuah undang-undang, misalnya," Yudi menegaskan. Menanggapi keraguan itu, beberapa artis mengaku bisa memahaminya, dan mereka berharap bisa menjawab keraguan itu dengan terus belajar dan bekerja.

Inggrid Kansil, pesinetron yang terpilih dari Partai Demokrat, misalnya, mengaku senantiasa membaca dan mempelajari apa tugas dan fungsi DPR. Ia merasa beruntung karena suaminya, Syarifuddin Hasan, punya pengalaman politik mumpuni sebagai anggota DPR-RI Komisi XI dan Panitia Anggaran. "Kurang lebih kami jadi tahu tentang legislasi, bagaimana penyusunan anggaran, pengawasan, dan bagaimana menindaklanjuti pengawasan itu," katanya.

Tubagus Dedi Suwandi Gumelar, yang ngetop dengan nama Miing di grup lawak Bagito, juga mengaku akan menjawab semua keraguan publik. Ketika ditemui wartawan Gatra Rukmi Hapsari, Dedi mengaku punya visi untuk memulihkan kepercayaan rakyat kepada DPR. Pria kelahiran 27 April 1958 ini memang terhitung punya pengalaman politik. Ia Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Pandeglang, Banten.

Fenomena artis mengalahkan politisi pada pemilu legislatif kemarin, kata Dedi, harus jadi cermin untuk tidak meremehkan kemampuan artis dalam berpolitik. "Kami berusaha amanah, berusaha menjadi politisi, walaupun kami budayawan," tuturnya. Ia mengaku akan total mengabdi di Komisi II yang menjadi tempat kerjanya. Beberapa isu siap ia dorong untuk diperbaiki, seperti soal otonomi daerah dan izin penebangan hutan.

Sementara itu, Vena Melinda dari Demokrat mengaku akan fokus pada persoalan kesejahteraan rakyat. "Selama kampanye, aku melihat banyak masalah yang harus diselesaikan, seperti soal nasib guru tidak tetap, anak-anak kurang gizi, sanitasi, dan krisis listrik. Itu akan jadi programku di DPR nanti," katanya.

Kalau banyak yang meragukan kemampuannya, Vena mengaku hal itu wajar. Karena itu, untuk menjawabnya, ia kini termotivasi untuk mengambil kursus politik dan ilmu pemerintahan, juga rajin menghadiri seminar. "Aku ingin bekerja untuk rakyat. Aku nggak ingin masyarakat salah pilih," kata perempuan kelahiran Surabaya, 20 Juli 1972, itu.


M. Agung Riyadi
[Nasional, Gatra Nomor 27 Beredar Kamis, 14 Mei 2009]

Kontrak PKS Tak Terpisah dengan Piagam Cikeas


VIVAnews. Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mahfud Sidik mengungkapkan, kontrak politik antara PKS dan Partai Demokrat bagian tak terpisah dari piagam koalisi yang ditandatangani sejumlah partai di Cikeas, Sabtu 16 Mei kemarin.

Sedangkan kontrak politik Partai Demokrat-PKS dilakukan di Bandung pada Jumat 15 Mei.

"Koalisi antara Ketua Majelis Syuro PKS (Hilmi Aminuddin) dengan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) adalah bagian tidak terpisah dengan naskah itu," kata dia dalam pesan singkat yang diterima VIVAnews, Minggu 17 Mei 2009.

Menurut dia, kontrak politik di Cikeas memutuskan empat kesepakatan, pertama, aturan main koalisi di pemerintahan. Kedua, aturan main koalisi di parlemen. Ketiga, program kebijakan pemerintahan koalisi di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan hubungan luar negeri. Serta, keempat menyetujui mekanisme komunikasi koalisi.

Pidato Politik SBY Berbudi Pesanan PKS


MAKASSAR, KOMPAS.com. Sekretaris Jendral Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta menyampaikan penjelasan sekaligus pertanggung-jawaban politik atas manufer partainya dalam pencalonan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Penjelasan itu disampaikan Anis Matta kepada konstituen dan para relawannya dalam Silaturahmi Kader dan Relawan PKS di Makassar, Minggu (17/5).

Dalam silaturahmi yang dihadiri sekitar 200 kader dan relawan PKS itu, Anis membeberkan kronologis dan latar belakang manuver politik PKS sepanjang pekan lalu. Anis membantah jika PKS telah bersikap inkonsisten dan tidak punya sikap karena awalnya menolak Boediono namun belakangan menerima.

Menurut dia, PKS menerima Boediono setelah Sudi Silalahi, Hatta Rajasa, dan Yudhoyono berulang kali meminta maaf karena memilih Boediono tanpa berkomunikasi dengan partai koalisinya. "Permitaan maaf itu disampaikan baik melalui Sudi Silalahi, Hatta Rajasa, dan SBY sendiri juga meminta maaf. Sebagai muslim, apa yang kita lakukan? Memaafkan, tetapi dengan catatan bahwa hal itu tidak boleh terulang," tandas Anis.

Menurut Anis, PKS pantas marah karena Yudhoyono dan Partai Demokrat melakukan komunikasi satu arah dalam memutuskan Boediono sebagai pasangan Yudhoyono. Komunikasi satu arah itu menunjukkan Demokrat belum membangun pola hubungan yang setara dengan PKS sebagai mitra koalisinya.

"Kita hanya memiliki posisi yang kuat jika kita dianggap setara. Orang yang bisa marah adalah orang yang punya power. Jika kita tidak bisa marah kepada kawan, itu artinya kita tidak punya power," kata Anis.

Menurut Anis, dalam pertemuan pada Jumat sebelum deklarasi, Yudhoyono meminta maaf kepada PKS. "Dua per tiga dari waktu pertemuan itu dipakai SBY untuk meminta maaf. Hampir semua konten pidato politik SBY Berbudi itu pesanan dari PKS. Termasuk penegasan Boediono bahwa proteksi pasar tetap diperlukan. Kami ingin membangun koalisi berdasarkan kesetaraan. Ini bukan soal berapa kursi, soalnya kita juga belum tentu menang. Tetapi masalahnya ketika ada komunikasi satu arah, itu yang harus diinterupsi dengan keras secara terbuka. Semua kemitraan kita adalah kemitraan yang kritis dan konstruktif," kata Anis.

Menurut Anis, seluruh manuver PKS dilakukan semata-mata untuk menciptakan konstelasi politik yang memungkinkan PKS tumbuh. Itu mengapa PKS berkepentingan membangun koalisi yang setara dengan Demokrat.

Penjelasan PKS ttg Koalisi dg SBY


Pertemuan ketua Majelis Syura PKS, ustadz Hilmi Aminuddin (didampingi presiden dan sekjen PKS) - dan berdasarkan hasil syura partai - dgn capres PD, SBY di bandung/15 mei 09 jam 17 menghasilkan kesepakatan akhir Koalisi PKS dgn PD untuk mengusung SBY-Budiono.

Kesepakatan ini terbangun setelah ada kesepahaman ttg perlunya membangun kebersamaan koalisi yg didasari prinsip partnership yg setara dan dua arah. Termasuk komunikasi dua arah yg positif dan konstruktif. Juga disepakati kontrak politik berupa platform koalisi yg berisi 10 agenda prioritas pembangunan yg berasas penguatan kedaulatan negara di berbagai bidang dan berorientasi kpd kemakmuran rakyat - yg akan dijalankan oleh SBY-Budiono, didukung oleh PKS, jika terpilih kembali untuk memimpin pemerintahan.

Sikap keras dan kritis PKS sblmnya adl sebagai bentuk koreksi dan nasehat kpd SBY dan PD ttg prinsip dan komitmen koalisi yg hrs dijaga. PKS sdh tunjukkan sikap politiknya yg tegas, dan pesan itu sdh diterima dan dipahami oleh SBY.


Sumber: smsplus.blogspot.com

PKS pun Terima Boediono


Liputan6.com, Jakarta. Partai Keadilan Sejahtera sempat mengancam akan keluar dari koalisi Demokrat karena Susilo Bambang Yudhoyono memilih Boediono sebagai calon wakil presiden. Namun, PKS mengubah sikapnya. Mereka akhirnya menerima tokoh yang sempat dituding berpaham ekonomi neoliberalisme itu sebagai cawapres mendampingi SBY.

PKS merupakan partai kader yang tak pernah bertumpu pada ketokohan figur pemimpinnya. Mereka lebih memilih menggaet dukungan besar, khususnya dari kaum muda kota. Terbukti, partai ini melejit pada Pemilu 2004 dengan 7,34 persen suara. Angka itu jauh dari Pemilu 1999 yaitu 1,36 persen suara.

Kestabilan suara partai berlandaskan Islam ini membuatnya makin percaya diri pada Pemilu 2009. Mereka masuk dalam urutan partai besar. PKS lantas memilih Partai Demokrat sebagai rekan koalisinya. Sejumlah nama pendamping SBY ke kursi kepresidenan pun diusulkannya. Mereka adalah Hidayat Nurwahid, Tifatul Sembiring, dan Salim Segaf Al-Jufri yang menjadi Duta Besar RI di Arab Saudi.

Ternyata SBY punya pilihan lain, Boediono. PKS pun meradang dan menganggap Boediono tidak mewakili umat. Apalagi cara komunikasi Partai Demokrat yang mengabarkan penunjukan Boediono hanya lewat layanan pesan pendek atau SMS. Hal ini membuat PKS makin berang. Mereka lantas melempar wacana pecah kongsi dengan Demokrat serta pengalihan koalisi ke kubu lain guna membangun poros alternatif.

Namun, itu hanyalah gertakan. Petinggi PKS kemudian bertemu SBY di sebuah hotel di Bandung, Jawa Barat. Sang presiden dan sekjen PKS lantas terlihat hadir pada deklarasi pasangan SBY-Boediono. Mereka bahkan menandatangani kesepakatan berkoalisi di kediaman SBY. Bisa jadi, sejumlah kursi telah ditawarkan pada PKS hingga mereka menerima Boediono sebagai cawapres.

Menakar Kesabaran PKS


Dalam perang Uhud, pasukan Muslim sudah diingatkan untuk tidak meninggalkan posnya hanya untuk rebutan ghonimah atas pampasan perang. Itu karena, sikap takabur dan merasa sudah menang ini membuat mereka menjadi lengah.

Seorang politikus atau patai politik, menurut sosiologi Musni Umar, yang sudah mabuk kemenangan bisa menjadi titik balik kemenangannya. Ketika lawan dianggap bisa dikendalikan dan tidak berdaya, sesungguhnya itu merupakan titik krusial. Pada saat itu terjadinya kekalahan bisa menjadi kenyataan.

Inilah yang menjadi pembicaraan di kalangan kader-kader PKS dalam tiga hari terakhir. Ada kekecewaan dan kemarahan yang tertahan ketika PKS yang sudah siap berkoalisi ternyata diacuhkan Partai Demokrat dan terutama Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah diusung sebagai kandidat presiden.

Pengacuhan SBY terhadap PKS ini sesungguhnya bukan hal baru. Sebelumnya, PKS sebagai partai yang ikut mendukung SBY dalam pemilu 2004 di putaran kedua memang sering tidak pernah diajak bicara SBY sebelum membuat keputusan penting. Bahkan terkesan, PKS menjadi tukang cuci piring.

Kegelisahan kader PKS ini diresonansikan dengan baik, dalam reaksi yang seirama oleh kalangan elit PKS. Tidak hanya Wakil Sekjen PKS Fahri Hamzah dan Sekjen PKS Anis Matta saja yang merasa kecewa, Presiden PKS Tifatul Sembiring pun mengungkapkan kekecewaan atas model komunikasi SBY.

Bahkan, mungkin Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin pun merasa kecewa dengan pengabaian dari bakal mitra koalisinya. Apalagi, pemberitahuan yang disampaikan pada awalnya hanyalah melalui telepon. Setelah sejumlah protes dan pernyataan di media massa dan gerakan politik dilakukan PKS, akhirnya Yudhoyono pun mengirimkan lagi utusan.

Komunikasi kedua dengan mengirimkan tiga utusan SBY, yang juga ditemui oleh tiga orang pimpinan PKS, Kamis(14/5) malam, pun dirasakan masih belum cukup.

PKS tetap mengharapkan ada pertemuan lanjutan antara Hilmi Aminudin dan SBY, untuk menuntaskan pembicaraan. Namun, peluang pertemuan itu tampaknya kecil. SBY, begitu tiba di Jakarta, pada Jumat (15/1) ini, dijadwalkan akan langsung ke Bandung, tempat deklarasi pencalonannya sebagai presiden. Padahal pertemuan ini sangat penting bagi PKS, yang ingin mendapatkan penjeasan langsung dari SBY tentang pemilihan kandidat wakil presiden Boediono. Dalam pertemuan itu, PKS juga berencana membawa keinginan agar kontrak politik PKS dan SBY bisa ditandatangani SBY.

Kontrak politik yang dipersiapkan Tim Lima PKS dan Tim Sembilan PD ada kemungkinan tidak ditandatangani Yudhoyono. Pasalnya, SBY merasa, jika menandatangani kontrak itu, akan menimbulkan imaji bisa didikte PKS. Di sisi lain, bagi PKS, penandatanganan kontrak politik dengan SBY ini sangat penting, dan menjadi keputusan dari Majelis Syuro PKS.

”Kalau ada deadlock, Ketua Majelis Syuro-lah yang akan menentukan ke mana arah PKS,” ujar Anis Matta.

”Baru dapat 20 persen suara, sudah merasa bisa mengatur semuanya dan merasa menang. Bahkan, merasa 99 persen kemenangan sudah dipastikan. SBY sesungguhnya baru mengantongi 1 persen kemenangan, sisanya 99 persen, ditentukan sama yang diatas,” ujar Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq di Jakarta, Kamis (14/5).

Anis Matta mengibaratkan, saat ini pimpinan PKS seperti sedang menahan tanggul dari banjir bandang kekecewaan kader PKS. Ibarat banjir yang menghempas, sikap tidak peduli SBY pada PKS telah menyebabkan kerusakan yang mungkin sulit diperbaiki dalam waktu singkat.

Kekecewaan PKS makin lengkap ketika muncul komentar dari pengurus PD yang makin meremehkan PKS, yang menganggap PKS hanya ingin menaikan nilai tawarnya. Atau PKS dianggap sudah berada dalam posisi tidak bisa mundur.

Tifatul berulang kali mengungkapkan keinginan PKS agar SBY mempertimbangkan wakil presiden dari partai, atau paling tidak mitra koalisi diajak bicara sebelum mengungkapkan wakil yang dipilih untuk mendampingi SBY dalam pilpres mendatang.

Selain itu, Tifatul juga mengingatkan agar representasi umat Islam tidak diabaikan dalam memilih wakil presiden.

Sudah Terjadi

Efek kerusakan dari pengabaian ini memang sudah terjadi. Tampaknya, elite KS pun akan sulit memulihkan kekecewaan kadernya dalam waktu singkat.

Seberapa sabar PKS dapat menerima pengacuhan SBY ini, hal itu akan menjadi ambang toleransi untuk tetap dalam koalisi. Ada peribahasa, seekor keledai tidak akan terperosok dalam lubang yang sama. Bagaimana dengan PKS?


Sumber: Koran Kompas, 15 Mei 2009

10 Kontrak Politik PKS-SBY


JAKARTA, KOMPAS.com. Capres Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya sepakat dengan kontrak politik yang disodorkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kesepakatan tersebut diambil dalam pertemuan yang berlangsung antara Ketua Majelis Syuro PKS Ustadz Hilmi Aminuddin dan SBY, di Bandung, Jumat ( 15/5 ), sore tadi.

"Dalam pertemuan antara PKS dan SBY disepakati kontrak politik," kata Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq, melalui pesan singkatnya kepada Kompas.com, Jumat ( 15/5 ).

Kontrak politik tersebut berupa platform koalisi yang berisi 10 agenda prioritas pembangunan yang berazas penguatan kedaulatan negara di berbagai bidang dan berorientasi kepada kemakmuran rakyat. "Nanti akan dijalankan oleh pasangan SBY-Boediono, dan didukung PKS, jika terpilih kembali untuk memimpin pemerintahan," ujarnya.

Seperti diketahui, PKS akhirnya sepakat kembali berkoalisi dengan Partai Demokrat untuk mengusung SBY-Boediono. Menurut Mahfudz, kesepakatan ini terbangun setelah ada kesepahaman tentang perlunya membangun kebersamaan koalisi yang didasari prinsip partnership yang setara dan dua arah. "Termasuk komunikasi dua arah yang positif dan konstruktif," ujarnya.

Demokrat Jangan Takabur


JAKARTA. Pernyataan kubu Partai Demokrat (PD), yang menyebut kekuatan Tuhan mengubah keputusan yang diambil Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hanya satu persen, menuai kritik. PD dianggap takabur dengan mengeluarkan pernyataan ini.

Ketua DPP PKS, Mahfudz Siddiq, mengingatkan, agar PD jangan sombong dan takabur dalam menjalankan komunikasi politiknya. ''Kalau saya mau membalikkan pernyataan Demokrat menjadi 99 persen (keputusan) di tangan Tuhan dan satu persennya di tangan SBY. Jangan takabur gitu dong masa Tuhan dikasih porsi satu persen,'' ujar Mahfudz di gedung DPR, Jakarta, Kamis (14/5).

Pernyataan ini merupakan respons atas pernyataan yang dilontarkan Wakil Ketua Umum DPP PD, Achmad Mubarok. Saat itu, Mubarok menegaskan sudah tidak ada lagi kekuatan yang bisa mengubah keputusan SBY. Kalaupun masih ada daya Tuhan mengubah keputusan SBY, kemampuan itu hanya diberi kadar satu persen.

Atas pernyataan itu, Mahfudz mengingatkan, banyak sekali kisah kekalahan seseorang lantaran dirinya merasa paling digjaya dan menyingkirkan peran Tuhan dalam kehidupannya.

Betapa pun yakinnya manusia bisa mengendalikan keadaan dan masyarakat sosialnya, namun Tuhan hendaknya tetap ditempatkan pada posisi paling tinggi. ''Tidak hanya dikasih satu persen begitu,'' ujar Mahfudz.

Dicontohkannya, Pemilu 1999 telah membuat PDIP menjadi kekuatan politik paling dominan dengan meraih dukungan lebih dari 30 persen suara pemilih. Dukungan yang amat besar tersebut ternyata tidak membuat PDIP, yang diidentikkan sebagai parpol sekuler, menyatakan Tuhan hanya punya peran satu persen.

Mubarok membantah kalau PD takabur. Menurut Mubarok, justru apa pun keputusan PD atas penetapan cawapres, bisa saja batal bila Tuhan mengizinkan.

''Bukan, ini bukannya takabur. Justru filosofisnya benar yang saya katakan itu. Karena Tuhan Mahabesar, walau hanya hanya kemungkinan batalnya cawapres itu cuma satu persen, bila Tuhan mengizinkan, cawapres itu bisa saja batal,'' kata Mubarok.

Bisa Mengancam SBY

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Saiful Mujani, mengatakan, koalisi PD akan terguncang bila PKS memutuskan keluar. ''Kalau PKS keluar dari koalisi dengan Partai Demokrat, itu pengaruhnya paling signifikan,'' kata Saiful.

Dampak keluarnya PKS bisa menggembosi elektabilitas SBY di Pilpres 2009. ''Mungkin bisa mengurangi sampai 20 persen atau di bawahnya,'' kata Saiful. Ia juga menjelaskan, angka dukungan terhadap duet SBY-Boediono bukanlah angka absolut yang menggambarkan harapan responden.

Diingatkan pula, rentang angka dukungan terhadap SBY-Boediono sebesar 67,2 hingga 72,8 persen, karena masih dipengaruhi oleh euforia kemenangan PD. Saiful memperkirakan, bila pengaruh euforia itu hilang, angkanya akan berubah.

Koordinator Nasional (Kornas) Koalisi Kerakyatan, Jumhur Hidayat, meminta semua pendukung SBY untuk bersikap dewasa. ''Marilah kita semua dewasa dalam berpolitik. Kita ciptakan suasana yang kondusif. Janganlah pragmatisme sesaat yang dikedepankan,'' ungkapnya.

Manuver parpol yang mengancam keluar dari koalisi PD dianggapnya hanya gertak sambal. Menurutnya, pada akhirnya mereka akan gabung lagi untuk mengusung duet SBY-Boediono.

Penolakan Berlanjut

Aksi penolakan terhadap Boediono masih terus berlanjut. Tidak hanya dari partai politik, tapi juga dari masyarakat. Bahkan, berbagai spanduk penolakan juga dipasang di beberapa titik di Kota Bandung.

''Kalau Boediono tetap jadi cawapres, kami siap mengajak masyarakat Jawa Barat untuk tidak memilih SBY dalam pilpres nanti,'' kata Ketua Komite Peduli Jawa Barat (KPJB) Kabupaten Bandung, Lili Muslihat, Kamis (14/5).

Aksi penolakan Boediono ini juga ditunjukkan oleh berbagai kalangan dengan menempelkan spanduk di berbagai sudut di Kota Bandung. Salah satu spanduk yang dipasang itu bertuliskan Say No to Boediono, Say Yes to Budi Anduk.


Sumber: smsplus.blogspot.com

Tiffatul: Demokrat-PKS Belum Ada Titik Temu


Jakarta (ANTARA News). Ketua Tim 5 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tiffatul Sembiring di Jakarta, Kamis, mengatakan pihaknya dengan Partai Demokrat belum ada titik temu terkait dengan koalisi untuk pasangan calon presiden (capres) dan pendampingnya.

Sebelumnya, Tifftul Sembering bersama anggota Tim 5 PKS lainnya Anis Matta dan Mahpud Siddiq bertemu dengan utusan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yakni Sudi Silalahi, Hatta Rajasa dan Hadi Utomo di Jakarta Selatan.

Presiden PKS tersebut mengatakan pada pertemuan tersebut, PKS sudah menyampaikan seluruh usulan termasuk masalah pencalonan Boediono sebagai pendamping SBY.

Selain itu, utusan SBY juga memberikan penjelasan kepada PKS tentang alasan yang diambilnya untuk menggaet Boediono menjadi cawapresnya.

Tiffatul mengungkapkan alasan belum adanya titik temunya antara PKS dan Demokrat karena utusan SBY yang bertemu Tim 5 PKS tersebut, bukan pengambil keputusan.

"Karena pengambil keputusan ada di tangan SBY," katanya.

Sehingga keputusan akhir terkait PKS berkoalisi atau tidaknya dengan Demokrat, akan ditentukan pada pertemuan Jumat (15/5), yakni SBY akan bertemu langsung dengan PKS.

Alhamdulillah, Akhi Zul Semakin Sering Muncul di TV


Catatan Marissa Haque

Saya dan Ikang Fawzi suamiku merasa kagum melihat semakin seringnya Mas Zul muncul diberbagai macam acara televisi belakangan mewakili partainya PKS. Mas Zul memang berstatus sebagai Wakil Ketua Bidang Politik dipartainya. Melihat Mas Zul di TV mengingatkan saya dan suamiku pada perjuangan di provinsi Banten yang belum selesai terhadap beragam kejahatan delik pidana pemilu dalam pelaksanaan Pilkada Banten 2006 lalu.

Zulkieflimasyah, SE, MSc, PhD adalah salah seorang kader bangsa Indonesia terbaik yang kita miliki hari ini. Dia adalah mantan runningmate-ku ketika kami bersama mengikuti Pilkada Banten 2006 lalu dimana sampai hari ini saya masih menganggap bahwa Gubernur Banten sesungguhnya adalah Zulkieflimasyah, SE, MSc, PhD dan bukan Ratu Atut Chosiyah yang sejujurnya secara kualitas kognisi dan integritas jauh berbeda ibarat bumi dan langit bilamana dibandingkan dengan Mas Zul atau Akhi Zul panggilan akrab saya untuknya.

Hubungan baik saya dengan Mas Zul sering on-off-on-off. Pernah saling mendukung, namun pernah juga saya kecewa berat ketika mengetahi bahwa Zul ternyata melakukan hubungan ‘diplomasi’ dengan keluarga Atut justru pada saat saya sedang ‘berdarah-darah’ melawan dugaan money politics keluarga Atut melalui dugaan oknum Mafia Peradilan di Pengadilan TUN (Tata Usaha Negara) Jakarta, dimana tertangkap mata langsung oleh saya saat Mas Zul melakukan komunikasi personal langsung terlihat sangat akrab-‘mesra’ dengan Airin Rachmi Diany (adik ipar Ratu Atut istri dari Wawan/Tb. Chaeri Wardhana adik kandung Atut dari Ibu yang sama > ayah Atut memiliki beberapa orang istri sah) dibelakang salah satu pintu pengadilan TUN tempat saya bersidang berada

Kehadiran Mas Zul menemani saya diperdilan TUN guna menggugat Keppres yang dikeluarkan Presiden SBY atas pengangkatan Abuse of Power Ratu Atut Chosiyah bukan dengan tidak sengaja! Semua itu terjadi atas upaya keras pembujukan atas saran Ustadzah Kinkin kekasih Allah, karena menyaksikan bahwa pemaksaan pelantikan Ratu Atut sangat dipaksakan oleh Wapres Jusuf Kalla Ketum partai Atut pada saat bersamaan 2 (dua) buah sidang perdata dan TUN sedang dilangsungkanpada 2 (dua) pengadilan berbeda di Provinsi Banten dan DKI Jakarta. Secara nyata Wapres JK menabrak seluruh aturan pemilu pemilihan daerah langsung yang telah diatur UU.

Nah, kehadiran Mas Zul itu adalah saat the first and the last. Sebelumnya, Mas Zul tidak berkenan datang pada seluruh peradilan Indonesia yang saya coba untuk menjujurkan keadilan — dimana sebenarnya yang saya perjuangkan adalah untuk dia Zulkieflimansyah, SE, MSc, PhD menjadi Gubernur Banten! Yah… sebenarnyalah hak Mas Zul sesungguhnya menjadi Gubernur yang ‘dipinjam sementara’ oleh Ratu Atut Chosiyah, melalui kuasa kebesaran partai kuning yang membesarkan Atut dan keluarganya dengan mengabaikan seluruh aturan hukum positif di Indonesia yang katanya Negara hukum ini. Perjuangan melalui jalur hukum ini saya upayakan karena selain saya mengerti hukum juga alhamdulillah saya sangat faham akan gaya delik pidana yang diduga biasa dilakukan oleh oknum sisa kejayaan Orde Baru yang pura-pura ‘berreformis-ria’ namun ternyata melakukan langkah politik efektif persis sama dalam ‘menyiasati’ penegakan hukum dan HAM.

Alhamdulillah, karena dasarnya saya ini bukanlah seorang pribadi yang gampang menyerah pada keadaan, maka dengan ada ataupun tiada Mas Zul disampingku didalam perjuangan perjuangan untuk rakyat Banten, perlawanan saya atas seluruh kedzoliman yang terjadi saya jalani sendirian bersama beberapa kader perempuan PKS para ustadzah Kekasih Allah. Pasukan perempuan PKS Kekasih Allah ini sebagain dikomandani langsung oleh Ustadzah Kinkin dari Kabupaten Tangerang, Ukhti Sylvi dari Kabupaten Tangerang yang lalu pindah ke Jakarta Timur mengikuti suaminya yang Ketua DPC PKS Jaktim.

Saya merasa beruntung bahwa disaat saya meng-sms Ustad Hilmi Ketua Dewan Syuro PKS melaporkan sikap Mas Zul pada perjuangan saya melalui jalur hukum padahal demi untuk mengembalikan hak PKS itu kemudian terdengar ada nada dukungan dari beliau atas upaya saya tersebut. Dan entah apa yang terjadi didalam tubuh PKS karena saya tidak pernah menjadi kader PKS sehingga tidak tahu – akhirnya untuk pertama dan terakhir kalinya Mas Zul bersedia muncul di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) di Jakarta.

Seharusnya saya bahagia Mas Zul datang mengunjungi perjuangan ‘bersama’ tersebut. Walau pada kenyataan akhirnya, saya sebenarnya merasa bahwa sebaiknya memang Mas Zul tidak perlu datanglah! Kalau dalam kenyataan pada akhir hari sidang siang itu, saya harus menyaksikan dengan mata-kepala saya sendiri ‘kemesraan’ tertentu Zul dengan Airin adik ipar Atut yang membuat dada saya sesak dan ingin menangis!

Seluruh kejadian saat itu langsung saya laporkan kepada salah seorang Guru Spiritual Islamku dari PKS Bunda Yoyoh Yusroh/mbak Yoyoh/Umi Yoyoh. Berhamburan cucuran airmataku berderai dalam pelukan Bunda Yoyoh. Yah… Bunda Yoyoh Yusroh ini memang adalah satu dari ratusan perempuan PKS yang sampai detik ini bersemayam dilubuk hatiku yang terdalam. Bahkan rasanya sampai saya mati kelak. Walaupun dengan kesadaran seribu persen akhirnya saya tidak memilih bergabung PKS sebagai partai masa depanku, namun sejujurnya dari lubuk hati yang terdalam saya ingin mengekspresikan apa yang selama ini tersimpan direlung hatiku terdalam dengan rapih. Bahwa saya masih merasa berada dalam satu wadah kebersamaan Islamiah dengan para perempuan PKS Kekasih Allah di Shalimah.


Disamping para kader perempuan PKS dan sebagian besar anggota Shalimah yang saya cintai, dukungan dari keluarga intiku jdirumah juga merupakan unsur yang sangat dominan didalam perjalanan perjuangan Banten sampai dengan hari ini. Ikang Fawzi, Isabella dan Chikita Fawzi, adalah tiga Kekasih Allah mata hatiku yang menjadi faktor penguat luar biasa. Tanpa keluarga intiku ini, saya yakin tidak mungkin mampu dan kuat dan bertahan sampai dengan hari ini. Tentu juga, tanpa mengenyampingkan para pihak lainnya didalam turut mendoakan keberhasilan upaya menjujurkan keadilan dan membingkai politik dengan hukum di Indonesia yang sangat bergetah ini.

Kembali keacara pagi tadi di TV One, sambil sarapan bersama Ikang dan saya Marissa Haque menonton wawancara Mas Zul soal kemarahan serta keberatan yang luar biasa dari PKS terhadap Presiden SBY karena memutuskan untuk mengangkat Pak Budiono untuk menjadi Cawapresnya. Kami berdua hanya tersenyum saja sendirian sambil saling lirik penuh arti. Kelihatannya pendulum jam gadang (grand father clock) mulai bergeser! Ketika pada akhirnya Mas Zul yang pernah diusung oleh partainya sebagai salah seorang mentri muda ekonomi pada kabinet Pak SBY dimasa resufle kabinet kemarin dulu itu harus menelan pil pahit atas prilaku/sikap Capres SBY terhadap partai tercinta mereka PKS. Padhal sejak awal apapun ‘kesalahan’ yang telah dilakukan Presiden SBY, PKS selalu tampil paling depan selain Partai Golkar didalam berfungsi sebagai ‘bumper’ Partai Demokrat dan orang nomor satu didalamnya yaitu Pak SBY. Termasuk juga terhadap delik pidana Pilkada Banten 2006 dan gugatan Tata Usaha Negara atas pemaksaan pelantikan Ratu Atut Chosiyah sebuah Keppres produksi Presiden SBY yang mengandung unsur sangat kental ABUSE of POWER atau Detourment de Pouvoir.

Kembali kepada kesan kami terhadap Zul yang kami lihat tadi pagi, rasanya seperti bukan Dr. Zulkieflimansyah, SE, MSc yang pernah kami kenal dan kagumi dimasa lalu. Agak lumayan tersirat pancaran emosi dengan aura yang ‘…’, saya tidak ingin mengungkapkannya! Karena saya sekeluarga masih ingin mendoakan keberhasilan tim PKS utuk meyakinkan Presiden SBY agar salah satu kader PKS menjadi Cawapres Pak SBY dan bukan Pak Budiono yang terkenal memiliki aliran ekonomi liberal klasik yang persis sama seperti Presiden SBY.

Karenanya, saya juga membayangkan tentu mas Zul akan terkabul cita-citanya menjadi salah satu menteri dalam jajaran kabinet Pak SBY kalau kelak Wapresnya Presiden SBY datang dari PKS. Dan ekonomi Indonesia tidak harus menjadi ekstrim liberal seperti yang kita semua takutkan selama ini. Karena ekonomi ekstrim liberal akan men’jual’ keindonesiaan kita semua tanpa terkecuali dengan harga yang sangat-sangat murah. Yah… memang harus ada ‘perlawan masif‘ rakyat madani terhadap menggiringan Indonesia kepada serba liberal sekarang ini. Mengarahkannya kembali kepada arah distribusi kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia seperti apa yang dijamin oleh konstitusi kita dan dilindungi oleh UUD 45!


Yah, setiap dari kita tentu punya cita-cita dan itu wajar, serta harus ada! Dari hati sanubari kami yang terdalam kami mendoakan semoga Mas Zul dan PKS berhasil mengatasi keruwetan politik yang terjadi dialam komunikasi politik dengan Partai Demokrat serta Capres Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, MA. Kalau saya dan Ikang Fawzi suamiku hanya akan bersikap sesuai dengan keputusan partai kami masing-masing saja. Ikang Fawzi suamiku tercinta dari PAN kelihatannya tetap akan bersama Pak Prabowo Subiyanto dan menawarkan berpasangan dengan Pak Sutrisno Bachir sebagai Cawpresnya dan PPP masih menunggu signal yang lebih baik lagi dari Allah SWT akan kemana arahnya. Namun bila menuruti ‘pertanda’ yang muncul PPP kok juga kelihatannya agak ‘pegal hati’ juga dengan sikap lamban didalam hal mengambil keputusan Pak SBY terkait mengabulkan atau tidak mengabulkan beberapa syarat politik yang diminta PPP. Ah… kumaha engke wae-lah! Walau sebenarnya kitapun harus tetap alert alias waspada untuk menanyakan secara lebih aklamatif kepada Capres SBY… Pak Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang disayang Allah dengan pertanyaan: “Pak Presiden, … engke kumaha Pak??? (smile)

Aaaaah… dari pada stress sendiri mendingan bernyanyi saja bersama Ikang Fawzi suami semata wayangku dengan judul “PREMAN BERDASI”!

Allahu Akbar! Kita belum merdeka!


http://marissahaque.kompasiana.com/2009/05/15/alhamdulillah-akhi-zul-semakin-sering-muncul-di-tv/

PKS Siapkan Alternatif Koalisi


JAKARTA. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terus menggiatkan komunikasi politik terhadap Partai Demokrat (PD) dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). PKS belum menerima cara komunikasi yang dilakukan PD dan SBY terkait penentuan Boediono sebagai cawapres SBY.

Pertemuan empat mata antara Ketua Majelis Syura PKS, Hilmi Aminuddin, dan SBY pun menjadi tumpuan terakhir arah koalisi PKS untuk lima tahun mendatang. “Sejauh ini kami masih sabar dan menunggu hasil komunikasi antara Pak Hilmi dan Pak SBY. Lihat nanti seperti apa kesepahaman-kesepahaman yang terjadi antara beliau berdua,” ujar Sekretaris Jenderal DPP PKS, Anis Matta, di gedung DPR, Jakarta, Kamis (14/5).

Bila komunikasi Hilmi dan SBY tidak menemui titik temu sesuai ambang batas toleransi yang ditetapkan PKS (deadlock), maka PKS sudah menyiapkan langkah-langkah alternatif untuk koalisi.

Anis menyebutkan, setidaknya ada tiga opsi bagi PKS seandainya SBY tak mengakomodasi tawaran mereka. Pertama, mengalihkan dukungannya kepada pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win). Kedua, bergabung dengan koalisi PDIP yang berpotensi mengusung Megawati-Prabowo. Atau ketiga, membentuk koalisi alternatif dengan membangun kekuatan bersama parpol-parpol lain yang belum masuk ke salah satu blok koalisi.

“Ketiga alternatif ini sudah disiapkan, bahkan komunikasi untuk mewujudkan ketiganya sudah dilakukan. Tapi PKS masih memprioritaskan opsi utama berkoalisi dengan Demokrat dan SBY,” tutur Anis.

Ihwal tenggat keputusan PKS, Anis menegaskan, hal itu tergantung proses komunikasi antara Hilmi dan SBY. Mengingat SBY masih berada di Manado untuk mengikuti Konferensi Kelautan Dunia, maka PKS membuka waktu sampai hari Sabtu (16/4) pukul 00.01 WIB. “Kita tunggu sampai batas waktu itu.”

Ketua DPP PKS, Mahfudz Siddiq, menambahkan, PKS sejatinya tidak mempermasalahkan figur Boediono yang dipilih SBY sebagai cawapresnya. PKS hanya mengkritisi cara penyampaian cawapres yang dilakukan PD dan SBY terhadap para calon mitra koalisi.

PKS, kata Mahfudz, tidak ingin jika PD melanjutkan perilaku berkoalisi layaknya perusahaan yang dimiliki pemegang saham tunggal. Berkoalisi artinya perusahan dimiliki beberapa pemegang saham.

“Prinsip-prinsip partnership dan kolegial inilah yang mau kita bangun ke depan. Jadi tergantung mau dijalankan secara serius atau tidak,” tandas Mahfudz.

"Demokrat Jangan Bak Pemilik Saham Tunggal"


VIVAnews. Partai Keadilan Sejahtera mengingatkan Partai Demokrat untuk tidak berperilaku seperti pemilik saham tunggal di perusahaan. Koalisi itu seperti perusahaan yang dimiliki beberapa pemegang saham.

"PKS akan melihat dalam dua hari ini, apakah prinsip-prinsip partnership dan kolegial akan dibangun secara serius atau tidak," kata anggota Majelis Syura PKS, Mahfudz Siddiq, dalam jumpa pers di ruang fraksi PKS di parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 14 Mei 2009.

"Koalisi kan ibarat orang yang membuat perusahaan di mana ada beberapa pemegang saham. Jadi mestinya pemegang saham diajak duduk dan diberi porsi bicara secara proporsional. Kecuali kalau tujuannnya adalah untuk mendirikan perusahaan pribadi dan partai-partai peserta koalisi diposisikan sebagai calon pekerja di perusahaan tersebut," ujar Mahfudz yang juga Ketua Fraksi PKS itu.

Jadi, hal yang prinsipil bagi PKS adalah bukan soal Boediono atau bukan Boediono sebagai calon wakil presiden, tapi soal pola komunikasi yang ingin dibangun Demokrat dan SBY. "Kalau bahasannya SBY kan kebersamaan yang indah. Misalnya dalam soal cawapres. Keputusan akhir kan tetap ada di tangan SBY. Tapi, kan istilah kerjasama yang indah itu bisa diistilahkan sebagai mengajak bicara koalisi dalam proses penetapan cawapres," kata Mahfudz.

Kalau SBY sibuk dan tidak sempat mengajak bicara, harusnya pimpinan partai koalisi dipanggil dan diajak duduk bersama untuk diberi penjelasan. "Jangan menyuruh bawahannya untuk menelepon ketua umum partai hanya untuk memberitahu keputusan tanpa ada penjelasan. Padahal kami kan juga harus menjelaskan kepada kader dan konstituen. Kalau kami tidak punya informasi yang cukup, bagaimana mau menjelaskan, masak kami harus bilang tahu ah gelap," kata Mahfudz dalam jumpa pers bersama Sekretaris Jenderal PKS, Anis Matta, itu.

PKS meradang begitu mengetahui Boediono sebagai calon wakil presiden mendampingi SBY dalam Pemilihan Presiden. PKS keberatan dengan cara penetapan Boediono sehingga mengancam akan keluar dari barisan koalisi bersama Demokrat.

PKS Sabar Tunggu Hasil Pertemuan Hilmi-SBY


JAKARTA, KOMPAS.com. Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera M Anis Matta mengungkapkan bahwa sampai saat ini, PKS masih bersabar menanti hasil keputusan pertemuan antara Ketua Majelis Syuro PKS Ustad Hilmi Aminudin dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Pertemuan yang direncanakan sore atau malam hari nanti, akan menentukan langkah PKS apakah tetap berada dalam koalisi atau memutuskan alternatif lain.

"Alternatif lain itu bisa bergabung dengan yang sudah ada atau membentuk blok baru," ujar Anis Matta di ruang kerjanya di Jakarta, Kamis (14/5).

Menurut Anis, model komunikasi politik yang tidak mengajak bicara mitra koalisi yang dilakukan SBY memang mengecewakan.

"Bukan soal figur atau tokohnya, tetapi mestinya diajak bicara dulu, dan kita tahu tidak bisa memaksakan figur pada SBY," ujarnya.

Menurut Anis, SBY sendiri sering mengharapkan adanya kebersamaan yang indah. Namun, mengapa langkah yang diambilnya tidak memperlihatkan kesantunan seperti yang diharapkannya itu.

Tiga Parpol Sempat Bicarakan Poros Alternatif


Jakarta, RMonline. Apabila SBY masih keukeuh mangambil Boediono sebagai cawapres, maka akan ada perkembangan terbaru, dimana parpol pendukung SBY akan beralih ke PDIP atau Golkar, dan memunculkan nama baru atau membentuk koalisi alternatif.

“Ada usulan ke arah tersebut dan ada opsi yang berkembang. Namun, kita belum membicarakan sampai sejauh itu,” kata Sekjen PKS Anis Matta, di Hotel Nikko, Selasa (12/5).

Ia juga menyebutkan sampai saat ini parpol pendukung SBY seperti PAN, PKS dan PPP, belum menandatangani kontrak politik sama sekali. Oleh karenanya, kemungkinan tersebut masih terbuka lebar

“Kita lihat perkembangan satu dua hari, mudah-mudahan Cikeas mendengar dengan baik hasil pertemuan ini,” tegas Anis.

Boediono Datang, Koalisi SBY Bubar

INILAH.COM, Jakarta. Blok Cikeas kini di ambang kehancuran. Menyodoknya nama Gubernur Bank Indonesia Boediono sebagai cawapres SBY jadi pemicu tercerai-berainya koalisi yang dimotori Partai Demokrat ini. Inikah isyarat terjungkalnya SBY dalam Pilpres mendatang?

Jika benar pilihan calon wakil presiden SBY adalah Boediono, mungkin inilah kisah buruk tentang ambisi SBY mempertahankan kursi kepresidenan yang telah dikenyamnya selama satu periode. Betapa tidak? Belum sermpat nama Boediono diumumkan secara resmi, namun resistensinya sudah keras.

Bahkan resistensi itu muncul dari kalangan peserta koalisi. Sedikitnya, empat partai politik yang terang-terang menolak figur Boediono, yaitu PKS, PAN, PPP, dan PKB.

“Makanya di sini kami berkumpul, mungkin juga nanti akan menghubungi Gerindra. Seandainya (Boediono) ini tetap dipaksakan sebelum ada pembicaraan bersama,” kata Sekjen PKS Anis Matta yang didampingi empat perwakilan partai politik peserta koalisi seperti PAN, PPP, dan PKB di gedung DPR, Selasa (12/5).

Lebih dari itu, Mahfudz Siddiq, ketua Fraksi PKS justru mengancam, jika tidak ada klrafikasi perihal nama Boediono oleh Tim 9 Partai Demokrat, pihaknya akan keluar dari koalisi Partai Demokrat. “Kalau tidak direspons oleh tim 9 PD, kita akan melakukan langkah-langkah politik,” tandasnya.

Lebih dari itu, empat partai politik yang terdiri PKS (59 kursi), PAN (42 kursi), PPP (39 kursi), dan PKB (26 kursi) jika digabung sebanyak 192 kursi atau sekitar 34% suara sah nasional. Kondisi ini memancing empat partai politik tersebut untuk membuat poros alternatif. “Hitung-hitungan kita, kemungkinan bisa menggarap poros alternatif,” kata Zulkifli.

Reaksi yang mulanya muncul dari PKS ini sepertinya ditangkap juga oleh partai politik peserta koalisi lainnya. Ini tidak terlepas dari informasi perihal kuatnya nama Boediono sebagai cawapres SBY. Padahal, harapan partai peserta koalisi, cawapres SBY dipilih dari kalangan partai politik peserta koalisi. Apalagi, partai politik telah menyodorkan nama-nama cawapres mulai dari Hatta Rajasa, Hidayat Nur Wahid, dan Muhaimin Iskandar.

Kendati demikian, bukan tanpa soal jika SBY memilih cawapres dari kalangan partai politik. Jika pertimbangan cawapres SBY diambil dari partai perolehan suara paling signifikan di antara peserta koalisi lainnya yang jatuh pada PKS, hal itu juga dianggap riskan.

“Jika PKS cawapres SBY, jelas akan mendapat penolakan dari peserta koalisi lainnya seperti PKB, PPP, dan PAN. Jadi pilihan Boediono didasari pertimbangan akomodatif,” ujar staf pengajar UI Boni Hargens dalam diskusi Forum Intelegensia Bebas, di Jakarta, Selasa (12/5).

Namun bagi Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif, pilihan Boediono sebagai cawapres SBY bukanlah pilihan yang bebas nilai. Menurut dia, pertimbangan dukungan internasional menjadi salah satu pertimbangan SBY memilih figur Boediono.

“Boediono bukan bebas nilai, karena pilihan Boediono dengan pertimbangan nilai internasional (Neoliberal),” ujarnya.

Secara terpisah, Wakli Ketua Umum DPP Partai Demokrat Achmad Mubarok merespons santai ancaman peserta koalisi Blok Ciekas tersebut. Justru Mubarok menegaskan, dengan adanya protes-protes tersebut akan memudahkan pengambilan kebijakan. “Itu malah menjadi sinyal bagus bagi penentu kebijakan,” tegasnya.

Ia menjawab dilpomatis ketika ditanya tentang maksud sinyal bagus. “Pokoknya bagus, bisa juga untuk memilih cawapres SBY,” katanya yang menegaskan hingga saat ini belum ada pengumuman resmi perihal Boediono sebagai cawapres SBY.

Menurut Mubarok, pihaknya sama sekali tidak khawatir dengan protes partai peserta koalisi dengan Partai Demokrat. Menurut dia itu hal wajar dalam politik yang selalu dinamis dari menit ke menit. “Nanti juga akan ada dialog,” katanya tanpa merinci kapan dialog tersebut digelar.

PAN, PPP, PKS, dan PKB Akan Bentuk Poros Alternatif


Liputan6.com, Jakarta. Menyikapi koalisi yang tengah diusung Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dimana nama Boediono disebut sebagai calon wakil presiden pendamping Susilo Bambang Yudhoyono, empat partai yang telah terlebih dulu merajut koalisi dengan Demokrat menjajaki poros alternatif.

Empat partai itu yakni Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Kebangkita Bagnsa. Keempat partai ini akan menggandeng Partai Gerindra. Poros alternatif siap digulirkan apabila Demokrat tidak memenuhi aspirasi. Besok dijadwalkan koalisi dari empat partai ini dijadwalkan bertemu dengan tim dari Demokrat.

Pertemuan Koalisi Penolak Boediono Dimotori PKS


JAKARTA. Pertemuan sembilan tokoh dari empat partai politik yang digadangkan merapat ke barisan Susilo Bambang Yudhoyono diakui Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dimotori oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

"Siapa tuan rumah pertemuan ini, Pak?" cecar wartawan kepada Zulkifli Hasan saat turun dari lantai 15 Hotel Nikko, Jakarta Pusat, Selasa (12/5/2009).

"Tuan rumahnya PKS," jawabnya singkat.

Saat disinggung apakah pembahasan pertemuan ini adalah reaksi dari kabar SBY menggandeng Gubernur Bank Indonesia Boediono sebagai pendamping untuk maju dalam kancah pemilihan presiden 2009, ditepis Zulkifli. "Tidak ada, hanya diskusi tentang perkembangan mutakhir," kata dia.

Zulkifli pun menambahkan ini hanya sebuah pertemuan biasa saja. Ditambahkan, pertemuan pun belum dimulai karena menunggu satu orang lagi yang belum hadir.

Siapakah itu? Zulkifli tidak menjawabnya. (nov)


Sumber: smsplus.blogspot.com

Tifatul Sembiring Kecewa PKS Tak Diajak Diskusi


Liputan6.com, Jakarta. Disebut-sebutnya nama Gubernur Bank Indonesia, Boediono, sebagai calon pendamping Susilo Bambang Yudhoyono mengundang reaksi partai politik yang telah berkoalisi dengan Partai Demokrat. Rencana penunjukan Budiono dipertanyakan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Tifatul Sembiring, di Jakarta, Selasa (12/5).

Tifatul kecewa lantaran partainya tak diajak berdiskusi dan cuma diberitahu soal rencana penunjukan itu. Sebelum mengumumkan nama calon wakil presiden, Tifatul berharap Yudhoyono mempertimbangkan lagi usulan PKS untuk memilih calon yang mewakili umat. Hal itu mengingat keterwakilan partai pengusung yang sebagian besar adalah partai religius.

PKS disebut-sebut mengusulkan tiga nama yaitu Hidayat Nurwahid, Tifatul Sembiring, dan Salim Segaf Al-Jufri. Tapi bila benar Yudhoyono memilih Boediono, Tifatul mengatakan hal itu tak mengganggu koalisi PKS dan Demokrat.