Oleh:
KH Didin Hafidhuddin
Sungguh sangat memprihatinkan apabila kita melihat perkembangan kondisi bangsa akhir-akhir ini, di mana sejumlah persoalan besar masih belum dapat diselesaikan secara tuntas, tepat, dan sesuai dengan ketentuan hukum dan nilai-nilai yang berlaku di negara kita.
Kasus Ahmadiyah sebagai contoh, hingga saat ini, masih menjadi duri dalam daging sehingga selalu menimbulkan gejolak horizontal di tengah-tengah masyarakat. Padahal, akar permasalahan Ahmadiyah ini sangat sederhana, yaitu adanya penodaan terhadap hal-hal yang sangat prinsip dalam ajaran Islam. Inilah yang kemudian mengundang lahirnya fatwa MUI yang menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Jadi, inti persoalannya bukan pada masalah toleransi, hak asasi manusia, dan kekerasan atas nama agama, melainkan pada tidak tuntasnya penyelesaian atas penodaan agama.
Jika saja Ahmadiyah ini segera dibubarkan ataupun dijadikan sebagai agama baru yang diakui secara resmi oleh negara, konflik antarmasyarakat yang sempat memakan korban jiwa tersebut dapat diminimalisasi. Apalagi, keberadaan Ahmadiyah di berbagai negara Muslim pun telah dinyatakan sesat dan keluar dari agama Islam. Di Pakistan, misalnya, Ahmadiyah telah diklasifikasikan ke dalam kelompok minoritas, bukan Islam. Demikian pula di Timteng dan Malaysia. Bahkan, Rabithah `Alam Islamy pun telah mengeluarkan fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah sehingga mereka dilarang untuk menunaikan ibadah haji.
Begitu pula halnya dengan kasus-kasus besar lain seperti skandal Bank Century, kasus Bibit-Chandra, Gayus, dan mafia pajak serta megakorupsi lainnya. Semuanya seakan-akan dibiarkan mengambang dan tidak jelas penyelesaiannya. Padahal, masalah-masalah tersebut telah menguras energi bangsa ini. Seharusnya energi bangsa ini diarahkan pada upaya peningkatan kualitas pembangunan nasional.