jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu
Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..
Minggu, 21 Juni 2009
Utang Oke asal Produktif
Perdebatan tentang utang negara seolah tidak habis-habis di Indonesia. Penulis ingat, waktu krisis 1997, masalah utang luar negeri sering menjadi topik diskusi. Pada masa krisis ekonomi global sekarang, utang negara juga menjadi isu utama. Sebab, krisis ekonomi global telah membuat utang banyak negara, bahkan negara maju seperti AS, meningkat tajam.
Publikasi IMF 9 Juni 2009 menunjukkan bahwa porsi utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) di AS, Jepang, dan Inggris naik lebih dari 10 persen sejak 2006 hingga 2009 (April). Sedangkan utang negara seperti Jerman, Kanada, dan Australia naik kurang dari 10 persen pada periode yang sama. Namun, ada pula yang mencatatkan porsi utang negara terhadap PDB turun. Di antaranya, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, dan Argentina. Masing-masing menjadi 6,9 persen (turun 3 persen), 15,6 persen (turun 12 persen), 29,1 persen (turun 3 persen), dan 50,4 persen (turun 26 persen).
Berdasar uraian tersebut dapat dilihat, negara yang kaya sumber daya alam dapat menggunakan kekayaan alam untuk mengurangi utang dengan baik. Demikian juga Indonesia, salah satu negara yang kaya akan sumber alam. Beban utang negara menurun jika diukur dari PDB. Yakni, dari 39 persen menjadi 32,9 persen pada periode yang sama (atau drop 6 persen). Meski begitu, tidak berarti nilai utang Indonesia menurun.
Nilai utang Indonesia sejak Orde Baru sampai sekarang terus meningkat. Meski krisis ekonomi 1997 sudah lebih dari satu dekade berlalu, utang Indonesia terus membengkak. Utang negara pada 1996 tercatat 18,17 persen dari PDB. Krisis ekonomi membuat rasio utang terhadap PDB meningkat pesat, mencapai puncaknya, yakni 97,83 persen, pada 2000. Namun, empat tahun kemudian, besar utang turun menjadi 57 persen dan pada 2008 menjadi 33 persen. Sedangkan pada 2009, diperkirakan besar utang masih 32 persen. Meski dari sisi perbandingan utang terhadap PDB turun tajam pascakrisis ekonomi 1997, nilai tersebut terus meningkat seiring dengan berlangsungnya defisit APBN.
Nilai utang Indonesia naik dari Rp 940 triliun pada 1999 menjadi Rp 1.273 triliun pada 2001. Kemudian, nilai tersebut naik lagi menjadi Rp 1.299 pada 2004 dan diperkirakan meningkat menjadi Rp 1.700 triliun (data Depkeu) pada 2009. Artinya, ada kenaikan Rp 740 triliun sejak 1999 (satu dekade) atau Rp 401 triliun sejak 2004 hingga 2009 (lima tahun terakhir). Itu berarti nilai utang Indonesia naik cepat dalam lima tahun terakhir ini jika dibandingkan dengan periode yang sama sebelumnya.
Harus Bikin Multiplier
Saya yakin, siapa pun senang kalau kelebihan dana daripada utang. Kalau bisa, kita ingin menjadi pihak yang kelebihan dana sehingga dapat memberikan utang kepada pihak lain. Tapi, kadang pilihan yang ada terbatas. Seperti negara yang menghadapi krisis ekonomi, biasanya utangnya meningkat. Sebab, negara itu harus menyehatkan ekonominya sehingga memerlukan banyak dana. Padahal, pada periode krisis, biasanya penerimaan negara berkurang. Karena itu, mau tidak mau opsi utang diambil.
Negara berkembang yang sedang membangun biasanya juga punya banyak utang, khususnya pinjaman luar negeri untuk mengatasi kekurangan dana domestik. Negara sedang berkembang memerlukan banyak dana untuk membangun infrastruktur. Karena itu, utang negara sedang berkembang cenderung besar. Biasanya, negara tersebut menjadi langganan Bank Dunia ataupun lembaga multilateral lain. Negara sedang berkembang yang kaya sumber daya alam pun biasanya punya utang, tapi tidak besar. Lihat saja Arab Saudi dan Rusia. Sebelum krisis ekonomi 1997, utang Indonesia ada pada jajaran tersebut (di bawah 20 persen PDB). Karena itu, negara-negara yang kaya sumber alam, seperti Indonesia, mestinya tidak perlu terjerat utang besar, meski tidak berarti imun terhadap krisis ekonomi.
Utang negara tidak tabu sepanjang digunakan untuk alasan yang benar, misalnya proyek produktif. Sehingga, negara punya kemampuan mengembalikan dari pendapatan proyek tersebut. Bisa juga memberikan dampak multiplier ekonomi yang besar (meningkatkan penerimaan negara). Sehingga, secara tidak langsung kondisi tersebut meningkatkan kemampuan negara dalam membayar utang. Dengan demikian, negara tidak membebani generasi yang akan datang. Namun, perlu dijaga agar utang tidak digunakan untuk pengeluaran konsumsi yang membebani generasi mendatang.
Utang juga perlu dikelola dengan baik sehingga tidak membahayakan kelangsungan keuangan negara dan ongkosnya murah. Risikonya pun dikelola dengan baik sehingga tidak membahayakan perekonomian. Indonesia biasanya cukup berhati-hati dalam berutang, meski akhir-akhir ini terkuak bahwa bantuan langsung tunai (BLT) yang disalurkan ke masyarakat miskin ternyata dibiayai utang, tidak digunakan untuk proyek produktif. Hal tersebut membuat banyak pihak mulai menggugat lagi kebijakan utang kita. Apalagi, memang nilai utang Indonesia terus meningkat dari tahun-ke tahun.
Sepanjang anggaran Indonesia masih defisit, utang negara pasti terus meningkat. Apalagi, pemerintah menggariskan kebijakan bahwa utang merupakan instrumen pembiayaan APBN untuk menutup defisit dan membayar utang jatuh tempo. Untuk itu, perlu dijaga agar defisit APBN dibatasi, selain diperlukan pengaturan agar utang tidak digunakan untuk kepentingan konsumsi. Berbagai opsi yang dapat mengurangi beban utang, seperti debt swap luar negeri yang sering ditawarkan oleh negara kreditor, juga perlu dimanfaatkan secara maksimal. Paling tidak, itu bisa mengurangi beban utang secara signifikan. Sehingga, kemampuan Indonesia untuk membangun ekonomi tidak terganggu. (*)
Jogjakarta, 21 Juni 2009
Oleh: Dr Sri Adiningsih, Dosen Fakultas UGM, Jogjakarta
Jangan Pilih Pemimpin dalam Karung
SUDAH lama berselang, seorang teman baik saya, yang biasa bicara macam-macam bagai seorang teman, suatu hari berkata, "Kalau orang respek pada Anda, itu jelas. Tapi, kalau orang suka pada Anda, itu belum tentu!" Jawab saya, "Ya, saya tahu, tidak semua orang suka pada saya."
Diagnosis yang dia ucapkan secara jujur dalam suasana yang kurang bersahabat itu terasa menusuk perasaan. Sehingga, saya perlu memikirkannya berhari-hari. Pertama, haruskah saya mengubah perilaku sehari-hari? Tetapi, nanti dulu, yang harus berubah itu saya atau mereka yang tidak suka? Masih banyak lagi pertanyaan yang timbul. Tetapi, pertanyaan yang paling penting akhirnya keluar. Yakni, lebih baik mana, direspeki atau disukai orang kalau hanya satu yang boleh dipilih?
Orang bisa suka begitu saja. Tanpa alasan rumit, yang disukai tidak perlu bekerja apa-apa. Seperti boneka dan bayi, tergeletak saja, sudah banyak yang suka. Paling-paling, lucu, cantik, ganteng, dan mbanyol atau cukup nyanyi yang merdu, banyak yang suka. Cukup kepemilikan dan kemampuan yang bersifat primordial.
Tetapi, respek berbeda. Orang baru bisa respek kepada orang lain karena ada suatu prestasi, suatu kemampuan yang ditunjukkan.
Suka dan tidak suka hanya emosi yang berlangsung tidak terlalu lama dan mudah berubah. Sedangkan respek yang muncul karena prestasi akan lebih permanen.
Akhirnya, saya lebih memilih direspeki orang daripada disukai. Diagnosis teman yang dulu saya anggap berbau merendahkan itu kini saya sadari sebagai pujian. Dalam hati, ada rasa berterima kasih karena telah bisa menganalisisnya dengan lebih baik.
***
Masa berjalan terus. Pola pikir telah berkembang. Maka, analisis yang terkait dengan itu berkembang pula. Ternyata, banyak sekali orang, baik pejabat maupun bukan, tidak bisa membedakan masalah publik, seperti fungsi menjabat, keilmuan, dan kepentingan orang banyak, dengan persoalan personal, seperti perkawinan, upaya mendesain rumah, cara berpakaian, dan kehidupan beragama.
Masalah yang bersifat publik membutuhkan analisis dan pengujian rasional. Sedangkan kebanyakan masalah personal tidak perlu dan tidak bisa dianalisis atau diuji rasional seperti itu. Tapi, kalau bisa dilakukan, hasilnya tentu lebih baik.
Itulah yang terjadi pada teman saya tersebut. Waktu kami berbicara tentang keilmuan, suatu masalah publik, timbul asupan-asupan emosional yang seharusnya tidak terjadi. Dalam ilmu, yang dibicarakan bukan suka dan tidak suka, melainkan valid dan tidak valid, bukti (evidence) dan alat ukur.
Mencampuradukkan pola pikir rasional dan emosional untuk mencari kebenaran ilmiah atau masalah publik bakal menelurkan suka dan tidak suka dan bentrok emosional antarstaf.
Kalau kebiasaan seperti itu membudaya dan berada di semua sektor kegiatan publik, entah kantor pemerintah, sekolah, universitas, maupun DPR, runyam akan terjadi di mana-mana.
Karena itu, kalau kita ingin memilih pejabat dan pemimpin, bahkan presiden, jangan pilih yang Anda suka, melainkan yang Anda respek, yang prestasi dan kemampuannya Anda ketahui. Alasannya bukan dia cantik, ganteng, dan pintar mbanyol atau nyanyi.
Riwayat prestasi calon pemimpin harus diketahui oleh umum. Kalau tak punya prestasi dasar sebagai pemimpin, seharusnya calon itu tidak ikut nominasi. Pertimbangan berikutnya adalah program yang dijalankan kalau dia menjabat. Debat publik antarcalon pemimpin akan memberikan gambaran pola pikir yang dipakai dalam menyelesaikan masalah yang diajukan.
Jika semua cara itu ditempuh, rakyat bakal memilih dengan lebih mudah, siapa yang berkemampuan lebih di antara mereka, tidak membeli kucing dalam karung. Tampaknya, kita saat ini menuju ke sana walaupun masih setengah hati.
***
Kalau sekarang banyak pejabat yang hanya bermodal cantik, pintar mbanyol, atau berbaju penuh embel-embel mencolok, itu bukan salah mereka. Mereka dipilih. Akarnya ada di si pemilih. Kemampuan rakyat untuk memilih hanya sampai di situ. Karena itu, jika kita ingin lebih baik, lebih maju untuk hari yang akan datang, perhatian tidak ditujukan kepada yang menjabat sekarang, melainkan rakyat, si pemilih. Seberapa jauh pengertian bangsa ini akan perlunya pemimpin yang berkemampuan dan berpotensi untuk berprestasi.
Itu tujuan pendidikan politik. Pendidikan membedakan kepentingan umum dan personal/kelompok, meletakkan pola pikir emosional dan rasional di tempat yang sesuai. Kalau pendidikan politik berhasil, pemimpin di hari yang akan datang adalah yang berkemampuan dan berpotesi mendulang prestasi. Negara digarap berdasar sistem yang teruji, dengan perencanaan riil, oleh orang yang berkemampuan. (*)
Oleh: Djohansjah Marzoeki, guru besar (LB) Unair.
Yang Tolak Satu Putaran, Tidak Paham Demokrasi
JAKARTA. Anggota Tim Kampanye Nasional SBY-Boediono, Anas Urbaningrum, mengatakan, pihak yang tidak suka pemilu presiden satu putaran adalah tidak paham demokrasi.
"Yang justru tidak paham demokrasi adalah yang menolak 'Pilpres Satu Putaran'," katanya, di Jakarta, Senin. Anas mengatakan, pihak yang menyebut 'Pilpres Satu Putaran' sebagai kesombongan atau kepongahan, termasuk pada kelompok tidak paham demokrasi.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Juru Bicara Tim Sukses JK-Wiranto, Hajriyanto Y Thohari, pernah menilai, publikasi besar-besaran tentang 'Pilpres Satu Putaran' melalui iklan-iklan dengan biaya amat mahal di berbagai media, mengekspresikan kejemawaan pelakunya, sekaligus merupakan pelecehan terhadap demokrasi maupun konstitusi.
Namun Anas Sendiri melihat, konstitusi kita sudah mengatur syarat pemenang. "Yakni, lebih dari 50 persen suara dan terdistribusi minimal 20 persen dukungan di separuh jumlah provinsi," ungkapnya.
Jadi, lanjutnya, jika rakyat menghendaki, siapa pun tidak bisa melawan.
"Melawan kehendak rakyat, jika sudah memutuskan satu putaran, adalah melawan demokrasi. Sekurang-kurangnya, jelas tidak paham terhadap demokrasi," ujarnya.
Yakin Menang
Anas Urbaningrum lalu menunjuk hasil survei terbaru dari Lembaga Puskaptis yang menunjukkan pasangan SBY-Boediono masih memiliki tingkat elektabilitas 52,15 persen, walau angka itu lebih rendah dari survei lembaga lainnya yang menyebutkan angka 70 persen.
Dengan tingkat elektabilitas seperti itu, Anas Urbaningrum berulangkali menyatakan, pihaknya pasti menang.
"Kami yakin sepenuhnya bahwa rakyat lebih mempercayai SBY-Boediono untuk menjadi pemimpin Indonesia periode berikutnya," katanya.
Karena itu, ia menandaskan, pihaknya siap menang satu putaran. "Tetapi juga siap untuk menghadapi 'Pilpres Dua Putaran'," kata Anas Urbaningrum lagi. (ant/ahi)
By: Republika Newsroom
Keputusan PKS Dukung SBY Bukan Ikut Tren
JAKARTA. Anggota Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nurwahid menyatakan, keputusan partainya mendukung pasangan SBY-Boediono basisnya bukan ikut-ikutan, tetapi atas dasar kesamaan platform.
Siaran pers PKS yang diterima di Jakarta, Minggu 921/6), menyebutkan, pernyataan Hidayat Nurwahid yang juga Ketua MPR RI itu disampaikan dalam acara "Deklarasi Kebulatan Tekad Menangkan SBY-Boediono" yang diselenggarakan DPW PKS Bengkulu di GOR Sawah Lebar, Bengkulu, Minggu.
Menurut Hidayat, kesamaan platform itu di antaranya dalam hal penguatan ekonomi rakyat, pemberantasan korupsi, dan membantu perjuangan rakyat Palestina untuk mendapatkan kemerdekaannya. "Dan ini disepakati oleh Pak SBY. Jadi kita tidak mendukung secara membabi buta. Babi tidak buta saja sudah haram, apalagi yang buta," katanya berseloroh.
Terkait dengan isu neoliberalisme yang diarahkan kepada cawapres Boediono, Hidayat mengatakan, Boediono merupakan orang yang mendukung pengembangan ekonomi syariah. Pada zamannya, lahir UU Perbankan Syariah. "Kalau neolib, tentu tidak mendukung ekonomi syariah," jelasnya.
Menyoal keinginan PKS untuk memenagkan SBY-Boediono dalam satu putaran pilpres, kata Hidayat, sangat pas dengan slogan yang diusung oleh tiga kandidat capres. Menurut Nurwahid, "Pilpres Satu Putaran", maka akan 'Lebih Cepat dan Lebih Baik'.
Pemerintah pun, lanjutnya, bisa menghemat Rp2,8 triliun dan kalau uang itu dikembalikan ke rakyat, maka itu berarti Pro Rakyat. "Dengan satu putaran berarti kebijakan-kebijakan yang baik bisa 'dilanjutkan'," imbuhnya lagi.
Deklarasi Kebulatan tekad untuk memenangkan SBY-Boediono, selain dihadiri oleh seluruh ketua DPD PKS se Bengkulu, juga dihadiri oleh Gubernur Bengkulu Agusrin, Wagub Syamlan, pimpinan parpol peserta koalisi, kader dan simpatisan PKS se Bengkulu. (ant/itz).
By: Republika Newsroom
Langganan:
Postingan (Atom)