Pagi yang mendung di padepokan Klamis Ireng. Ki Lurah Bodronoyo alias Semar hatinya gundah gulana. Matanya terpejam. Memikirkan kondisi negara Amarta yang carut-marut. Dia tidak habis pikir, kenapa para dewa di Jongringsalaka tidak pernah mau meninggalkan dan mengubah tradisi yang sudah berjalan bertahun-tahun, yaitu kesukaannya anjangsana alias Kunker (kunjungan kerja) melawat ke berbagai daerah dan negara. Kunker seolah menjadi harga mati, merupakan tradisi yang harus dilestarikan.
Dalam hitungan Ki Lurah Semar, sudah satu dasawarsa ini, para dewa disindir dan dikritik habis-habisan oleh kawula marcapada. Namun sepertinya tidak pernah digubris sama sekali. Toh tidak juga bergeming. Maju terus pantang mundur. Kunker tetap berjalan. Biarlah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.
Para dewa di Kayangan selalu punya alasan. Kunker merupakan tugas kenegaraan yang mulia, yaitu menjalankan amanat Undang-Undang. Konon katanya dalam perundang-undangan diatur ada tiga jenis Kunker. Pertama, konsultasi. Kegiatan ini dilakukan ke instansi atau lembaga yang lebih tinggi. Kedua, studi banding dilakukan ke instansi atau lembaga horizontal. Ketiga, kunjungan lapangan yang dilakukan dalam rangka tugas koordinasi atau pengawasan.
Bukankah wajar, bila dalam menjalankan tugas yang mahaberat dan maha penting mendapatkan fasilitas transportasi dan akomodasi? Begitu argumentasi mereka. Bahkan Batara Guru, yang menjadi jubir para dewa, selalu mengalkulasi apa yang dia terima sebenarnya tidak seberapa, masih relatif kecil. Bila dibandingkan dengan besarnya tanggung jawab yang diemban. Transportasi tidak menuntut yang macam-macam. Cukup pesawat udara. Urusan akomodasi cukup disediakan hotel bintang 3 atau 4 saja. Apakah itu berlebihan?