jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Kamis, 07 Mei 2009

PKS Undang Jimly Asshiddiqie


Peluang Jimly cukup terbuka dari aspek wilayah.

JAKARTA. Di saat mencuatnya wacana cawapres SBY akan berasal dari kalangan profesional, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengundang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie. Kedatangan Jimly memunculkan sejumlah spekulasi politik.

Jimly datang ke Markas PKS di Jalan TB Simatupang, Rabu (6/5), untuk memenuhi undangan PKS. Ia diminta PKS untuk memberikan pengarahan kepada 30 advokat PKS terkait kiat-kiat beperkara di MK.Meski begitu, kedatangan Jimly ke PKS memunculkan spekulasi PKS akan dijadikannya Jimly sebagai jalan tengah cawapres bagi parpol di koalisi Demokrat. Hal ini mengingat figur Jimly relatif diterima semua kalangan.

Tapi, spekulasi ini dibantah Sekjen DPP PKS, Anis Matta. Undangan ke Jimly semata-mata untuk memberikan konsultasi guna menyelamatkan hasil pemilu legislatif. ''Kedatangan Pak Jimly tak ada kaitan sama sekali dengan cawapres,'' tegas Anis. Bagi PKS, kata Anis, cawapres SBY yang diinginkan partai adalah salah satu dari tiga nama yang diajukan PKS kepada SBY.

Jimly membenarkan keterangan Anis. Menurut Jimly, dia datang untuk menghormati undangan PKS yang memintanya memberi pengarahan dan kiat-kiat beperkara di MK. ''Namanya diundang tentu saya senang, lagian saya kan memang dekat dengan semua partai. Kemarin kan sudah di Demokrat.''Jimly enggan berkomentar banyak saat ditanya soal kemungkinan dirinya terpilih sebagai cawapres SBY dari kalangan nonparpol. ''Waduh, kalau soal cawapres itu tanya pengamat saja ya. Jangan tanya saya,'' ucap Jimly.

Direktur Indo-Barometer, M Qodari, mengatakan, berdasarkan penetrasi wilayah, Jimly cukup kuat untuk mendampingi SBY. Dijelaskannya, salah satu kriteria SBY dalam menentukan cawapresnya adalah berdasarkan penetrasi wilayah luar Jawa, yakni wilayah timur dan wilayah barat.''Sebelumnya, Pak JK (Jusuf Kalla) dari wilayah timur, maka kemungkinan besar cawapres SBY saat ini dari wilayah barat,'' ungkapnya.

Dengan pendekatan wilayah itu, tokoh-tokoh dari Pulau Sumatra cukup kuat, dan Jimly yang asli Palembang, Sumatra Selatan, akan bersaing dengan tokoh Sumatra lainnya, seperti Hatta Radjasa dan Akbar Tandjung yang juga berpeluang menjadi cawapres SBY.Sebelumnya, Jaring Muda Indonesia (JMI), menyatakan dukungan terhadap pencalonan Jimly Asshiddiqie sebagai cawapres SBY karena dianggap yang paling rasional dari kandidat yang ada dan memiliki basis hukum yang kuat.

JMI memiliki lima kriteria yang harus dimiliki pendamping SBY, yakni tidak berpihak pada neoliberalisme, profesional, mampu menjadi sharing partner(rekan berbagi) presiden. Jimly juga tidak punya cacat secara politik di masa lalu, dan diterima di kalangan mana pun.

Posisi Boediono

Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif CIDES, Umar Juoro, menilai, Boediono bersama Sri Mulyani lebih baik tetap pada posisinya, yaitu gubernur Bank Indonesia dan menteri keuangan. Keduanya lebih berkontribusi dalam perekonomian di jabatan itu.Menurut Umar, keduanya bisa diterima oleh pasar. Namun, menurut dia, untuk wakil presiden diperlukan dukungan dari partai politik guna mendukung pemerintah di parlemen.


Sumber: smsplus.blogspot.com

Adu kuat Boediono lawan Hatta


Nama Boediono menyodok di antara calon-calon wakil presiden SBY. Dia kini bersaing dengan Hatta Rajasa, politisi PAN yang juga Menteri Sekretaris Negara. Siapa lebih berpeluang jadi RI-2 jika SBY memenangkan Pilpres?

Boediono yang kini Gubernur Bank Sentral, sudah lama dibina oleh IMF, ADB, dan Bank Dunia, melalui jaringan mafia Berkeley. Tujuannya tentu, untuk memancangkan ekonomi neoliberal di Indonesia.

Sebagai akademisi, Buoediono yang ramah dan murah senyum serta jujur itu bekerja dengan taat asas. Dia bertopang padatextbook thinking. Amat jarang dia berpikir alternatif out of the box, untuk mengatasi kesulitan ekonomi dan kemiskinan di negeri ini.

Boediono adalah ilmuwan yang sangat percaya bahwa pasar sangat vital dalam menentukan kesejahteraan rakyat. Bicara neoliberalisme sama artinya bicara tentang ekspansi kepentingan pemodal negara-negara kaya.

Padahal, demokrasi ekonomi berbeda secara diametral dari neoliberalisme. Sebab, neoliberalisme mengagungkan persaingan dan kebebasan individu. Sedangkan demokrasi ekonomi lebih mementingkan kerja sama dan persaudaraan sosial.

Para pemodal negara-negara kaya inilah terutama yang menjadi sponsor globalisasi. Sebab itu, mudah dimengerti bila penyebarluasan globalisasi hampir selalu berjalan beriringan dengan penyebarluasan neoliberalisme.

Pengamat ekonomi dari Universitas Gajah Mada (UGM), Revrisond Baswir, mengungkapkan kebijakan ekonomi neolib itu diusung Mafia Berkeley, mengadopsi kebijakan yang dirancang IMF maupun Bank Dunia. Kebijakan itu dikenal dengan sebutan Konsensus Washington.

"Tema besarnya adalah apa yang sekarang dikenal sebagai agenda ekonomi neoliberal. Kegagalan perekonomian Orde Baru adalah utang luar negeri yang sangat besar dan ketergantungan Indonesia atas utang luar negeri," kata Revrisond.

Globalisasi yang sering didengungkan Boediono sesungguhnya hanya kedok. Di balik itu, bersembunyi agenda-agenda ekonomi neoliberal yang dimotori para pemodal negara-negara kaya. Mereka diusung ke Indonesia oleh para teknokrat Mafia Berkeley yang menolak paradigma baru, jalan baru, dan agenda baru bagi Indonesia.

Boediono dinilai pengamat termasuk neoliberalis yang konservatif. Jika dia menjadi pilihan SBY, bisa jadi akan menyulitkan SBY jika menang dalam pilpres mendatang. Sebab, selain tak diajukan parpol dari koalisi SBY seperti PKS, PAN dan PKB, sangat mungkin Budiono menuai resistensi dari kaum nasionalis dan Islamis di negeri ini. Presiden Soekarno ketika memimpin Indonesia selalu mengecam dan mencela neokolonialisme (neoliberalisme).

Itu sebabnya, peluang Hatta Rajasa yang berasal dari PAN, sebuah partai nasionalis yang berbasis Muslim modernis dan merupakan teknokrat ITB, lebih menjamin sustainabilitas kubu Demokrat ke depan. Apalagi, PKS lebih memberikan preferensi ke Hatta Rajasa ketimbang Boediono.

PKS, salah satu rekan koalisi Demokrat dengan dukungan suara besar, merasa tak ada masalah dengan Hatta. "Sejauh ini komunikasi PKS dengan Pak Hatta baik. Kita sudah berhubungan dalam kapasitas Pak Hatta sebagai Mensesneg, bukan fungsionaris PAN. Hatta itu teman kongkownya PKS. Kalau dia dicalonkan Demokrat jadi cawapres SBY, boleh saja," ujar Mahfudz Shiddiq, salah seorang petinggi PKS.
(amr/inilah)


Sumber: smsplus.blogspot.com

Kontrak Politik Demokrat-PKS Segera Dideklarasikan


JAKARTA, KOMPAS.com — Kontrak politik antara Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan segera diresmikan. Anggota Tim 9 Demokrat Sjarief Hasan mengatakan, kesepakatan ini akan dideklarasikan sekitar tanggal 10 atau 11 Mei mendatang. "Setelah pengumuman KPU definitif," ujar Sjarief dalam pertemuan dengan Tim 5 PKS di Jakarta, Selasa (5/5).

Sjarief maupun Presiden PKS Tifatul Sembiring sendiri mengaku, dalam pertemuan terakhir ini, keduanya sudah menyepakati sejumlah poin dalam kerja sama politik ke depannya. Tifatul mengatakan, pertemuan ini bertujuan mematangkan substansi kerja sama yang sudah dibangun dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya. "Secara substantif tidak ada perbedaan mendasar. Tinggal cek akhir, mudah-mudahan bisa sign sama-sama," tutur Tifatul pada kesempatan yang sama.

Namun, Tifatul menegaskan, kontrak politik tidak memuat poin calon wakil presiden yang akan ditawarkan PKS untuk mendampingi SBY. Kontrak politik hanya membahas format pemerintahan ke depan berdasarkan platform. "Tentunya akan dituangkan dalam format kabinet. Tapi kita tidak berangkat dalam orang. Tidak ada pembicaraan (tentang orang), tapi kami ingin perkokoh dasar," lanjut Tifatul.

Substansi yang dibicarakan antara lain soal situasi politik nasional, otonomi daerah, masalah enggan masuknya investor, serta agenda kepemimpinan reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Kesepakatan dalam pertemuan hari ini akan dibawa ke masing-masing partai, PKS ke Majelis Syuro dan Demokrat ke SBY, untuk dilaporkan.

Edukasi Politik Artis


Dari (mungkin puluhan) trilyunan rupiah yang dibanjirkan para caleg, parpol, pemerintah, dan berbagai pihak lainnya dalam fiesta demokrasi belakangan ini, siapa saja sebenarnya yang mengambil keuntungan material terbanyak? Jawaban cepat menyebut para pengusaha iklan, desain, cetak, dan jasa publikasi lain sebagai pihak pertama. Ada juga yang bilang, para "pengusaha" survei, penasihat kampanye, dan sebagainya.

Tak ketinggalan, tentu avonturir politik, para manipulator suara, pengerah massa, penyewaan panggung, tenda, sound system, dan seterusnya. Yang tak bisa ditolak adalah para penghibur (entertainer), khususnya para pemusik (dan penyanyi), yang menerima hujan rezeki. Mereka tampil sebagai pelengkap mimbar-mimbar politik, dari sekadar rapat, musyawarah, hingga panggung kampanye.

"Sebagai pelengkap"? Tampaknya tidak juga. Dalam sebuah temu publik, panggung kampanye, misalnya, para penghibur ini sebenarnya menjadi daya tarik utama massa yang berhimpun (di samping tentu daya tarik "uang tempel"). Bukan hanya hiburan gratis, kesempatan berjumpa dengan selebriti nasional juga mendorong masyarakat banyak datang, lebih dari sekadar mendengarkan pidato/janji politik yang menjemukan.

Karenanya, tak mengherankan bila caleg atau parpol berani membayar mahal selebriti utama, seperti grup band Changcuters, Ungu, Peterpan, Dewa, hingga penyanyi macam Kris Dayanti dan sederet penyanyi dangdut ternama. Tak mengherankan pula bila semua partai utama menjaring artis untuk menarik massa, memperebutkan suara, lebih kuat ketimbang visi partai atau platform politik mereka.

Dan apa yang terjadi kemudian? Setidaknya sebuah gambaran psikologis: partai politik mengalami krisis kepercayaan diri sebagai institusi politik dalam merebut perhatian dan perolehan suara konstituen. Visi, sejarah, ideologi, atau cita-cita politik kini menjadi begitu minor, bahkan sudah lama kalah oleh setumpuk uang, dan kini begitu inferior di hadapan para selebriti. Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipelesetkan menjadi "Partai Artis Nasional" menjadi preseden sukses pendulangan suara berdasarkan rekrutmen para calegnya dari kalangan artis.

Di sisi lain, fenomena ini pun menunjukkan bagaimana institusi politik utama kita, cq parpol, yang menjadi ujung tombak pendidikan politik masyarakat, tampaknya tidak cukup sukses melaksanakan peran dan tugasnya. Hingga penyelenggaraan hari ini, setengah abad lebih sejak 1955, rakyat negeri ini ternyata belum juga memiliki komprehensi yang cukup adekuat tentang makna, tujuan, hingga prosedur-prosedur politik yang seharusnya mereka dapatkan.

Kontestasi politik yang masih didominasi hal-hal yang selebratikal juga memperlihatkan, bukan hanya pendidikan politik yang gagal. Pendidikan dalam pengertian luas juga tidak berhasil mencapai idealnya. Setidaknya ideal yang dititipkan konstitusi, para pembangun negeri (founding fathers), atau sekurangnya para tokoh pendidik semacam Ki Hadjar Dewantara.

Secara kultural, kegagalan pendidikan kita dalam menanamkan dan menumbuhkan daya dan kekuatan apresiasi artistik publik terlihat mencolok. Penempatan karya-karya musik pop, dangdut, yang bahkan "berselera keremajaan", bukan hanya berpotensi merendahkan, melainkan juga mementahkan bobot idealisme politik itu sendiri. Itu tak terelak ketika pendidikan kita memang menjauhkan diri dari relasi-relasi apresiatifnya dengan karya-karya seni bermutu. Terlebih yang bergenre "kontemporer".

Hal itu bisa dilihat pada tingkat apresiasi para elite politik sendiri. Dalam diskursus formal dan informal mereka, terlihat jauh sekali jarak pengenalan mereka pada karya-karya seni yang secara kualitatif ?baik? atau ?bermutu?. Bahkan, pada tingkat lokal, mereka tidak akrab dengan karya-karya seniman unggul, seperti Nasirun, Heri Dono, Tony Prabowo, Rahayu Supanggah, Slamet Abdul Syukur, Sardono W. Kusumo, Boedi S. Otong, Dindon W.S., Afrizal Malna, dan Gus Tf.

Apa yang mereka ketahui umumnya adalah karya dan nama-nama artis pengisi tabloid gosip atau infotainment. Sebuah kondisi yang secara lebih lapang sesungguhnya menciptakan ancaman tidak remeh bagi kelanjutan dan perkembangan adab dan budaya negeri ini. Ketika selera dan apresiasi makin dangkal, artifisial, dan pragmatis, tingkat adab dan budaya kita, yang selama dua milenium menciptakan kekaguman dunia, perlahan akan terkelupas hingga ke intinya.

Di sinilah pendidikan, yang dilakukan secara semesta oleh semua institusi sosio-politik-kultural, terlihat perannya yang krusial dan strategis. Di tengah kritik tiada habisnya yang dilancarkan kepada Departemen Pendidikan Nasional, sebagai lembaga utama pemegang obligasi historis ini, ketidakpedulian stakeholder pendidikan lainnya, termasuk institusi politik, bukan hanya memperlemah kemampuan kita beradaptasi dengan masa kini. Melainkan juga akan menjerumuskan kita pada ketidakberdayaan dalam persaingan yang kian anomalik belakangan ini.


Radhar Panca Dahana
Pekerja seni [Perspektif, Gatra Edisi Khusus Beredar 30 April 2009]

Suripto: Harus Lebih Hati-Hati Seleksi KPK


VIVAnews. Wakil Ketua Komisi 3 DPR Suripto mengatakan bahwa peristiwa penahanan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar menjadi pelajaran berharga untuk lebih berhati-hati dalam menyeleksi anggota komisi itu.

"Dengan adanya peristiwa ini, tentu kita harus lebih berhati-hati lagi dalam menyeleksi calon anggota KPK," ujar Suripto saat hendak menjenguk Antasari di markas Polda Metro Jaya, Minggu 3 Mei 2009.

Suripto sendiri mengaku mulai mengenal Antasari saat komisi 3 DPR menyeleksi Antasari sebagai Ketua KPK. Saya kenal Pak Antasari sejak melakukan fit & proper test," kata Suripto.

Saat itu, menurut Suripto, dirinya mengaku telah menekankan bahwa seluruh anggota KPK yg lolos agar betul independen dan tidak terpengaruh oleh pihak manapun, baik lembaga eksekutif, lembaga yudikatif, dan maupun lembaga legislatif. "Beliau semua sudah berjanji, termasuk pak Antasari."

Namun Suripto menolak anggapan bahwa ini merupakan kesalahan fatal dari DPR karena telah meloloskan Antasari sebagai Ketua KPK. "Sekarang kan masih dalam pemeriksaan. Kalau memang ternyata betul, bagi komisi, ini merupakan pembalajaran dalam hal menseleksi," ujar Suripto.

Andaikan Suripto ditetapkan sebagai tersangka, Suripto menambahkan, perlu ditambah anggota baru. Maka perlu dilakukan fit & proper test ulangan, dengan usulan anggota baru. Namun komisinya belum membicarakan hal itu karena peristiwa tersebut baru saja terjadi.

Selain itu, menurut dia, untuk sebagai langkah pengamanan dan menjaga nama baik lembaga, Antasari memang sebaiknya dinonaktifkan. "Bila ada seseorang diindikasikan sedang dalam penyidikan atau pemeriksaan, memang sebaiknya dinonaktifkan dan bila perlu dilakukan pencekalan."

Selama ketua KPK non aktif, anggota-anggota KPK lain bisa diberi tugas dan tanggung jawab sebagai ketua KPK secara bergilirian.

Selain telah mengenal Antasari, Suripto juga mengaku mengenal Sigid. "Selama ini saya tidak menyangka beliau..." kata Suripto. Suripto mengaku ia hanya mendapat informasi sepotong-sepotong.

Namun, Suripto tidak ingin melakukan praduga tak bersalah. Perlu penyelidikan lebih lanjut untuk mengetahui motif sebenarnya, apakah sekedar urusan rebutan perempuan, atau memang ada latar belakang lain. "Artinya kita lihat dulu dari bukti-bukti yang dikumpulkan polisi."

Suripto sendiri gagal menjenguk karena penyidikan polisi sendiri masih berlangsung. Suripto masih menunggu kesempatan untuk menjenguk kawan lamanya itu di kesempatan lain.


Sumber: http://politik.vivanews.com/news/read/54431-suripto__harus_lebih_hati_hati_seleksi_kpk