jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Selasa, 18 November 2008

Mendorong Partai Islam ke Tengah


IKLAN Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di televisi baru-baru ini yang menampilkan Bung Karno merupakan babak penting dalam perkembangan partai itu. Dengan mengangkat tema kebangsaan, PKS ingin menampilkan citra baru ke tengah masyarakat, yakni sebagai partai terbuka yang ingin merangkul semua orang.

Bukan sekali ini PKS melakukan langkah cerdik. Di antara partai-partai Islam, saya kira, PKS-lah yang paling pintar berpolitik. Sejak tak lulus electoral threshold pada Pemilu 1999, PKS terus berbenah diri, tak hanya dengan mengganti nama dari PK menjadi PKS, tapi juga mengubah strategi kampanyenya.

Politik adalah seni mengolah kemungkinan. PKS telah mempertunjukkan seni tertinggi dalam mengolah kemungkinan-kemungkinan itu. Ketika semua partai Islam bersikeras mengembalikan Piagam Jakarta pada Sidang Istimewa MPR 2002, PKS memutuskan sesuatu yang tak populer di kalangan pendukung partai Islam, yakni menolaknya.

Bersama PAN, dengan cerdik PKS mengajukan usul baru yang lebih pluralis, tapi tak menghilangkan unsur keislaman, yakni Piagam Madinah. Usul itu tampak setengah main-main dan karenanya tak lolos. Tapi, PKS selamat dari stigma pengusung Piagam Jakarta, usul yang akhirnya dimentahkan mayoritas anggota parlemen.

Isu Piagam Jakarta dalam Sidang Istimewa MPR 2002 itu merupakan modal awal bagi PKS untuk terus berbenah diri. Menjelang Pemilu 2004, Hidayat Nur Wahid dan jajaran pimpinan partai mewanti-wanti anggotanya agar tidak memainkan isu agama (misalnya, syariat Islam). Sebagai gantinya, selama masa kampanye, partai itu lebih sering mengangkat isu-isu umum seperti pemerintahan yang bersih, antikorupsi, pemberantasan kemiskinan, dan kesejahteraan rakyat.

Perubahan strategi itu pun membuahkan hasil. Pada Pemilu 2004, PKS mendulang suara hampir empat kali lipat dari perolehan sebelumnya. Partai ini juga mendominasi Jakarta. Dalam pemilihan-pemilihan kepala daerah, PKS juga sukses memenangi beberapa pilkada di daerah-daerah penting. Dan jangan lupa, PKS hampir memenangi kursi gubernur dalam pilkada DKI Jakarta tahun lalu.

Kanan-tengah

PKS tampaknya memang sedang bergeser ke tengah. Perlahan tapi pasti, partai ini berusaha mengurangi beban ideologisnya. Pada munas di Bali, Februari silam, PKS mengeluarkan keputusan kontroversial dengan menjadi partai terbuka bagi semua golongan: muslim dan nonmuslim. Meski sempat mendapat kritik dari beberapa anggota dewan syuro-nya yang kebanyakan konservatif, PKS dapat meredam isu itu.

Para pengurus PKS tampaknya sadar betul bahwa tidak mungkin menjadi partai besar jika mereka selalu berada di pinggir. Porsi terbesar pemilih berada di tengah. Kaum ekstrem selalu mewakili minoritas, baik yang berada di 'kiri' maupun di 'kanan'. Untuk menjadi besar, sebuah partai harus menyesuaikan diri, menjadi partai 'tengah', atau paling tidak menjadi 'kanan-tengah' atau 'kiri-tengah'.

Di negara-negara yang demokrasinya maju, istilah 'kiri' dan 'kanan' biasanya merujuk kepada sikap dan program politik sebuah partai, bukan pada namanya. Di Eropa, kelompok 'kiri' biasanya merujuk pada partai-partai yang berhaluan sosialis atau komunis, sementara kelompok 'kanan' adalah partai-partai yang merujuk pada nilai-nilai konservatif atau kekristenan.

Kelompok yang berusaha memoderatkan dirinya kerap disebut sebagai 'kiri-tengah' atau 'kanan-tengah'. Banyak partai yang semula cenderung ke kiri atau kanan beralih menjadi moderat (tengah) dan mampu memenangi pemilu. Di Jerman ada Partai Kristen Demokrat (CDU/CSU) yang kerap disebut sebagai partai 'kanan-tengah'. Kendati menggunakan kata Kristen dalam namanya, CDU/CSU beraliran moderat. Pada Pemilu terakhir (2005), partai ini mendapatkan 35,2% suara dan berhasil memimpin pemerintahan koalisi besar dengan partai 'kiri-tengah' (SPD).

AKP di Turki adalah contoh lain dari partai 'kanan-tengah' yang berhasil. Pada Pemilu 2007, AKP keluar sebagai pemenang dengan meraih 46,6% suara. AKP bukanlah partai Islam (kanan), seperti secara keliru dianggap banyak orang selama ini. AKP adalah partai moderat (kanan-tengah) yang dalam platformnya jelas-jelas mendukung demokrasi liberal, hak kepemilikan, dan ekonomi pasar.

Orang-orang Eropa lebih bisa menerima AKP ketimbang partai-partai Kemalis-Sekular (seperti CHP) atau partai Islam (seperti Refah) karena platformnya yang tegas menyuarakan aspirasi demokrasi dan kebebasan. Turki di bawah AKP memiliki prospek lebih cerah untuk bergabung dalam Uni Eropa ketimbang di bawah partai-partai ultrasekuler maupun Islam.

Sementara itu, partai-partai Islam yang ada di Indonesia lebih mewakili aspirasi pinggiran (kanan) ketimbang merangkul segmen terbesar yang berada di tengah. PPP dan PBB sampai hari ini masih terus menggumuli isu pinggiran, yakni penerapan syariat Islam dan Piagam Jakarta. Hanya PKS yang tampaknya menyadari itu dan berusaha keluar dari sana.

Di tengah konflik berkepanjangan di antara sesama partai Islam (PPP vs PBR) atau partai berbasis umat Islam (PAN vs PMB) dan (PKB vs PKNU), PKS terus menjaga soliditasnya. Satu-satunya saingan solid PKS di kantong Islam adalah PBB, tapi PBB tampaknya masih beromantisme dengan 1950-an. Jika tidak mau mengubah strateginya, bisa dipastikan PBB juga bakal kesulitan mencari dukungan.

Masa depan politik di Indonesia ada di tengah. Partai apa saja yang ingin menjadi partai besar haruslah berorientasi ke tengah dan memainkan isu-isu yang didengar orang-orang yang berada di sana (kebangsaan, demokrasi, kebebasan, dan lain-lain).

Isu syariat Islam adalah isu pinggiran yang tak menguntungkan. Kecuali jika partai-partai Islam merasa puas hanya mendapat 2% atau 3% suara, tak ada pilihan lain bagi mereka kecuali berbenah diri.


Penulis: Luthfi Assyaukanie, Deputi Direktur Freedom Institute Jakarta
Dimuat : Media Indonesia (27 Juli 200)

Presiden Kaum Muda


Kini semakin banyak muncul calon presiden di republik ini. Rata-rata berusia di atas 40 tahun. Kalau menurut ukuran Komite Nasional Pemuda Indonesia, usia itu termasuk tua. Pemuda di Indonesia dibatasi hanya 40 tahun, kecuali mungkin di negara-negara Afrika. Di sejumlah negara lain, usianya malah di bawah 40 tahun. Secara sederhana, apabila usia pemuda di KNPI tidak diturunkan, kepemimpinan kaum muda tetap macet di tampuk organisasi kepemudaan sendiri.

Namun, kalau bicara para tokoh di atas 60 tahun, dibandingkan dengan yang berusia 40-50 tahunan, tentulah terasa sekali betapa mereka jauh lebih tua. Terdapat kemacetan dalam peralihan usia kalangan pemimpin kita. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh perkembangan usia harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan zaman kemerdekaan. Selain itu, tentu terkait dengan terlalu-lamanya Soekarno dan Soeharto menduduki kursi presiden.

Kini, Fadjroel Rachman, Rizal Mallarangeng, Soetrisno Bachir, Yusril Ihza Mahendra, Ratna Sarumpaet, dan sejumlah tokoh lain menyatakan kesediaan untuk maju sebagai calon presiden. Ada yang secara terbuka menyatakan kesediaan, ada juga yang hanya memasang iklan dan menebarkan pengaruh di mana-mana. Kalau ukuran mereka adalah generasi baru, barangkali tergantung kriterianya. Fadjroel dan Rizal adalah aktivis mahasiswa angkatan 1980-an, sementara Soetrisno dan Yusril lebih lama. Ratna terkenal sebagai sosok yang keras di dunia pergerakan dan kesenian.

Namun, apakah mereka sudah bisa dikategorikan sebagai presiden kaum muda? Artinya presiden Republik Indonesia yang merepresentasikan kaum muda? Saya harus berpikir panjang menyangkut penggunaan istilah ini. Kalau hanya sebagai presiden bagi kaum muda, masing-masing sudah menunjukkan kemampuan dalam memimpin organisasi kemahasiswaan, intelektual, kesenian, atau pergerakan. Hanya, kalau yang dijadikan sebagai ukuran utama adalah kepala negara dan kepala pemerintahan, tentu persoalan menjadi lain.

Semua warga negara Indonesia yang memenuhi kriteria Undang-Undang Pemilihan Presiden nanti tentu bisa menjadi bakal calon presiden dan calon wakil presiden, tapi tidak semuanya akan lolos. Persyaratan-persyaratan teknis, politis, dan substantif harus dipenuhi. Yang pertama sekali adalah diusung oleh partai politik, karena ketentuan calon presiden/calon wakil presiden perseorangan belum dipenuhi oleh undang-undang. Supaya kita tidak terjebak hanya dengan uji popularitas saja, selayaknya para kandidat yang muncul terlebih dulu harus mendekati partai-partai politik pengusung.

Maka, diskusi sekarang hanya bisa dibatasi dengan kriteria kompetensi yang dimiliki oleh para tokoh yang muncul. Kompetensi itu terkait dengan keberadaan seorang kepala negara dan kepala pemerintahan. Kemampuan lain adalah mengepalai para menteri di kabinet, para duta besar di negara lain, serta para gubernur yang kian otonom. Kemampuan menggerakkan orang lain demi tujuan-tujuan negara dan pemerintahan inilah yang diperlukan, bukan bagaimana tampil sendirian, keras kepala, demi ambisi-ambisi perseorangan.

Selain itu, dengan sistem multipartai yang dianut di Indonesia dan kemungkinan kecil menghadirkan satu partai mayoritas di parlemen, diperlukan kemampuan sebagai politikus andal. Seorang presiden tidak hanya berhadapan dengan tekanan publik yang kuat, tapi juga intervensi dari partai-partai politik yang memiliki kepentingan di parlemen. Belum lagi kalau ada koalisi partai politik pendukung yang masing-masing ingin menaruh para menteri di kabinet. Presiden, selain menjadi kepala negara dan pemerintahan, pada galibnya juga pemimpin informal dan/atau formal dari partai-partai politik yang berbeda aliran, ideologi, program, dan konstituen.

Semangat independensi yang kuat yang diperlihatkan oleh Fadjroel, Rizal, dan Ratna tentu akan menyulitkan mereka dalam berhubungan dengan parpol. Apalagi parpol sekarang semakin banyak dikendalikan oleh orang-orang pintar dan memiliki uang. Parpol tidak lagi menggantungkan sumber pendanaan kepada satu atau dua orang, melainkan kian terlatih menciptakan sumber-sumber pendapatan yang dikelola oleh orang-orang parpol. Juga semakin banyak kalangan berpunya yang masuk parpol, terutama akibat semakin tingginya ongkos politik yang harus dikeluarkan.

Artinya, politikus di parpol juga semakin independen. Jadi, apabila independensi adalah sebuah sikap, lalu mengejawantah dalam aturan birokrasi parpol, itu sudah ditunjukkan oleh kalangan di parpol. Apabila tujuan kekuasaan hanya mengarah kepada kursi dan jabatan presiden semata, sembari memberikan pendidikan politik kepada rakyat, sudah tentu kontribusi bagi calon independen ini menjadi maksimal.

Bagi Soetrisno, persoalannya menjadi lain, ketika ia mampu menunjukkan perbaikan kinerja sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional. Grafik kemenangan PAN dalam pemilihan kepala daerah terus meningkat. Soetrisno telah mencuat sebagai manajer politik yang semakin berpengalaman. Ia sebetulnya ada dalam jalur yang tepat untuk menjadi presiden. Begitu pula Yusril. Pertanyaan terpenting buat Yusril hanya satu: apakah Yusril akan memilih para pembantu sepintar dirinya ketika menjadi presiden? Apakah pembantu itu yang lebih berpengaruh darinya atau hanya masuk kategori pekerja? Mengapa? Karena Yusril berada dalam lingkaran kekuasaan dalam waktu lama. Karena ia bekerja di seputar presiden, ia merasa juga mampu menjadi presiden secara lebih baik.

Lalu, siapa yang bisa dikategorikan sebagai presiden kaum muda? Saya merasa lebih kepada kemampuan presiden tersebut dalam menjalankan agenda-agenda regenerasi dengan baik dan terukur, bukan dalam arti usia sang presiden. Teramat naif kalau kursi kepresidenan diukur dari usia. Mengaitkan usia tua dengan pengalaman panjang juga ukuran yang keliru, karena tantangan-tantangan setiap pemerintahan berbeda. Ketika seorang presiden hadir dalam keadaan perang, tidak bisa presiden berikutnya juga berpengalaman tempur. Justru yang diperlukan adalah presiden di masa damai.

Yang juga amat diperlukan adalah kolaborasi kalangan muda ini dalam menentukan agenda-agenda nasional. Ini yang belum terjadi. Tidak banyak yang memiliki waktu untuk berkumpul merumuskan agenda-agenda bersama, lalu mendesakkannya sebagai ajang bagi perubahan pengambilan keputusan politik. Langkah ini penting untuk menunjukkan bahwa kaum muda tidak membawa ego masing-masing.


Source: tempointeraktif

Kucing Keluar Karung


Sejumlah partai politik memutuskan untuk menggunakan suara terbanyak dalam mekanisme menentukan anggota legislatif terpilih.

Keputusan ini paling tidak diambil oleh Partai Amanat Nasional, Partai Bintang Reformasi,Partai Golkar, dan Partai Demokrat. Partai politik lain seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan,Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Keadilan Sejahtera belum menunjukkan sikap serupa.

Terlepas dari masalah yuridisnya, keputusan ini membuka lembaran baru dalam mekanisme dan sistem politik Indonesia. Dengan nomor urut masyarakat menilai betapa yang dibeli oleh pemilih selama ini adalah kucing di dalam karung.

Sekarang kucing sudah dikeluarkan dari karungnya, tetapi di lehernya masih terlihat identitas partai politik. Kucing yang terlalu lama di dalam karung akan kesulitan menangkap tikus.Tikus,dalam kategori politik, bisa disebut sebagai persoalan-persoalan kemasyarakatan yang harus ditangkap oleh politikus.

Ketakutan berlebihan kepada partai politik menyebabkan kucing-kucing ini kehilangan kemampuan menangkap tikus. Namun, sudah cukupkah sematamata menggunakan sistem suara terbanyak? Bagi proses liberalisasi politik, sistem ini jelas membawa kemajuan. Hanya,bila dikaitkan dengan kaderisasi internal, sistem ini jelas akan membawa pengaruh kepada ketidakbergunaan parameter-parameter penilaian terhadap calon legislatif (caleg).

Betapa tidak, seseorang yang sudah telanjur populer,katakanlah sebagai seorang artis atau juru khotbah agama, bisa terpilih ketimbang kader yang mempersiapkan diri dengan baik untuk menjadi anggota legislatif. Begitu pula partai politik akan kesulitan untuk memastikan siapa-siapa saja nama-nama yang didorong untuk memperbaiki kinerja parlemen nasional dan lokal yang telanjur dinilai negatif.

Inovasi Mekanisme

Masyarakat pemilih adalah pihak yang paling diuntungkan dengan mekanisme suara terbanyak ini.Pemilih dimanjakan dengan tingkat kehadiran yang tinggi dari para caleg. Selain itu, ketika menjabat, para anggota legislatif ini, mau tidak mau, akan lebih memperhatikan kebijakan-kebijakan populis, kalau tidak ingin kehilangan dukungan dalam pemilu berikutnya.

Politisi ini benar-benar akan berumah di tengah rakyat, serta menyediakan waktu lebih banyak untuk mengunjungi daerah pemilihannya. Keliru jika menilai mekanisme suara terbanyak ini sebagai upaya menghancurkan partai politik. Bagaimanapun, hak pencalonan tetap beradaditanganpartai- partaipolitik.

Bagi partai-partai politik yang hanya berupaya mengejar kemenangan, tentu tidak peduli dengan kualitas calonnya. Popularitas dijadikan sebagai satusatunya pegangan.Apabila di kemudian hari kinerja para anggota legislatif terpilih sama sekali buruk,partai politik bisa berlepas tangan dengan mengatakan bahwa para legislator yang dimiliki itu adalah pilihan murni rakyat.

Sementara bagi parpol yang mengedepankan kualitas, para caleg yang dimajukan tentu memenuhi standar kualifikasi yang baik. Walau begitu, kalau memang mekanisme suara terbanyak diarahkan kepada kepentingan publik, setidaknya harus disusun regulasi lanjutan.

Pertama,pemberian hak kepada pemilih di satu daerah pemilihan untuk melakukan mosi tidak percaya kepada anggota legislatif yang sedang menjabat. Mekanisme ini sekaligus menutupi celah dalam undang-undang yang semata-mata menggunakan nomor urut.Persoalan terbesar muncul ketika caleg pada nomor urut terbawah yang mendapatkan suara terbanyak.

Caleg lain,lewat mekanisme internal parpol, diharuskan mengundurkan diri.Padahal, mestinya tidak mengundurkan diri, melainkan disusun berdasarkan tingkatan suara terbanyak berikutnya, guna mengantisipasi pergantian antarwaktu (PAW). Partai X tentu tidak ingin kehilangan kursi apabila PAW justru diberikan kepada Partai Y, karena seluruh caleg Partai X sudah mengundurkan diri.

Sekalipun hanya satu atau dua orang yang mengundurkan diri, sementara caleg lain tidak mundur guna mengantisipasi PAW, persoalan lain juga muncul kalau yang mengundurkan diri suaranya lebih banyak daripada yang tidak mengundurkan diri. Apabila PAW terjadi, caleg yang menggantikan lebih kecil suaranya daripada yang telah telanjur mengundurkan diri.

Pemberian mosi tidak percaya oleh publik adalah kelanjutan dari gagasan betapa kedaulatan berada di tangan pemilih,bukan di tangan partai politik. Partai politik hanya menjalankan prosesadministrasinya saja,sementara ikatan antara konstituen dengan anggota legislator tetap terpelihara.Akan menjadi persoalan apabila partai politik menggunakan kewenangan mutlak dalam memecat legislator terpilih guna kepentingan parpol.

Kedua,mekanisme PAW tidak bisa hanya menjadi kewenangan parpol, melainkan lewat pemilu sela.Pemilu sela ini diadakan secara khusus untuk memilih anggota legislator baru. Terdapat persoalan, apakah pemilu sela hanya diikuti oleh kandidat dari satu parpol saja ataukah melibatkan kandidat parpol yang lain. Kalau masih menggunakan UU No 10/2008, pemilu sela hanyalah mekanisme internal satu parpol saja.Pemilu sela bisa diadakan dalam beragam bentuk, mulai dari pemberian hak suara kepada seluruh anggota parpol yang memiliki kartu anggota, sampai hanya perwakilan pengurus saja di satu daerah pemilihan.

Menimbang Konsekuensi

Permasalahan lanjutan dari penggunaan suara terbanyak ini tidak semudah hanya sekadar kesepakatan menyuruh mundur para kandidat yang tidak mencapai suara terbanyak. Konsekuensi yuridis dan politik berikutnya perlu tetap dipikirkan. Partai politik harus menyepakati ketentuan- ketentuan yang lain guna menghindari masalah-masalah hukum di kemudian hari.

Penulis masih berkeyakinan,apabila UU No 10/2008 dipertahankan,maka di tingkat pengadilan apa pun,para legislator terpilih yang berada di nomor urut atas pasti memenangkan sengketa pemilu.Keputusan internal partai politik tidaklah berada di atas undang-undang. Hanya ada satu cara agar cacat hukum tidak terjadi, yakni merevisiUU No 10/2008.Tetapi langkah ini secara politik tidak etis. Bagaimana bisa sebuah undang-undang yang sedang dijalankan lantas direvisi oleh para pelaksana dari undang-undang itu?

Partai politik hanyalah bagian kecil dari materi perundang-undangan itu.Apabila undang-undang itu diubah,bagaimana kalau partai-partai politik di luar DPR menolaknya, lantas mengajukan judicial reviewke Mahkamah Konstitusi? Kucing memang sudah dikeluarkan dari karungnya, tapi tikus masih berkeliaran di rumah Indonesia.Yang terjadi, kucing-kucing itu masih terbebani dengan banyak regulasi.

Kaki, tangan, sampai taringnya dibelit oleh beragam kepentingan. Kini, apakah kita akan membiarkan kucing-kucing itu terus kebingungan di tengah upaya memperbaiki kualitas partai politik, parlemen, bangsa,dan negara?

Sumber: Sindo, Monday, 18 August 2008

Suara Terbanyak dan Konflik Hukum


Hingga saat ini sedikitnya terdapat 9 partai politik (parpol) yang akan menerapkan sistem suara terbanyak dalam menetapkan calon legislatif (caleg) 2009 nanti. Parpol itu antara lain: PAN, Golkar, Demokrat, Barnas, Hanura, PBR, PDS, PDIP dan PNBK. PDIP memakai suara terbanyak bila ada caleg yang mendapatkan suara 15 % BPP namun bila tidak ada maka kembali ke nomor urut sedangkan PNBK menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di suatu daerah pemilihan (dapil).

Dengan diterapkannya sistem suara terbanyak maka sudah terdapat dua sistem yang dipakai dalam menetapkan caleg terpilih. Pertama, tetap mengacu kepada Undang-Undang Pemilu No 10 Tahun 2008. UU Pemilu ini mengatur bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan perolehan suara calon yang mendapatkan 30 % dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di dapil tersebut. Bila tidak ada caleg yang memenuhi kuota tersebut maka, calon akan ditetapkan sesuai dengan nomor urut (sistem proporsional terbuka terbatas). Kedua, dengan menggunakan suara terbanyak dengan mengenyampingkan nomor urut ( sistem proporsional terbuka murni) seperti yang diamanatkan Undang-Undang.

Lebih Demokratis

Dipilihnya sistem suara terbanyak oleh beberapa parpol patut diberikan apresiasi karena telah menghembuskan angin segar bagi demokrasi kita. Selama ini sistem nomor urut dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan karena terpilihnya caleg berdasarkan nomor urut dan bukan berdasarkan suara yang diperolehnya. Dalam kata lain seorang caleg ditetapkan menjadi anggota legislatif adalah berasal dari kedekatannya dengan partai ketimbang kedekatan dengan masyarakat/ konstituennya. Hal ini biasanya akan menimbulkan split loyalty didalam internal partai dimana kader partai yang duduk di legislatif cenderung sangat loyal kepada pengurus parpol ketimbang pemilih yang menjadi konstituennya demi untuk mendapatkan nomor urut yang kecil dalam pemilu legislatif berikutnya.

Sebaliknya sistem yang berdasarkan suara terbanyak akan menumbuhkan kompetisi yang bagus antara caleg parpol yang berbeda maupun sesama caleg dalam satu partai. Dalam sistem ini, semua caleg mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi caleg terpilih. Terpilih atau tidaknya caleg tergantung usaha dia untuk mempopulerkan diri dan meraih simpati pemilih. Sehingga caleg yang terpilih adalah caleg yang benar-benar mempunyai kapasitas yang mumpuni dan mampu untuk menjelaskan program-programnya dengan baik ke masyarakat. Bukan caleg yang sekedar mengandalkan lobi ke petinggi parpol untuk mendapatkan nomor urut yang kecil – seringkali dalam proses ini terjadi politik uang-- padahal kapasitas dan integritasnya belum teruji ditengah masyarakat.

Melanggar UU

Mekanisme suara terbanyak memang lebih demokratis, kompetitif dan memenuhi rasa keadilan dibandingkan dengan menggunakan nomor urut namun, penerapan sistem ini melanggar Undang-Undang Pemilu sehingga menimbulkan beberapa masalah baru antara lain; pertama; Caleg nomor urut kecil dengan suara minim bisa saja menolak mengundurkan diri untuk digantikan oleh caleg yang mendapatkan suara terbanyak (namun tidak memenuhi 30 % BPP) dengan nomor urut dibawahnya. Meskipun mekanisme internal partai sudah melakukan proses hukum melalui perjanjian tertulis dan di notariskan, namun tetap akan terjadi ketidakpastian hukum ( legal uncertainty ).
Bila itu terjadi, maka kekuatan hukum Undang-Undang lebih tinggi dari kesepakatan internal partai sehingga KPU bisa menganulir kesepakatan internal partai dengan sistem suara terbanyak itu. KPU tetap akan berpegang kepada UU Pemilu untuk menetapkan dan melantik anggota legislatif yang terpilih berdasarkan pemenuhan kuota 30 % atau kembali ke nomor urut.

Kedua; Konflik hukum akan muncul bila caleg yang mendapatkan suara terbanyak menggugat KPU/KPUD karena tidak mengindahkan mekanisme internal partai. Proses gugatan hukum ini tentu saja akan memperlambat penetapan caleg terpilih dan mengganggu kinerja KPU/KPUD. Caleg dengan suara terbanyak juga bisa melakukan gugatan wanprestasi terhadap caleg terilih yang ditetapkan KPU dengan sistem nomor urut. Proses ini akan berlangsung lama bahkan hingga batas waktu yang diperebutkan berakhir.

Ketiga; Dalam sistem suara terbanyak apabila caleg yang meraih suara terbanyak memiliki nomor urut besar maka caleg yang memiliki nomor urut kecil harus sukarela mengundurkan diri sebagai caleg terpilih dengan konsekuensi kehilangan haknya dalam PAW. Dengan kata lain suara pemilihnya akan terbuang percuma.

Memang, partai masih mempunyai mekanisme Penggantian Alih Waktu (PAW) dengan jalan memecat kader yang membangkang namun, jalan ini akan memakan waktu yang sangat panjang dan menghabiskan waktu dan energi yang tidak sedikit. Pada pemilu 2004 yang lalu konflik seperti ini mendera Partai Amanat Nasional (PAN) yang menyebabkan penetapan calon suara terbanyak terkatung-katung. Seperti kasus yang terjadi di Sumatera Barat dimana beberapa caleg yang mendapatkan suara terbanyak tidak dilantik hingga saat ini karena calon yang harus di PAW menduduki posisi ketua atau sekretaris partai. Padahal yang harus menandatangai proses PAW adalah ketua dan sekretaris parpol tersebut dan tentu saja mereka tidak rela di PAW atau paling tidak memperlambat proses PAW hingga batas waktu perebutan kursi berakhir.

Bagaimanapun juga sistem suara terbanyak sangat sesuai dengan semangat demokrasi. Oleh karena itu, untuk menghindari rumitnya konflik suara terbanyak ini dikemudian hari maka parpol, DPR dan pemerintah harus segera mengambil langkah antisipatif dengan melakukan amandemen terbatas UU Pemilu. Proses amandemen ini bila disepakati tidak akan menghabiskan waktu yang panjang karena hanya menyangkut pasal 214 antara lain dengan menambahkan klausul untuk mengakomodir mekanisme internal partai dalam menentukan caleg terpilih. Bila ini tidak dilakukan maka KPU/KPUD, parpol akan disibukkan oleh gugatan hukum caleg yang terjadi di seantero Indonesia.

Sumber: Jurnal Nasional 27 Agustus 2008

PKS Ajak Keluarga Soeharto Dialog Pahlawan


VIVAnews. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) hari ini, Rabu, 19 November 2008 mengadakan pertemuan dengan ahli waris keluarga Soeharto. Pertemuan dilakukan di Jakarta Convenstion Center (JCC) Senayan, Jakarta.

Adapun acara itu bertajuk Silaturahim dan Dialog Antar Keluarga Pahlawan Nasional. Kegiatan ini seiring dengan momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional dan 80 Tahun Sumpah Pemuda serta Hari Pahlawan.

Ketua Fraksi PKS DPR RI Mahfudz Siddiq, yang juga bertindak ketua pelaksana acara. Menurut rencana akan hadir juga Mamiek Soeharto, Halida Hatta (putri Bung Hatta), K Hilmi Aminudin (Ketua Majelis Syura PKS) dan Anis Baswedan,

Serta beberapa putra mantan tokoh nasional perang kemerdekaan yakni, Bambang Sulistomo (putra Bung Tomo), KH Sholahuddin Wahid (cucu KH Hasyim Asy'ari), Agustanzil Sjahoezah (cucu KH Agus Salim), Cahyo (putra Jenderal Gatot Subroto), Rahmawati (putri Bung Karno)
Menurut agenda, acara dibuka Presiden PKS Tifatul Sembiring.

Acara berlangsung selama empat jam, dimulai pukul 12.30 hingga 16.30 WIB, dan akan dimeriahkan dengan penampilan grup band Cokelat dan Penyair Taufik Ismail yang akan membacakan puisi.

Koalisi untuk Pemerintahan yang Kuat


Hakikat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durable).
Wacana koalisi partai politik di Indonesia kembali menghangat seiring berhembusnya rencana koalisi antara Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Bila wacana ini benar-benar bisa dilaksanakan maka akan menjadi angin segar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

Banyaknya partai yang akan bertarung pada pemilu 2009 nanti memang menggiring partai politik untuk berkoalisi agar bisa mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Terutama bila Undang-Undang Pemilihan Presiden yang sedang dibahas saat ini memutuskan persyaratan yang tinggi bagi partai untuk bisa mencalonkan misalnya 30 persen, maka bisa dipastikan tak ada satupun parpol yang mampu mengajukan calon secara sendiri.

Pemerintahan yang Kuat

Dalam sistem pemerintahan presidensil yang multipartai, koalisi adalah suatu keniscayaan untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Hakikat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durable). Pemerintahan yang kuat bisa diartikan pemerintah yang mampu menciptakan dan mengimplementasikan kebijakannya tanpa khawatir mendapat penolakan atau perlawanan di parlemen. Pemerintahan yang mandiri adalah pemerintah yang mampu mengimplementasikan program dan kebijakan yang populer ataupun yang tidak populer tanpa harus didikte koalisi pendukungnya. Sedangkan pemerintah yang tahan lama adalah pemerintahan yang mampu mempertahankan kekuasannya dalam periode tertentu (5 tahun) tanpa harus khawatir diturunkan oleh elit tandingannya dengan seenak hati.

Dalam sejarah politik Indonesia, koalisi yang seperti ini boleh dikatakan belum pernah terjadi. Sejak demokrasi liberal tahun 1950-an, koalisi yang terbentuk adalah koalisi yang rapuh dan cair sehingga kabinet yang terbentuk jatuh bangun. Koalisi Kebangsaan yang mengusung Mega-Hasyim pada Pemilihan Presiden 2004 yang digawangi PDIP dan Golkar juga bubar di tengah jalan menyusul kepindahan Golkar dari koalisi Kebangsaan menjadi partai pendukung SBY-JK yang diusung koalisi Kerakyatan.

Sebagai koalisi yang berhasil mengantarkan SBY-JK menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2004-2009, koalisi kerakayatan juga bukanlah koalisi dalam gambaran yang ideal. Kasus terakhir yang membuktikan ini adalah lolosnya hak angket BBM dimana yang ikut mengajukan adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang merupakan pendukung koalisi Kerakyatan. Rapuhnya koalisi yang terbentuk ini tentu saja tidak akan mampu melahirkan pemerintahan yang kuat dan tegas. Setiap program dan kebijakan yang diusulkan presiden harus mempertimbangkan kepentingan partai anggota koalisinya. Bila tidak, maka koalisi yang rapuh itu bisa saja bubar di tengah jalan dan berbalik menjadi lawan pemerintah. Situasi seperti inilah yang mungkin menyebabkan presiden SBY terlihat sering ragu-ragu dan kurang tegas.

Koalisi Permanen

Untuk membentuk pemerintahan yang kuat, mandiri dan tahan lama, maka koalisi yang harus dibentuk adalah koalisi yang permanen. Yaitu koalisi yang terbentuk dari adanya nilai-nilai bersama, tujuan politik yang sama dengan adanya konsensus dan kontrak politik untuk mepertahankan koalisi. Bukanlah koalisi pragmatis yang hanya berdasarkan kepentingan sesaat untuk merebut kekuasaan.

Koalisi permanen ini memang tidak bisa dibentuk dengan sembarangan. Mengacu pada teori Arend Lijphart, setidaknya terdapat empat teori koalisi yang bisa diterapkan di Indonesia. Pertama, minimal winning coalition dimana prinsip dasarnya adalah maksimalisasi kekuasaan. Dengan cara sebanyak mungkin memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu untuk diajak berkoalisi. Kedua, minimum size coalition, dimana partai dengan suara terbanyak akan mencari partai yang lebih kecil untuk sekadar mencapai suara mayoritas. Ketiga, bargaining proposition, yakni koalisi dengan jumlah partai paling sedikit untuk memudahkan proses negosiasi. Keempat, minimal range coalition, dimana dasar dari koalisi ini adalah kedekatan pada kecenderungan ideologis untuk memudahkan partai-partai dalam berkoalisi dan membentuk kabinet.

Dalam praktik, koalisi kerakyatan yang mengusung SBY-JK pada Pilpres 2004 tidak memenuhi teori di atas. Sehingga dalam perjalanan pemerintahan tidaklah mengherankan bila koalisi yang terbentuk tidak memenuhi hakikat koalisi (strong, autonomuos, durable). Presiden kita, SBY berasal dari partai kecil dan gabungan partai kecil (Demokrat, PBB, PKPI, PKS dan belakangan Golkar). Meskipun dipilih langsung oleh rakyat, pemerintahan SBY masih harus menghadapi kekuatan oposisi PDIP yang kekuatannya masih berimbang. Sehingga pemerintahan yang terbentuk tidak terlalu kuat, kemandirian pemerintahan juga masih diragukan karena sering didikte oleh koalisi sehingga terkesan presiden SBY terlalu berhati-hati dalam membuat kebijakan dan mengambil keputusan. Bahkan untuk mempertahankan pemerintahan pun SBY harus cermat dalam menjalankan roda pemerintahan bila tidak ingin dilengserkan oleh lawan-lawan politiknya.

Cerita koalisi seperti itu tentu tidak akan terjadi bila parpol di Indonesia menciptakan koalisi permanen yang berdasarkan teori yang jelas. Koalisi yang mudah memang berawal dari kesamaan ideologi. Namun kesamaan ideologi juga harus disertai oleh adanya nilai-nilai bersama dan tujuan politik yang sama untuk diperjuangkan. Nilai bersama dan tujuan yang sama itulah yang akan menimbulkan saling percaya (trust) yang akan menjadi perekat bagi anggota koalisi untuk menciptakan pemerintahan yang tahan lama (durable).

Merujuk kepada wacana koalisi Golkar-PDIP saat ini, secara teori koalisi ini bisa terbentuk karena kedua partai ini adalah partai terbesar sehingga mudah mencapai suara mayoritas (minimal winning coalition), koalisi dengan jumlah partai yang sedikit (minimum size coalition), dan ideologi yang hampir sama (minimal range coalition). Pertanyaan selanjutnya apakah kedua partai ini mempunyai nilai-nilai bersama dan tujuan politik yang sama untuk diperjuangkan? Bila tidak tentu saja koalisi ini hanyalah koalisi pragmatis yang hanya bertujuan untuk merebut kekuasaan namun mengabaikan hakikat koalisi. Sepertinya syarat terakhir itu belum dimiliki oleh Golkar dan PDIP sehingga kemungkinan untuk berkoalisi masih tipis dan bilapun terbentuk maka koalisi tersebut tak lebih dari koalisi pragmatis yang berorientasi kekuasan ketimbang membentuk pemerintahan yang kuat dan efektif yang kita harapkan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Penulis: Benni Inayatullah, Analis Politik dan Perubahan Sosial The Indonesia Institute
Sumber: Harian Jurnal Nasional Kamis 11 September 2008

Gus Sholah Anggap Positif Undangan PKS


INILAH.COM, Jakarta. Meski PKS tanpa ijin menggunakan tokoh Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy'ari dalam iklannya, cucu pendiri NU, Sholahudin Wahid tetap menyatakan kesediaannya untuk memenuhi undangan PKS.

"Iya, apabila tidak ada halangan," kata Gus Sholah, pria ini akrab di sapa saat dihubungi INILAH.COM, Jakarta, Rabu (19/11) pagi.

Menurut pendamping capres Wiranto dalam pilpres 2004 ini, acara silaturahim dan dialog antar keluarga tokoh bangsa ini sangat positif, untuk menyambung tali persaudaraan. Selain itu, untuk merekatkan para generasi penerus para pahlawan. "Engga papa, ini positif engga ada yang salah, jadi wajar saja," tegasnya.

Gus Sholah juga menegaskan, pemasangan KH Hasyim Asy'ari dalam iklan PKS tidak melangar hukum dan etika dan sah-sah saja dilakukan. "Siapa saja boleh memanfaatkan, partai lain juga boleh nah sekarang PKS yang memanfaatkan," tegas adik kandung mantan Presiden Abdurrahman Wahid ini.

Berdasaran undangan yang diterima INILAH.COM dari Ketua FPKS Mahfudz Shiddiq, acara silaturahim PKS dengan keluarga tokoh pahlawan nasional ini akan dihadiri KH Hasyim Asy'ari, keluarga Bung Tomo yang diwakili oleh Bambang Sulistomo.

Sedangkan dari keluarga Agus Salim diwakili Agustanzil Sjahroezah, keluarga Jendral Gatot Subroto dengan Cahyo, keluarga Soekarno yakni Rachmawati, keluarga Mohammad Hatta yakni Halida Hatta, dan keluarga Soeharto yakni Mamiek Soeharto.

Manuver PKS Makin 'Merajalela'


INILAH.COM, Jakarta. Manuver politik Partai Keadilan Sejahtera menjelang Pemilu 2004 makin 'merajalela'. Belum lagi kontroversi iklan politik versi Hari Pahlawan mereda, partai politik berbasis santri modern itu mulai menyiapkan iklan-iklan lanjutan yang lebih strategis.

Rencana itu diungkapkan oleh Presiden PKS Tifatul Sembiring di Jakarta, Selasa (18/11). Menurut Tifatul, iklan-iklan politik partainya perlu terus diperbarui untuk memompa kesadaran publik dalam berpolitik.

"Setelah beriklan di Hari Pahlawan tanggal 2008, PKS tentu akan menampilkan iklan lanjutan. Jenis agak berbeda, supaya masyarakat tidak bosan," kata Tifatul Sembiring.

Apakah konsep iklan PKS kelak akan tetap senafas dengan iklan-iklan sebelumnya, Tifatul belum mau buka mulut. Yang pasti iklan politik itu tetap akan melahirkan kejutan baru. "Nanti saja kita umumkan. Kalau diceritakan sekarang, nanti tidak akan jadi kejutan," tambahnya.

Sebelumnya Sekjen PKS Anis Matta juga menegaskan, PKS akan tetap konsisten mempertahankan konsep iklan yang memiliki pesan rekonsiliasi nasional. Langkah ini ditempuh karena PKS ingin mengajak seluruh komponen bangsa proaktif dalam membenahi kondisi bangsa ini.

Menurut dia, upaya membangun bangsa Indonesia yang besar membutuhkan peran aktif dari seluruh golongan. Itu sebabnya PKS mengangkat delapan tokoh nasional yang jadi simbol kekuatan golongan-golongan di Indonesia. "Karenanya jadi wajar bila PKS perlu merangkul seluruh kekuatan besar itu," kata Anis.

Selain itu, kata Tifatul, PKS juga akan konsisten melanjutkan program-program partainya seperti yang telah dijalankan selama ini. Bahkan PKS juga punya program tambahan untuk memperluas basis dukungan dengan mengincar kalangan pemilih pemula. "Langkah ini sangat penting untuk mendongkrak perolehan suara PKS," kata Tifatul.

Silaturahim dan Dialog Antar Keluarga Pahlawan Nasional


Jakarta. PKS mewujudkan niatnya untuk melakukan 'rekonsiliasi' ahli waris pahlawan. Mamiek Soeharto juga diundang sebagai representasi keluarga Cendana.

Acara 'rekonsiliasi' itu bertajuk Silaturahim dan Dialog Antar Keluarga Pahlawan Nasional. Acara ini seiring dengan momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional dan 80 Tahun Sumpah Pemuda serta Hari Pahlawan. Tema acara yang digelar Rabu (19/11/2008) pukul 12.30 WIB hingga 16.30 WIB di JCC Senayan adalah Membangkitkan Kembali Spirit Kepahlawanan pada Kaum Muda.

Ketua panitia acara ini adalah Mahfudz Siddiq, yang juga Ketua FPKS DPR RI. Dalam pesan singkatnya, Mahfudz menjelaskan, acara ini dihadiri oleh Bambang Sulistomo (putra Bung Tomo), KH Sholahuddin Wahid (cucu KH Hasyim Asy'ari), Agustanzil Sjahoezah (cucu KH Agus Salim), Cahyo (putra Jenderal Gatot Subroto), Rahmawati (putri Bung Karno) , Halida Hatta (putri Bung Hatta), Mamiek Soeharto, Anis Baswedan, K Hilmi Aminudin (Ketua Majelis Syura PKS).

Acara ini dibuka oleh Presiden PKS Tifatul Sembiring. Sebagai selingan adalah grup band Cokelat yang akan menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Penyair Taufik Ismail juga akan membacakan puisinya.

'Rekonsiliasi' ini digelar menyusul kontroversi iklan Hari Pahlawan PKS yang menempatkan Soeharto sebagai 'pahlawan dan guru bangsa'.

Tifatul Sembiring: Tunggu Iklan Berikutnya


VIVAnews. Jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang terbaru menunjukkan dukungan publik kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) cuma 4,9 persen. Perolehan itu menurun tajam dari hasil Pemilu 2004 dimana PKS mendapat 7,2 persen suara.

Hasil itu juga menurun dari hasil survei LSI yang digelar Oktober 2008. Dalam survei itu partai ini mendapat 6,3 persen suara. Dua hasil survei ini jauh dari target petinggi partai itu. Dalam Pemilu 2009 mereka mematok target memperoleh 20 persen suara. Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Tifatul Sembiring, menanggapi perubahan itu. Berikut petikan wawancara dengan VIVAnews.

Mengapa dukungan merosot. Padahal partai ini punya target 20 persen di Pemilu 2009?

Survei itu kan hasil sesaat. Dan LSI juga mengumumkan bahwa 34 persen di antara yang disurvei merupakan penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Jadi, hasil survei sangat segmentatif. Karena kalangan yang disurvei juga termasuk penerima BLT dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Kalau kalangan ini memilih Susilo Bambang Yudhoyono, ya, wajar saja. Jadi survei kemarin itu berbeda dengan survei-survei lain sebelumnya. Bagaimanapun masih ada waktu lima bulan lagi. Dan perolehan suara masih bisa naik dan turun.

Bagaimana strategi PKS mendongkrak perolehan suara?

PKS tetap konsisten dengan program-program yang kita lakukan. Selama ini juga terbukti tidak ada anggota PKS yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Nah, persepsi masyarakat, bukan berdasarkan hasil survei semata. Tapi juga, program-program dan bukti yang kontinyu dari suatu partai. Kami juga membidik pemilih pemula, karena ini penting untuk mendongkrak suara.

Apakah PKS akan mengeluarkan iklan di media lagi. Apakah iklan itu nanti seperti iklan yang kemarin diperdebatkan?

Ya, tentu, setelah kemarin, PKS beriklan tanggal 9,10 dan 11 November 2008, maka nanti akan ada iklan lagi dengan jenis iklan yang berbeda. Supaya masyarakat tidak bosan. Tapi, iklan seperti apa, itu nanti saja kita umumkan. Kalau saya bilang sekarang, nanti tidak surprise lagi, dong.


Sumber: vivanews

'Kesadaran Sejarah PKS Luar Biasa!'


INILAH.COM, Jakarta. Di tengah kecaman yang diarahkan kepada PKS terkait dengan iklan politiknya, masih ada pengamat dan politisi yang mengacungi jempol pada kecerdikan partai itu dalam memperluas basis dukungan. Mereka adalah Effendi Ghazali dan Sri Sultan Hamengku Buwono X.

PKS dianggap memiliki kesadaran politik yang luar biasa dengan menampilkan tokoh-tokoh bangsa dalam iklan politiknya. Hal tersebut dilakukan PKS demi menaikkan raihan suara pemilihnya dalam Pemilu 2009 mendatang.

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Effendi Ghazali, misalnya, dengan terus terang memuji kesadaran sejarah para elit PKS yang dinilainya luar biasa. “PKS yang semula sangat relegius dan terkesan ekskluisif, ternyata sadar betul harus mencoba menampilkan tokoh-tokoh yang nasionalis, jika ingin menaikkan porsi suaranya," tutur Effendi.

Iklan politik PKS, dipandang Effendi sebagai cara yang cukup efektif bagi PKS untuk mencoba mengambil alih suara dari swing voter menjelang Pemilu 2009.

Sebelumnya Sri Sultan Hamengku Buwono X juga punya pandangan positif mengenai taktik PKS. Iklan yang menampilkan sejumlah pahlawan nasional itu, menurut Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, bukan sebuah pelanggaran terhadap undang-undang.

Sultan mengaku tidak mempermasalahkan jika ada partai politik yang melakukan kampanye politik di media massa dengan memanfaatkan sosok pahlawan. "Tidak ada aturan yang melarang pemanfaatkan pahlawan nasional untuk kampanye parpol di media massa. Termasuk dalam undang-undang pemilu," tegasnya.

Seperti diketahui, PKS telah memuat dua iklan yang menampilkan sejumlah tokoh nasional. Iklan ini mendapat reaksi dari sejumlah ormas yang meras tokohnya ditampilkan PKS tanpa izin terlebih dulu.

Bahkan, di iklan menyambut hari pahlawan, partai berlambang dua bulan sabit mengapit sebatang padi ini menampilkan delapan tokoh sekaligus. Yakni, Soekarno, M Hatta, Soeharto, Bung Tomo, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, Mohamad Natsir, dan Jenderal Sudirman.

Iklan terakhir membuat PKS kembali mendapat kecaman karena menampilkan sosok Soeharto sebagai pahlawan dan guru bangsa. PKS kemudian berencana mengundang keluarga tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam iklannya itu.

http://pemilu.inilah.com/berita/2008/11/18/62551/kesadaran-sejarah-pks-luar-biasa/