jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Senin, 08 Maret 2010

Paripurnatainment, wajah DPR kita

Bak selebriti, berbagai peran dimainkan oleh para politikus yang duduk di parlemen. Peran yang mereka mainkan begitu apik. Terbukti jutaan pemirsa setiap hari menyaksikan tingkah mereka yang semakin tidak karu-karuan.

Bahkan popularitas mereka sempat menggeser acara-acara lain di televisi. Wajah-wajah yang tadinya tidak cukup dikenal, kini semakin familier di mata publik. Ya, begitulah wajah parlemen kita sekarang. Apalagi belakangan sedang gencar-gencarnya pembahasan skandal Century, popularitas ”keartisan” mereka semakin naik.

Fenomena tersebut di satu sisi merupakan sebuah kemajuan dari kehidupan demokratisasi kita. Disebut sebagai kemajuan oleh karena masyarakat, dan terutama konstituen bisa melihat secara langsung dinamika politik di parlemen. Selain itu, segala tindakan para anggota Dewan juga dapat dengan mudah dipantau oleh publik. Tentu saja ini akan memperlihatkan ”wajah” asli masing-masing personal di parlemen, yang mungkin berbeda dengan saat berkampanye dulu.

Pada saat yang sama, masyarakat juga akan semakin mudah dalam memberikan penilaian (assessment) kepada para legislator yang mereka pilih. Penilaian itu akan dilanjutkan dengan judgement baik dan buruk kepada anggota Dewan. Maka beruntunglah bagi mereka yang selalu berlaku sopan dan penuh etika ketika di parlemen. Paling tidak, popularitas mereka di mata publik semakin tinggi. Yang ujung-ujungnya elektabilitas untuk Pemilu selanjutnya juga semakin terbuka lebar.

Berbeda ketika anggota Dewan yang mereka pilih ternyata dalam persidangan hanya memerankan peran sebagai tukang debat kusir, statement yang diberikan juga jauh dari substansi masalah yang dibahas, apalagi dengan cara penyampaian yang tidak menaati etika persidangan. Mereka tinggal menunggu waktu saja untuk menerima komentar miring.

Tawaran Politik

Pada 2 dan 3 Maret lalu menjadi momentum besar dalam perjalanan para wakil rakyat kita. Mereka dihadapkan pada beberapa pilihan sikap yang menuntut komitmen dan integritas kepada masyarakat yang sudah mengamanahi tugas bernegara itu kepadanya. Jika kita amati, para legislator itu sedang berada pada titik dilematis antara kepentingan memperjuangkan amanat rakyat dengan kepentingan sebagian elite yang kadang-kadang justru berseberangan.

Hal itu bisa kita lihat pada saat sidang paripurna DPR untuk menentukan apakah kebijakan bailout kepada Bank Century itu sudah tepat dilakukan atau belum. Pertanyaan sederhana ini ternyata tidak sesederhana cara menjawabnya. Orang awam sebenarnya bisa dengan mudah menjawabnya, benar atau salah. Hanya dua opsi itu yang bisa dipilih. Tetapi karena DPR itu lembaga politik maka rasanya tidak afdhol jika kemudian jawaban itu tidak melalui perdebatan panjang dan lobi-lobi politik tingkat tinggi.

Lobi-lobi politik itu tentu saja tidak dilakukan dengan tangan kosong. Artinya ada sejumlah kompensasi dan konsekuensi apabila ingin memilih salah satu opsi. Misalnya, Partai Demokrat tentu saja mempunyai tawaran politik yang tinggi, yaitu jabatan menteri. Posisi itu sangat menggiurkan, makanya tidak heran jika partai-partai lain amat tergoda dengan tawaran tersebut.

Makanya, tidak mengejutkan jika kemudian sikap bisa berubah hanya dengan hitungan menit. Tentu sebagai hasil kompromi dan transaksi politik di dalamnya. Lihat saja misalnya, PAN yang pada saat di Pansus terlihat kritis, ujung-ujungnya juga berbalik arah juga.

Ternyata tokoh sandiwara, film, atau sinetron sekalipun jauh lebih baik daripada para legislator di parlemen. Para selebritis itu relatif lebih konsisten dalam memainkan peran. Misalkan sebagai pemeran tokoh protagonis maka ia akan ikuti peran itu hingga alur berakhir. Berbeda dengan para legislator, kadang memainkan peran protagonis, kadang juga memerankan diri sebagai antagonis.

Sandiwara dan intrik politik selayaknya hanya pantas dihadirkan dalam ruang-ruang hiburan publik. Kita semua tentu tak berharap banyak selain kesantunan dan kejujuran politik. Yang mengedepankan komitmen dan integritas dari masing-masing anggota dewan. Sehingga fakta akan kebenaran hadir di tengah-tengah kehidupan kebangsaan kita.


Oleh: Deni Listyantoro, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, FISIP Undip, alumnus Pelatihan Indonesia Youth Parliament 2009

Sumber: Solopos Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar