Jakarta. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), siapa yang tidak kenal dengan partai yang penah digelari "The Phenomenal Party" (partai fenomenal) ini. Setelah bertransformasi dari Partai Keadilan (PK) pada pemilu 1999 menjadi PKS pada pemilu 2004, partai ini membuat gerakan dan gebrakan diluar nalar politik para analis.
Betapa tidak, pada pengalaman pemilu pertamanya, PK hanya mampu meraih 1,4 persen suara dengan tujuh kursi di DPR. Namun lima tahun kemudian, sebagaimana pengakuan Greag Fealy dan Anthony Bubalo, dua peneliti Islamis dari Australia, mengatakan bahwa PKS mencatat rekor sebagai satu-satunya partai dengan keberhasilan luar biasa pada pemilu 2004. Perolehan suara PKS menjadi 7,3 persen, atau meningkat signifikan hingga lima kali lipat.
Di dalam bukunya yang berjudul Joining The Caravan: The Midle East, Islamism and Indonesia, akademisi Australian National University dan Lowy Institute tersebut, melihat jargon bersih dan peduli menjadi daya magnetik bagi pemilih. Kita ketahui bahwa pada pemilu 2004 tersebut, kampanye anti KKN dan anti Orde Baru menjadi jargon utama. Hal ini menjadi ciri khas PKS, pada akhirnya mengantar partai Islam ini menjadi partai Islam terbesar di Indonesia.
Partai yang diakui soliditasnya ini menjadikan kaderisasi sebagai ruh utama mesin politiknya. Berbeda dengan partai lain yang cenderung mengandalkan kekuatan finansial, PKS pada awal berdirinya dengan kader yang berlatar belakang 'tawadhu', PKS melakukan branding dan marketing dengan tawaran gagasan Indonesia yang bebas dari korupsi dan sejahtera dengan nilai-nilai keadilan.
Dengan basis pemilih utama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Jogjakarta, PKS menyasar kalangan menengah-atas (terdidik) yang memiliki rasionalitas elektoral. Seiring perjalanan waktu, transisi demokrasi di Indonesia menyebabkan berubahnya perilaku pemilih. Kesadaran tentang ceruk pasar pemilih memantik pembaruan. Sebagai partai modern yang lahir dari rahim reformasi dan dimotori oleh anak muda, PKS tak mau ketinggalan.
Akhirnya PKS menjadi partai yang dikenal dengan berbagai inovasi dan kreasi gaya politik. Mulai dari gerakan-gerakan sosial, keagamaan dan terakhir, PKS meyasar segmen anak muda (pemilih pemula) dengan menambah branding baru sebagai partai yang cinta budaya dan seni. Hal ini dapat dilihat dari iklan-iklan PKS dengan menyertakan musisi sebagai bintang iklan pada kampanye 2009 lalu. Yang bagi kader kader PKS yang dikenal dengan religiusitasnya, iklan-iklan tersebut masih sangat tabu.
Kekhasan lain dari partai ini, yaitu digerakkan oleh jiwa-jiwa muda dan berlatar belakang aktivis kampus. Maka tak heran manuver-manuver yang dilakukan PKS kadang membuat partai-partai "tua" terengah-engah. Kader-kader PKS menjadikan dua pemilu terkhir sebagai ujian kematangan berpolitik.
Reformasi dengan sistem demorkasi liberal, menyeret partai-partai besar dalam perpecahan dan kisruh inernal. PKS menjadi partai yang nyaris tanpa riak-riak, masih adem ayem. Jikapun ada konflik, bisa diredam di internal karena sistem manajemen partai yang ketat, rapi dan bertingkat. Perbedaan-perbedaan selesai dalam musyawarah mufakat dan majelis dan dewan tertinggi partai.
Tahun 2008 yang lalu,dalam Musyawarah Kerja Nasionalnya di Bali, PKS mengambil terobosan baru. Mentransformasi diri sebagai partai terbuka dengan definisi yang diliarkan publik. Dari sinilah kisruh internal PKS tumbuh membenih.
Sepekan terakhir, publik heboh dan tercengang. Bahwa partai yang selama ini dikenal paling solid, kini telah retak bahkan pecah telur soliditas. Adalah Yusuf Supendi, salah seorang deklarator PK (sebelum berubah nama menjadi PKS), menjadi pemain tunggal bola panas tersebut. Menikam-nikam petinggi PKS dengan sejumlah tudingan yang dipublish luas di media. Bahkan Yusuf Supendi melaporkan sejumlah pimpinan PKS ke Badan Kehormatan DPR dan ke KPK.
Yusuf Supendi, kawan seperjuangan ketua Dewan Syariah Pusat PKS Hilmi Aminudin saat menempuh mendidikan di Timur Tengah, menuding sejumlah elit PKS terlibat dalam berbagai kasus. Mulai dari soal poligami hingga penggelapan dana partai.
Dalam pengakuannya, salah satu alasan yang diungkapkan Yusuf Supendi tentang motif dari sikapnya tersebut, lahir dari kekecewaan hasil Mukernas Bali. Menurut Yusuf, lontaran PKS sebagai partai terbuka yang waktu itu di declare oleh Luthfi Hasan Ishaq (kini Presiden PKS), bukan merupakan keputusan partai, akan tetapi pendapat pribadi. Sehingga Yusuf turun tangan untuk meluruskan agar PKS kembali ke "jalan yang lurus". Terlepas dari kemungkinan sakit hati karena dipecat akibat pelanggaran berat. Namun jenis pelanggarannya tidak disebutkan demi menjaga aib, seperti yang diungkap sejumlah pimpinan PKS.
Masih tersimpan di dalam memory publik, bahwa Mukernas PKS di Bali yang membolehkan PKS mengambil caleg dari non-Muslim, menjadi perdebatan panas. Bukan saja di kalangan eksternal, tetapi terlebih lagi kalangan internal PKS, yaitu dari kader-kader konservatif.
Bagi mereka, transformasi ini menanggalkan jati diri PKS sebagai partai Islam. PKS dilihat lagi tidak ideologis, PKS dinilai pragmatis dengan orientasi kuantitas elektabilitas. Bahkan sebagian kader PKS mengatakan PKS bukan lagi partai Islam. Termasuk statement Daud Rasyid, salah seorang tokoh yang cukup disegani di internal PKS, dalam salah satu tulisannya yang beredar di internet, mengatakan bahwa "saudara-saudara kita sedang mabuk dunia". Nampaknya, kekecewaan yang menghinggapi kader-kader PKS tersebut mengulminasi hingga diledakkan oleh seorang Yusuf Supendi.
Melihat realitas tersebut, dalam pendekatan manajemen, ada beberapa catatan penting untuk PKS, khususnya dalam melakukan ijtihad (transformasi). Pertama, bahwa basis utama dan inti yang menjadi dinamisator PKS adalah kader-kader ideologis yang melalui proses penjaringan yang panjang. Maka "mengamankan" mereka menjadi tugas utama partai.
Dari berbagai sumber, disebutkan bahwa telah banyak kader-kader inti PKS yang keluar karena ketidaksefahaman ide transformasi. Misalnya Abu Ridho, Ihsan Tanjung, Daud Rasyid, dan Mashadi. Padahal sejumlah orang tersebut berada di antara mercusuar yang menerangi basis keilmuan yang sangat kental di PKS.
Kedua, dalam pendekatan manajemen perubahan. Perubahan lingkungan eksternal tanpa diikuti oleh perubahan pola perilaku dan paradigma cenderung melahirkan misleading sebagai akibat dari shock culture. Teori perubahan sosial ala Marxisme menyatakan bahwa, perubahan selalu ahir dari chaos.
Dalam konteks mikro di PKS, chaos gagasan dan perdebatan kreativitas harus diberi ruang fleksibel, dengan melihat keragaman latar belakang dan basis kelimuan kader PKS, baik dari pendekatan agama maupun pendekatan ilmu dan pandangan politik modern.
Ketiga, dengan melihat secara objektif perbedaan political dan Islamic view dikalangan kader PKS dalam konteks sphere demokrasi Indonesia dengan tuntutan pragmatisme yang sangat kental. Bahwa demokrasi liberal dengan high cost politik, menjadi tantangan dilematis. Antara penetrasi ideologis atau atau penetrasi power (kekuasaan) yang tentunya dipengaruhi oleh elektabilitas, suara.
Survey terakhir pada Desember 2010 oleh LSI (Lembaga Survei Idonesia) yang menempatkan PKS di bawah PKB, dengan tingkat elektabilitas 4,6 persen, menjadi evaluasi terhadap tranfsormasi dan manuver dan keputusan-keputusan politik yang dilakukan PKS selama ini.
Keempat, sebagai partai reformis yang pernah fenomenal, dan merangsang peneliti-peneliti luar negeri untuk mendalami PKS, publik merindukan PKS yang konsisten di tengah murahnya harga partai politik saat ini yang bisa dibeli dengan satu atau dua kursi menteri. Bahwa, masyarakat mencari diferensiasi dari kejengahan dan kejenuhan atraksi ludruk politik dalam dua pemilu secara langsung 7 tahun terakhir.
Mampukan PKS menghadapi etape transformasi dan meredam benih konflik yang mulai bersemi ini? Publik menunggu-nunggu, masih adakah harapan itu pada PKS? (dalam kampanye yang lalu PKS populer dengan Harapan Itu Masih Ada). Masih adakah?
Oleh: Jusman Dalle, Direktur Transform Institute dan analis Soceity Research and Human Development (SERUM) Institute. E-mail: jusmandalle@rocketmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar