jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Rabu, 09 Juni 2010

Urgensi Divisi Bencana di Jateng

Miris dan trenyuh! Itulah hal yang bisa kita rasakan dan kita ungkapkan jika melihat kondisi terkini terkait fakta multibencana yang melanda setiap jengkal tanah di negeri berpenghuni 230 juta jiwa ini. Khususnya jika dikaitkan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada 5 Juni lalu.

Betapa tidak. Khusus di Jawa Tengah saja, misalnya, hingga medio 2010, parade multibencana alam yang seakan memang telah menjadi “siklus” bencana tahunan di

Jateng, mulai dari cuaca buruk, angin puting beliung, banjir bandang, tanah longsor, rob, luapan sungai, bangunan ambruk, gempa bumi, hingga amukan ombak dan badai senyatanya tak kunjung henti melanda hampir seluruh jengkal tanah di seluruh provinsi yang memiliki 35 kabupaten/kota.

Tak dimungkiri, semua bencana itu bukan saja telah memorakporandakan fisik, moral, dan mental masyarakat Jateng, namun juga membuat birokrasi di tingkat Pemda kian kelimpungan. Dan, semua juga sudah paham, semua bencana itu lebih merupakan ekses dari pengabaian dan atau kurang ramahnya kita dalam mengakrabi lingkungan alam tempat kita bernaung.

Ironisnya, terkait rentetan multibencana yang sebenarnya sudah cukup sering menghampiri ini, pemerintah dan warga Jateng selalu saja terkesiap, tergagap, bingung mau berbuat apa. Kita selalu tanpa persiapan dalam menghadapi hal yang tak terduga ini. Meski sudah paham kondisi daerah yang memang amat rentan dilanda berbagai bencana ini, pemerintah daerah dalam kapasitasnya sebagai pembuat keputusan, ternyata masih sering “menutup mata” terkait manajemen penanganan multibencana tersebut. Pun, kesadaran untuk lebih ramah pada lingkungan senyatanya selalu mandek sebatas imbauan dan atau tulisan dalam peraturan macan ompong.

Betapa tidak, pemerintah terlalu sering mengambinghitamkan objek tertentu ketika terjadi satu atau lebih bencana. Budaya penyangkalan (denial culture) selalu dikedepankan. Pun, fakta kelit kelindan, saling tuding, dan saling menyalahkan antardepartemen/divisi yang sejatinya berkompeten dalam menangani bencana tersebut.

Belum lagi, setiap kali terjadi bencana, pemerintah Jateng selalu saja menerapkan kebijakan penanganan bencana yang notabene hampir sama dengan kebijakan yang pernah diterapkan sebelumnya. Jika dikatakan ada inovasi, pasti hanya sebatas tambal sulam saja.

Ini tentu sangat ironis, mengingat Pemprov sebenarnya sudah tahu betul bahwa berbagai ornamen kebijakan yang selama ini diterapkan dalam menangani bencana lebih banyak gagalnya. Ujung-ujungnya, rakyat bukan saja kian menderita, korban pun kian banyak berjatuhan.

Terlebih ketika belakangan ini para elite politisi, pejabat-birokrat, dan pemimpin-penguasa di sebagian besar kabupaten/kota Jateng sedang disibukkan dengan berbagai persiapan kontes rebutan kue kekuasaan via pesta demokrasi daerah Peilkada 2010. Mana sempat mereka memikirkan nasib rakyat korban bencana yang saat ini masih keleleran di tepi-tepi jalan dan di bawah tenda-tenda darurat setelah rumah tempat tinggal mereka terendam air bah. Atau bahkan hilang tersapu hempasan angin puting beliung atau tertimbun longsoran tanah?

Inilah beberapa kelemahan pola dan manajemen penanganan bencana yang selama ini diterapkan Pemerintah Jateng. Dalam konteks multibencana yang saat ini masih sering melanda wilayah Jateng, pertanyaannya kini; apa yang bisa dan atau yang harus kita lakukan?

Pembenahan Manajemen

Dalam buku Disaster Management: A Disaster Manager’s Handbook (Asian Development Bank, 1991), W Nick Carter memaparkan, bahwa tiap-tiap negara membutuhkan siklus manajemen dalam menghadapi bencana. Hal itu meliputi; prevention atau pencegahan dengan mengukur dan berusaha memperkirakan bencana apa saja yang akan terjadi); mitigation (mitigasi bencana) dengan memperkecil efek bencana, dalam bentuk program yang spesifik. Lalu preparedness (kesiap-siagaan), dengan penetapan dan penyosialisasian standar tanggap bencana sehingga publik selalu siap siaga; response (respons atau reaksi cepat) yang dilakukan sesegera mungkin pada saat maupun setelah bencana menghantam; recovery (perbaikan) diutamakan pada aspek pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat korban dan dilanjutkan perbaikan infrastruktur pendukung di daerah bencana; serta development atau pengembangan dan moderninsasi pola penanganan bencana yang harus selalu dilakukan untuk mengantisipasi bencana lanjutan yang tidak bisa ditebak wujudnya.

Berdasar paparan di atas, galibnya, selain menerapkan siklus manajemen bencana yang terkoordinasi dengan baik, sudah saatnya bagi pemerintah Jateng untuk segera membentuk sebuah badan/divisi khusus yang secara totalitas bertugas mempersiapkan dan mematangkan pola siklus manajemen bencana di Jateng.

Urgensi pembentukan divisi bencana ini tak lain adalah agar respons pemerintah (baik Pemprov maupun Pemda) dalam menghadapi ancaman bencana di masa-masa mendatang menjadi lebih baik.

Memang, saat ini telah ada Satuan Koordinasi dan Pelaksanaan Penanggulangan Bencana (Satkorlak PB) provinsi yang khusus menangani bencana. Namun perlu diketahui, unsur-unsur yang tergabung dalam Satkorlak ini merupakan badan/lembaga kepanjangan tangan dari Satkorlak PB Pusat yang notabene masih tetap berdiri sendiri. Semisal Depsos, Depkes, Dephub, Depkominfo, Badan SAR daerah, Departemen Pekerjaan Umum di tingkat daerah, dsb.

Dengan kondisi yang masih terpecah-pecah ini, tak aneh ketika tiba-tiba di wilayah Jateng terjadi bencana alam berskala nasional, proses koordinasi, pengambilan keputusan, serta kinerja mereka menjadi tersendat sejak di tingkat pusat.

Jadi, jika Pemerintah Jateng memang serius berinisiatif membentuk divisi khusus bencana, maka divisi ini haruslah independen, dengan terlebih dulu ditentukan keanggotaan serta wakil dari masing-masing instansi/dinas pendukung. Lalu bersatu dalam tim gabungan, yang garis koordinasinya tidak terpecah-pecah.

Inilah salah satu bentuk pengejawantahan proses reframing (mengubah cara pandang kita) dalam menghadapi bencana. Hal itu diharapkan bisa menghasilkan perubahan yang menyeluruh dalam hidup warga Jateng. Yaitu bahwa meski bencana bisa terjadi setiap menit sekali pun, kita tetap bisa bertahan hidup karena kita sudah mempersiapkan diri jauh sebelumnya.


Sumber: Harian Joglosemar Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar