Semua bangsa di dunia yang berhasil tumbuh menjadi besar, selalu dimulai oleh pemimpin yang visioner, memiliki mimpi besar, melampaui zamannya. Selanjutnya visi itu diturunkan menjadi ideologi gerakan yang mampu menggerakkan massa. Keberadaan Indonesia tempat kita lahir dan tumbuh ini tidak bisa dilepaskan dari mimpi dan gerakan sosial politik yang dilakukan oleh Gadjah Mada, sekelompok Pemuda 1928, visi serta militansi Soekarno-Hatta dan kawan-kawan. Figur penggubah sejarah yang paling fenomenal tentu saja sosok para nabi.
Berapa miliar penduduk bumi menjadi waris, pengikut, dan setia membela ajaran Musa, Yesus serta Muhammad? Ketiganya itu figur historis, bukan fiktif seperti dalam dunia wayang sehingga perilaku dan gerakannya bisa dikaji secara empiris-rasional.
Padang pasir Arabia yang gersang dan sering menjadi medan tempur antarkabilah, dalam waktu yang amat cepat berubah menjadi episentrum peradaban dengan lahirnya Muhammad di abad keenam yang getaran dan gelombang pengaruhnya masih berlangsung hingga hari ini.
Di berbagai universitas papan atas di Barat, dewasa ini bermunculan pusat-pusat studi ke-Islaman. Ini menunjukkan betapa pengaruh Muhammad sangat besar dan masih efektif. Bangsa yang tidak memiliki visi besar dan agenda riset dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), pasti akan tertinggal.
Negara-negara yang penduduknya kecil, alamnya miskin dibandingkan dengan Indonesia, karena mempunyai gereget dan tekad membangun masa depan, berhasil membangun pusat-pusat riset keilmuan sehingga Indonesia jadi objek pemasaran mereka. Pendidikan, riset, dan lapangan kerja saling berkaitan.
Namun semua ini mesti digerakkan oleh pemimpin yang memiliki visi, tekad, dan nyali, serta manajemen pemerintahan yang efektif. Sangat disayangkan, potensi alam, modal sosial, dan ilmuwan yang sedemikian banyak tidak dikelola dengan baik oleh para elite pemimpin politik dan pemerintahan saat ini.
Bangsa besar ini justru terlilit masalah utang yang besar dengan implikasi yang juga besar. Sekarang ini lebih dari 1.000 doktor-ilmuwan Indonesia berada di luar negeri. Belum lagi yang di dalam negeri. Lalu ribuan kaum profesional. Namun, karena pemerintah tidak mampu memberikan wadah, stimulasi, dan apresiasi yang tepat, kekayaan intelektual tadi tidak melahirkan sinergi untuk memajukan bangsa yang terpuruk ini.
Dunia panggung lalu diramaikan oleh banyaknya grup band, sinetron, dan partai politik. Partai politik lalu terbawa arus pada panggung tontonan yang tidak produktif untuk memajukan demokrasi dan kehidupan berbangsa yang cerdas dan bermoral. Saya tidak melihat Partai politik melakukan pendidikan politik yang terencana bagi rakyat.
Padahal, Partai politik yang lahir dari rakyat dan mestinya diisi oleh warga negara terbaik pilihan rakyat, harus melakukan pendidikan politik untuk mencerdaskan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Digelarnya ratusan pemilihan kepala daerah dan belum lama ini terselenggara pemilihan umum, yang keduanya penuh dengan praktik busuk membeli suara, itu bukan pendidikan politik. Itu semua merupakan praktik pembodohan dan pembusukan politik.
Mencerdaskan Bangsa
Tugas Partai politik dan pemimpin adalah mencerdaskan rakyat. Mendidik rakyat, bukan menipu dan mengeksploitasi rakyat. Melalui dua panggung nasional yang menarik perhatian masyarakat, yaitu pengadilan kasus Antasari dan Panitia Khusus (Pansus) Angket Bank Century, rakyat bukannya dibuat jelas memahami politik dan hukum. Rakyat justru menjadi bingung dan muncul ketidakpercayaan kepada politisi, penegak hukum serta pemerintah.
Ini merugikan perjalanan bangsa secara keseluruhan untuk maju bersanding dan bersaing dengan negara lain, demi mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat. Agresivitas modal dan produksi dalam panggung pasar bebas bisa sangat destruktif dampaknya bagi Indonesia, kalau kita hanya sibuk dengan lobi dan koalisi mengamankan jabatan pihak-pihak yang bertikai.
Tragisnya lagi, semua itu berlangsung dengan biaya negara, tetapi ujungnya hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Ini sebuah pengkhianatan pada amanat perjuangan, amanat pemilihan kepala daerah dan amanat pemilihan umum yang pada dasarnya didesain untuk memajukan demokrasi guna melayani rakyat dan bangsa, bukan partai politik.
Ke depan, semua kebodohan kolektif ini mesti diakhiri. Kita menginginkan siapa pun yang duduk pada jabatan publik, terlebih lagi yang sangat strategis bagi perjalanan bangsa seperti anggota DPR, pimpinan partai politik, direktur utama badan usaha milik negara, presiden, dan menteri, semuanya mesti memiliki integritas tinggi, visioner, dan memiliki kompetensi sehingga Indonesia segera bangkit menjadi bangsa yang produktif dan terhormat. (oke)
Oleh: Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar