Pemandangan anarkistis yang dipertontonkan mahasiswa saat demonstrasi belakangan ini tampaknya perlu direnungkan dan dipertanyakan ulang keabadian juangnya. Selayaknya, mahasiswa tampil dengan performa yang santun dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral serta sinaran intelektualitas. Terlalu mahal harganya jika aksi-aksi mahasiswa sampai menggiring ingatan bangsa untuk beromantika ria seperti saat-saat tahun awal reformasi yang penuh kecamuk dan insiden destruktif lainnya, apapun alasannya.
Banyak alasan untuk tidak bertindak anarkis dalam mengawal perubahan lebih baik. Yang terpenting adalah alasan moral dan tanggung jawab identitas yang disandang mahasiswa sebagai agen perubahan sosial-politik. Mahasiswa adalah agen yang sejatinya mengunggulkan intelektualitas dan santun dalam bersikap, serta bertindak. Sulit berharap perubahan dapat direngkuh, jika cara-cara yang dilakukan mengedepankan emosi membabi-buta. Lebih-lebih bila anarkisme menjadi ideologi yang melekat dalam setiap aksi demonstrasi.
Aksi mahasiswa perlu diimbangi dengan kajian mendalam, strategis dan mampu menemukan akar persoalan. Sudah bukan saatnya lagi mahasiswa bertindak reaksioner dan miskin perspektif. Aksi-aksi mahasiswa bukan ajang tawuran, adu jotos, unjuk fisik, dan semisalnya, tapi ajang tanding konsep sistem atas jawaban-jawaban persoalan yang membelit.
Menegur dan mengingatkan elite-elite politik hanya dengan teriakan-teriakan lantang dan cacian, tapi kering dari gagasan yang diusung sama saja membutakan kembali mata bangsa. Pada konteks inilah, sebenarnya mahasiswa dituntut untuk berdiri di atas konsistensi dan komitmen, langgeng, bukan reaksioner temporer. Konsekuensinya, kaderisasi gerakan mahasiswa mutlak adanya. Yakni, sosok-sosok kader yang mengusung komitmen kebangsaan dan komitmen ideologis.
Di samping itu, juga bergerilya meramaikan forum diskusi, kajian, membuka ruang debat, mengasah ketajaman moral dan intelektual. Aksi-aksi yang lebih mengarah pada ranah teoritis, bukan berarti tidak menjadi bagian dari gerakan mahasiswa. Antara aksi teoretis dan praksis semestinya menyatu. Dari sinilah muncul aksi sintesis dan bisa dipertanggungjawabkan.
Dari berbagai aksi yang dibidani oleh mahasiswa, tentu akan ditemukan perbedaan cara pandang atau ideologi. Tapi hal demikian tidaklah menjadi soal. Sebab, cara pandang ideologis tak elak menjadi modal peletup konsistensi, komitmen, dan kelanggengan gerakan mahasiswa.
Kasus-kasus sosial politik yang muncul mulai korupsi, polemik KPK-Polri, mafia hukum, dana misterius Bank Century, coreng-moreng wajah keadilan hukum, hingga problem moral-etik elite politik tak lain adalah puncak gunung es saja. Di bawahnya gundukan besar menggunung yang setiap saat berpotensi memunculkan persoalan baru. Gundukan itu berbalut sistem ekonomi, politik, hukum yang bobrok. Di ranah ini sebaiknya mahasiswa memainkan peran menembus tirai dan menyibak belitan-belitan sistem yang tertancap kuat. Pertanyaannya lalu, bagaimana gerakan mahasiswa mengupayakan bangunan-bangunan sistem yang berkeadilan dan demokratis?
Oposisi dan Koalisi
Selama ini mahasiswa terjebak pada dua pilihan strategis gerakan, yaitu pilihan apakah oposisi dan koalisi. Keduanya kerap dihadap-hadapkan. Oposisi identik dengan orientasi aksi idealisme, sementara koalisi dituduh kompromis dan pragmatis. Bagi saya, dua pilihan itu tidaklah harus dipertentangkan. Adalah pilihan setiap elemen mahasiswa menampilkan performa masing-masing sesuai pandangan-pandangan ideologisnya dan orientasi politiknya.
Dalam mengupayakan bangunan-bangunan sistem itu, ranah politik dalam rajutan demokrasi prosedural untuk saat ini tampaknya diletakkan secara bersama sebagai panglima. Melalui pemilu legislatif wakil rakyat dipilih, pemilu presiden diselenggarakan memilih orang nomor satu dan dua untuk jangka waktu lima tahun, pemilihan gubernur, walikota dan bupati. Dalam bingkai pilih-memilih pemimpin politik demikianlah, aspek-aspek lainnya mulai hukum, kebijakan politik-ekonomi, dan lainnya turut dipengaruhi.
Dalam mengarungi perjalanan proses-proses politik itu, terbukti mahasiswa baik yang bergaris oposisional maupun koalisi telah mengambil peran. Aksi praksis mahasiswa oposisional lebih memilih untuk mencerdaskan masyarakat dengan memasifkan pendidikan politik, agar masyarakat memilih secara tepat dan cerdas, memilih sesuai hati nurani, berdasarkan program dan kapabilitas, bukan karena iming-iming uang atau janji-janji sesaat.
Sementara, mahasiswa yang memilih garis koalisi, dengan partai politik (parpol) misalnya, sudah tentu menjadi kepanjangan tangan dan kepentingan politik kekuasaan tertentu. Saat-saat proses politik perebutan kekuasaan, mahasiswa kategori ini memaksimalkan gerakannya untuk mempengaruhi masyarakat agar memilih elite-elite politik tertentu. Pada titik ini terlihat jelas ketidaksolidan elemen mahasiswa. Oleh karenanya, perlu siasat jitu mencari jembatan ketidaksolidan tersebut.
Dalam mengawal kasus ketidakpastian penggelontoran dana Bank Century 6,7 triliun, langkah bijak mahasiswa adalah tidak cukup mencaci dan memaki, beradu fisik dengan polisi atau bentrok dengan elemen pendukung kebijakan Bank Century. Justru yang tak kalah penting bagaimana mahasiswa mampu menjelaskan kebobrokan, kesalahan, dan kerusakan yang ditimbulkan oleh elite-elite pejabat. Dan tentunya cara yang santun dan intelektualis harus dikedepankan. Cara anarkis hanya akan mengaburkan rasa ketidakpercayaan masyarakat. Apa yang diserukan mahasiswa cukuplah tidak didengar oleh elite-elite politik, tapi jangan sampai masyarakat pun ikut menutup mata dan telinga.
Akhirnya, tanpa mengabaikan arti penting demonstrasi sebagai salah satu media menyampaikan aspirasi, opini dan gagasan, selayaknya mahasiswa juga mewarnai ruang-ruang tidurnya dengan aura dan pancaran kritis, pencarian konsep dan sistem ekonomi, politik dan hukum yang menjanjikan di masa depan. Artinya, mahasiswa tidak menutup mata untuk terus berpikir agar muncul tawaran-tawaran solusi yang solutif sebagai manifestasi pertanggungjawaban mahasiswa yang dijuluki agen social of change (agen perubahan sosial). Kesantunan moral, keunggulan intelektual lebih memiliki nilai-nilai berpengharapan dari pada anarkisme dan brutalitas.
Oleh: Siti Muallimah, Mahasiswa FAI-Syari’ah UMS, peminat aktivisme sosial dan mahasiswa
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar