jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Minggu, 28 Februari 2010

Episode Century Penuh Politisasi

Kasus Bank Century terus bergulir. Kali ini bola Century menggelinding makin liar menyusul semakin dekatnya rapat paripurna DPR yang akan membahas kesimpulan Pansus Century. Persoalan yang mengemuka tak lagi hanya berkutat pada perdebatan yang esensial dari kasusnya itu sendiri. Kini, kasus Century seakan sudah menjadi komoditas dari para politisi untuk dijadikan bargaining dan daya tekan. Tentu apa yang dilakukan para politisi tersebut mengecewakan rakyat. Kasus bailout senilai Rp 6,7 triliun telah dipolitisasi sedemikian rupa, dan dengan sangat terbuka ditunjukkan kepada masyarakat.

Tengok saja, gerilya para staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ke sana ke mari menemui para tokoh sambil “menjajakan” dagangannya mengenai Century. Tujuan lobi-lobi itu bukan untuk mencari titik terang persoalan Century, melainkan bagaimana agar tekanan terhadap partai penguasa tensinya menurun. Seharusnya, kalau ingin mendukung pemerintah, para staf khusus tersebut bisa memunculkan data-data yang mendukung dan bukannya hanya sowan para tokoh tanpa tujuan yang jelas. Karena hampir semua tokoh yang ditemui, mengaku tak memiliki pengertian mengenai maksud kedatangan para staf khusus tersebut.

Mewaspadai Politik Transaksional

Ditundanya Pilkada Kota Pekalongan, Jawa Tengah karena problem calon tunggal walikota/wakil walikota menjadi fenomena politik yang menarik untuk dicermati. Adalah Basyir Achmad dan Abu Almafakhir, pasangan incumbent yang resmi terdaftar sebagai pasangan calon dan siap berlaga. Namun lawan politik punya strategi politik berbeda dengan tidak mengusung pasangan calonnya. Konsekuensinya, Pilkada Kota Pekalongan harus dijadwal ulang karena Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 Pasal 50 ayat (1) dan (2) tidak membuka celah adanya calon tunggal. Lawan politik incumbent dengan cerdik memainkan politik bubar siji bubar kabeh.

Lalu, mengapa parpol sengaja tidak memunculkan pasangan calonnya? Bukankah tanggung jawab parpol mempersiapkan, memunculkan dan mengusung kader-kadernya untuk bertarung dalam Pilkada guna meraih kekuasaan politik formal? Atau ini adalah permainan politik untuk meningkatkan posisi dan penawaran harga. Dugaan ini wajar, mengingat iklim politik transaksional masih kental mewarnai percaturan politik kita.

Sejauh mana parpol memperhatikan moralitas politik sehingga tidak mengingkari hati nurani rakyat? Ini terkait erat dengan pertimbangan untung rugi yang ditanggung oleh masyarakat. Misalnya anggaran negara membengkak untuk membiayai molornya Pilkada, serta semakin apatisnya masyarakat terhadap parpol maupun Pilkada itu sendiri yang berimbas pada menurunnya partisipasi politik masyarakat.


Menguatnya Politik Transaksional

Koalisi dan Oposisi dalam Sistem Presidensial

Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu bersaudara. Bahkan keduanya merupakan saudara kembar yang lahir dari ibu kandung yang sama, yaitu rakyat. Keduanya berhubungan dan harus berhubungan sesuai dengan fungsi masing-masing. Presiden tanpa DPR akan menjadi otoriter, DPR tanpa presiden laksana pohon tanpa buah atau dengan kata lain bagaikan ilmu tanpa amal. Rakyat memerlukan presiden untuk menjalankan pemerintahan negara, dan rakyat membutuhkan DPR untuk mengawasi jalannya pemerintahan tersebut. Presiden disebut eksekutif (dari kata to execute), bahkan eksekutif par excellence, yang berwenang menjalankan (pemerintahan) untuk mengeksekusi apa yang ditetapkan undang-undang.

Sementara DPR disebut legislatif karena DPR-lah yang menjalankan fungsi legislasi, di samping fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan. Dalam menjalankan fungsi legislasi, DPR adalah pembentuk undang-undang (lawmaker), bahkan pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang. Rancangan Undang-Undang (RUU) baik yang datang dari DPR maupun yang diajukan presiden, dibahas bersama-sama antara DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

DPR menjalankan tugas dan kewenangannya berdasarkan UU, demikian juga presiden. Memang benar sejatinya UUD 1945, apalagi setelah amendemen, menganut sistem presidensial. Di antara ciri sistem presidensial adalah adanya periode masa jabatan presiden yang pasti (fixed term), yakni lima tahun.

Presiden tidak dapat dimakzulkan dalam masa jabatannya, kecuali melanggar hal-hal yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 7A yang berbunyi: “Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.”