Setelah Kota Solo, dan Kabupaten Boyolali, Sukoharjo merupakan daerah pertempuran ketiga di eks Karesidenan Surakarta dalam perebutan kursi kepala daerah. Partai–partai politik besar saling unjuk kekuatan dalam perhelatan politik lokal, yaitu pemilihan umum kepala daerah (Pilkada). Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrat (PD), dan Partai Golongan Karya (Golkar) tercatat sebagai partai besar berdasarkan hasil pemilihan umum legislatif (Pileg) tahun 2009, disusun partai–partai menengah seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanuara), hingga Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Tiga pasangan bakal calon (Balon) bupati–Wabup Pilkada Sukoharjo 2010, masing–masing adalah pasangan Mohammad Toha–Wahyudi (Hadi) diusung oleh PAN, Demokrat dan PKB; pasangan Titik Suprapti–Sutarto (Tito) dimotori oleh Partai Golkar; dan pasangan
Wardoyo Wijaya–Haryanto (Warto) diusung oleh PDIP dan PKS
Berdasarkan perhitungan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sukoharjo hasil Pileg 2009, ketiga pasangan ini memiliki kekuatan yang imbang. Sehingga hasil Pileg 2009 itu sulit untuk dapat dijadikan dasar melakukan prediksi kekuatan masing–asing kandidat pasangan untuk memenangi Pilkada Sukoharjo yang berlangsung Kamis hari ini. Lagi pula pengalaman di banyak Pilkada hasil Pileg yang melahirkan peta politik daerah tidak selalu signifikan dengan dukungan pasangan calon bupati–wakil bupati yang usung partai politik.
Analisis terhadap kekuatan politik kandidat pasangan cabup–wabup lebih didasarkan pada faktor, ketokohan atau figur; mesin politik, strategi pencitraan dan kekuatan logistik (dukungan keuangan) masing–masing kandidat. Kesemua faktor ini kemudian berhubungan secara sentrifugal dengan karakter dan perilaku politik pemilih pada Pilkada. Semoga data hasil survei ini berguna untuk menentukan langkah dan prediksi pemenangan Pilkada Sukoharjo.
Isu Gender
Masyarakat Sukoharjo memiliki niat yang tinggi untuk berpartisipasi dalam Pilkada. Antusiasme warga mencapai 96,3 persen. Angka ini tidak jauh berbeda dengan hasil survei pada Pilkada Solo lalu yang mencapai 93,5 persen, walaupun ternyata tingkat partisipasi politik warga Kota Solo hanya 71, 6 persen. Tingginya minat warga untuk ikut coblosan lebih didorong oleh kesadaran politik yang tinggi. 85,4 Persen alasan masyarakat mengikuti coblosan adalah untuk mendukung bakal Cabup-Wabup yang paling baik. Akan tetapi apakah mereka akan sampai di TPS untuk memberikan suaranya lebih banyak ditentukan oleh kendala teknis, seperti faktor pekerjaan dan mobilitas mereka di luar daerah. Terkait dengan tingkat partisipasi politik ini, survei Sukoharjo menemukan fenomena warga yang merantau (boro) dan kemungkinan tidak pulang ke kampung karena Pilkada mencapai angka 17 persen.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu kandidat pasangan Cabup-Wabup Sukoharjo 2010 adalah perempuan, yaitu Titik Suprapti, Cabup nomor urut dua yang diusung oleh Partai Golkar. Terkait isu gender, hasil survei menyatakan adanya resistensi terhadap tokoh perempuan yang maju pada Pilkada Sukoharjo 2010. Masyarakat Sukoharjo masih banyak yang menentang tokoh perempuan maju pada Pilkada. 53,8 Persen responden menyatakan tidak setuju tokoh perempuan maju dalam Pilkada Sukoharjo 2010.
Kesiapan Masyarakat
Tiga pekan sebelum Pilkada Sukoharjo digelar, masih kurang dari separuh masyarakat calon pemilih yang telah menentukan pilihannya, yaitu (49,3 persen). Hal ini berarti bahwa pemenangan Pilkada Sukoharjo banyak ditentukan oleh kemampuan kandidat yang diusung oleh partai politik dalam mempengaruhi perilaku pemilih melalui kampanye dan aktivitas–aktivitas lainnya, hingga sampai pada detik–detik terakhir berlangsungnya coblosan. Bagi ketiga kandidat pasangan masing-masing masih memiliki peluang untuk memenangi Pilkada.
Politik uang TIDAK EFEKTIF untuk mempengaruhi pilihan pemilih. Hanya 12,9 persen (Ya) dan 4,7 persen (ragu–ragu) responden yang menyatakan akan mengubah pilihannya bila ada pihak yang memberikan uang menjelang hari H coblosan. Sedangkan mereka yang menyatakan tidak akan mengubah pilihannya sebanyak 82,4 persen. Bagi petualang politik 12,9 persen efektivitas politik uang merupakan peluang yang cukup untuk dapat mendongkrak perolehan suara pemilih. Masalahnya adalah, pada karakter seperti apa dan di mana pemilih yang dapat disuap dengan fulus tersebut. Dari berbagai pengalaman Pilkada yang ada di Solo maupun Boyolali, efektivitas politik uang ditentukan oleh tiga hal; yaitu ketepatan sasaran, tokoh yang mengkoordinir di titik lokasi, dan uang lebih efektif di banding Sembako.
Masih tingginya persentase warga masyarakat yang belum menentukan pilihan pada tiga pekan menjelang coblosan, menunjukkan bahwa persaingan politik ke tiga kandidat pasangan bupati-Wabup pada Pilkada Sukoharjo 2010 sangat ketat. Perebutan pengaruh perilaku pemilih sangat ditentukan oleh keberhasilan masing–masing kontestan dalam memainkan strategi kampanye dan aktivitas–aktivitas lainnya hingga menjelang detik–detik pencoblosan. Pemenang Pilkada Sukoharjo pada saat–saat terakhir dapat diprediksi bila tersedia data perbandingan. Yaitu: efektivitas mesin politik, keberhasilan membangun strategi pencitraan, dan logistik serta dukungan keuangan. Bukankah politik identik dengan uang?
Oleh:
Suwardi,
Staf Pengajar dan Peneliti pada Laboratorium Kebijakan Publik FISIP, Unisri Surakarta
Sumber:
Harian Joglosemar Online