jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Rabu, 23 Maret 2011

Yang Muda Dianggap Belum Matang, yang Matang Dipandang Sudah Tua

Dilema Kepemimpinan Nasional

Jakarta. Menjelang 2014 kita akan menghadapi sebuah tantangan yang serius dalam proses pergantian kepemimpinan nasional. Sebuah tantangan yang membutuhkan kesungguhan untuk menghadapinya dengan rasa tanggungjawab yang penuh. Demi tanggungjawab nasional itu, kita dituntut untuk mengedepankan kepentingan nasional diatas kepentingan partai, golongan dan segala kepentingan lain.

Sesuai dengan sistem demokrasi yang kita anut, pemilihan umum yang akan datang mengharuskan kita untuk melakukan pergantian kepala negara. Presiden SBY yang dipilih oleh rakyat dengan suara mayoritas pada tahun 2009, akan mengakhiri masa jabatan kepresidenan kedua pada tahun 2014. Meskipun pernah ada ide yang mencoba untuk mengubah masa jabatan Presiden menjadi tiga periode, ide tersebut segera mental, karen dipandang hanya sebagai guyonan politik belaka. Ide tersebut bukan merupakan jalan keluar dari masalah yang akan dihadapi, tetapi malahan menciptakan masalah baru yang lebih besar.

Dewasa ini, partai-partai politik sedang mempersiapkan bakal calon (balon) presiden. Tetapi pemikiran dan pilihan dari kebanyakan partai-partai itu terbatas hanya dalam lingkup internal partainya sendiri. Yang lebih aneh lagi, ada beberapa partai yang pemikirannya terkotak dalam ruang yang lebih sempit lagi, yang menginginkan pimpinan yang akan datang berasal dari keluarga pimpinan partai yang sekarang. Seolah-olah dunia yang akan datang harus merupakan photo copy dari kondisi sekarang yang masih carut marut ini. Gejala yang terakhir ini tidak sekadar mencerminkan kesempitan berpikir, tetapi juga pengabaian terhadap kepentingan bangsa dan sekaligus membuka peluang tumbuhnya kembali sistem otoriter di masa yang akan datang.

Karena itu, pemikiran-pemikiran yang demikian harus segera dapat dihilangkan, jika sistem demokrasi hendak dipertahankan dinegeri ini. Pikiran-pikiran itulah yang dahulu telah mengakibatkan bangsa Indonesia dalam masa 65 tahun merdeka, 52 tahun berturut-turut dipimpin oleh dua orang presiden secara otoriter. Kenyataan ini membenarkan pendapat yang mengatakan, bahwa seseorang menjadi diktator, pada umumnya, lebih banyak disebabkan karena adanya peluang dan dorongan dari rakyatnya, ketimbang karena ambisinya sendiri.

Lihat saja betapa kedua pemimpin yang otoriter itu pada awal periode kepemimpinannya. Mereka terlihat begitu santun, berdedikasi tinggi kepada rakyat dan ramah, tapi kemudian berubah menjadi sangar, kejam, menyeramkan dan otoriter. Sementara pengikut-pengikut yang mendorongnya menyebutkan mereka "berwibawa". Akibatnya, kedua pemimpin kita itu mengakhiri masa jabatannya secara tidak normal.

Meskipun pemilihan presiden yang akan datang masih sekitar 4 tahun lagi, tapi untuk sebuah peristiwa nasional yang besar seperti itu, masa 4 tahun sama sekali tidak lama. Karena itu, dari sekarang sudah harus dipikirkan. Masalah yang sekarang menyelimuti nuansa kepemimpinan nasional dimasa depan yang dekat ini adalah sulitnya mendapatkan calon presiden yang sekaligus menjadi pemimpin yang dapat dipercayai rakyat untuk menggantungkan perbaikan nasibnya untuk masa lima tahun kedepan setelah 2014.

Dewasa ini, dari tokoh-tokoh yang muncul dalam masyarakat, ada kesan bahwa, pertama, 'yang muda belum matang, yang matang sudah tua'. Sementara tantangan yang dihadapi bangsa ini dimasa yang akan datang bukan makin berkurang, tetapi makin bertambah. Sebab itu, sewajarnyalah jika dari sekarang dipikirkan benar kriteria-kriteria yang dapat menjamin lahirnya kepemimpinan nasional yang bersih, matang dan mampu (clean, mature and capable). Untuk itu upaya untuk mendapatkan perpaduan (sinergy) dari tiap paket calon perlu menjadi pertimbangan penting, yakni perpaduan antara 'yang muda dengan yang matang' atau 'yang matang dengan yang muda'.

Kedua, pemilihan umum dengan sistem yang sekarang membutuhkan biaya yang sangat besar dan harus ditanggung sendiri oleh para calon. Karena itu yang mampu menjadi calon adalah mereka yang mempunyai kekayaan besar. Mereka boleh jadi berasal dari keluarga kaya atau yang telah menjadi kaya karena usaha sendiri atau karena mendapat fasilitas istimewa. Sistem pembiayaan pemilihan umum yang demikian perlu direvisi di masa depan, agar para politisi muda tidak terdorong untuk berpacu mencari jalan pintas menjadi kaya atau dengan menggadaikan diri pada 'pengusaha' yang bersedia membiayainya dengan kompensasi fasilitas istimewa untuk mereka.

Hal lain yang perlu dihindarkan adalah beberapa diantara mereka yang kebetulan pada waktu sekarang sudah mempunyai kekuasaan sekadarnya, berusaha memanfaatkan kekuasaan itu untuk meredam segala kemungkinan yang dapat menghambat jalan pintas tersebut. Antara lain dengan mencoba memperlemah wewenang KPK memberantas korupsi.

Karena itu kepada rakyat diharapkan untuk menjadi lebih jeli dalam mengikuti riak gelombang politik dewasa ini. Rakyat harus dapat membedakan secara jelas, siapa calon pemimpin masa depan yang bersih, siapa yang berpotensi menggadaikann rakyat?

Mengingat besar dan peliknya tantangan yang bakal dihadapi bangsa ini di masa depan, rakyat perlu mengidentifikasi, siapa diantara mereka yang mempunyai komitmen terhadap pembangunan dan perbaikan nasib bangsanya, jujur, amanah, bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tanpa membedakan umur, daerah asal dan perbedaan sipil-militer. Calon-calon itu hendaklah mereka yang dari sekarang telah terbukti pemihakannya pada tindakan pemberantasan KKN.

Bukan dari kalangan yang selama ini telah terbukti sebagai koruptor atau yang dengan segala upaya membela koruptor dengan mencoba menghalangi tindakan pemberantasan korupsi, baik secara langsung, maupun secara tidak langsung, dengan menghilangkan atau melemahkan wewenang dari lembaga-lembaga penegak hukum memberantas korupsi.

Untuk itu dari sekarang rakyat perlu membuat catatan khusus tentang perilaku para tokoh yang akan datang. Siapa diantara mereka yang dipandang baik, bersih dari KKN, mempunyai kemampuan dan mencintai rakyat, dan siapa pula yang selama ini sudah terbukti sebagai koruptor, anak koruptor atau yang selama ini menjadi piaraan koruptor dan pembela koruptor.

Rakyat di seluruh Tanah Air harus siap menghadapi masa depan dengan sebaik-baiknya, agar nasib bangsa dan nasib anak cucu kita dimasa yang akan datang tidak jatuh di tangan koruptor dan maling-maling itu.

Oleh: Said Zainal Abidin, ahli majanemen pembangunan daerah (regional development management) dan kebijakan publik, guru besar STIA LAN. Sekarang sebagai penasihat KPK.
Sumber: Detiknews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar