jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Kamis, 11 Maret 2010

Memahami Terorisme

Peristiwa tewasnya dua pentolan teroris, Dr Azhari dan Noordin M Top beberapa waktu lalu, tidak cukup membuktikan Indonesia sudah terbebas dari aksi terorisme. Terbukti, penggerebekan terhadap sejumlah kelompok teroris pada Selasa, 9 Maret 2010 yang menewaskan tiga orang (salah satunya Dulmatin) di dua tempat berbeda di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten adalah bukti tidak terbantahkan. Penyergapan ini adalah rentetan dari pengepungan aparat polisi di NAD yang sedianya akan dijadikan semacam kamp pelatihan atau basis jaringan bagi teroris Indonesia.

Berkaca dari fakta tersebut, tesis Sydney Jones, peneliti tentang Jemaah Islamiyah yang menyatakan bahwa pascatewasnya Azhari pada 2005, jaringan teroris sudah mampu melakukan rekrutmen dengan pola-pola yang sangat efektif, menjadi terbukti kebenarannya. Bahkan Noordin M Top sudah membuat kelompok sempalan yang di antaranya terdiri atas keluarga dan kalangan dekat. Mereka itulah yang diduga melakukan aksi terorisme di JW Marriott dan Ritz Carlton. Adapun Dulmatin sendiri dianggap lebih “canggih” ketimbang Dr Azhari karena lebih menguasai teknologi dan licin bak belut.

Pandangan itu menunjukkan, bahwa terorisme bukanlah sesuatu yang mudah ditaklukkan. Terorisme merupakan lingkaran setan yang berdampak buruk bagi pelaku dan korban sekaligus. Dampak yang paling terasa tentu bukan hanya aspek materi, semisal aspek pariwisata yang ditandai dengan berkurangnya jumlah wisatawan saja, ataupun terganggunya stabilitas politik ekonomi negara.

Lebih dari itu, dampak terorisme yang berdampak jangka panjang dan massif jauh lebih mengkhawatirkan, yakni tercerabutnya nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi agama dikarenakan terorisme selalu dikaitkan dengan agama tertentu. Jika ini terjadi, tentu solidaritas yang selama ini dibangun semua elemen bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika ini menjadi sia-sia.

Siapa pun, kecuali kaum teroris, tentu akan mengutuk terorisme. Dilihat dari sisi mana pun, aksi teroris bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dan nilai-nilai esensial semua agama. Terorisme hampir identik dengan dendam, kebencian, dan kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk kebrutalan, perusakan, dan pembunuhan massal. Akibatnya, manusia-manusia yang tidak berdosa ikut menjadi sasaran.
Hemat penulis, ke depan ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk membentengi negara ini dari ancaman terorisme. Pertama, pemerintah harus merangkul seluruh gerakan-gerakan dan elemen intelijen yang kita punya, untuk mendeteksi dan mengungkap sejauh mana sel-sel terorisme menanamkan ideologinya ke tengah-tengah masyarakat Indonesia. TNI dan Polri sebagai garda depan pemberantasan terorisme harus senantiasa bersinergi menangani aksi teror yang terjadi. Singkat kata, upaya keamanan dan pertahanan adalah satu paket dalam upaya memberikan rasa aman dan tenteram bagi segenap WNI, bahkan WNA yang kebetulan ada di negara ini.

Kedua, memupuk toleransi dengan menghilangkan kecurigaan satu sama lain adalah urgen dilakukan. Salah satunya dengan cara membangun dialog yang dialogis antara warga suatu tempat dan masyarakat pendatang dengan mengesampingkan unsur etnis dan agama mana pun, menjadi hal yang mutlak dilakukan.
Ketiga, bahu-membahu untuk senantiasa meningkatkan kewaspadaan terhadap upaya-upaya yang dapat merusak stabilitas keamanan di Indonesia oleh segenap masyarakat. Adalah hal yang mustahil jika upaya preventif dilakukan hanya oleh segolongan masyarakat saja, tanpa melibatkan semua pihak.

Memahami Teror

Munculnya wacana terorisme secara global adalah sesaat setelah terjadinya peristiwa 11 Semptember 2011 atau dikenal dengan 9/11. Seperti diketahui, Amerika Serikat melakukan operasi besar-besaran untuk mengadang apa yang mereka sebut sebagai gerakan terorisme. Operasi itu menggunakan adagium terkenal, neither with US or againts US atau bersama AS atau berhadapan dengan AS. Dan, dilakukanlah operasi ini ke seluruh negara-negara dunia yang baik secara ekonomi, politik maupun budaya di bawah pengaruh AS.

Ini membuktikan, dominasi Barat terhadap dunia global tidak selamanya menghasilkan pencerahan (enlighment), yakni ke arah perbaikan harkat, derajat dan martabat manusia. Akan tetapi yang terjadi adalah timbulnya beragam kejahatan berat yang merenggut nilai-nilai kemanusiaan. Berbagai fakta sejarah cukup memberikan data betapa Barat telah melakukan “teror” kemanusiaan yang tidak sedikit jumlahnya, khususnya terhadap dunia ketiga. Anehnya, justru mereka pada saat yang bersamaan mengklaim sebagai pelopor Hak Asasi mManusia (HAM) dengan menentang tindak kekerasan.

Dengan kekuatan perangkat ekonomi-politik dan media, negara-negara non-Barat, terutama negara ketiga, menjadi objek konsumsi dan eksploitasi. Mereka punya justifikasi dari ketidakadilan yang terjadi di mana pun. Sebagai contoh, tragedi memilukan di Bosnia, serta deretan serangan Israel kepada Palestina.
Dalam sudut pandang para pelaku terorisme, daftar teror Barat atas dunia ketiga yang mesti dibalas. “Dendam kesumat” ini diperparah lagi dengan propaganda bahwa tengah terjadi perang suci dan benturan peradaban antara Barat dan dunia Islam, di samping tentu saja pemahaman yang keliru dan parsial dalam memahami ajaran agama.

Meskipun begitu, tidak ada satu pun alasan etik dan moral secuil pun yang bisa membenarkan suatu tindakan kekerasan terlebih teror. Dengan demikian, kalau ada tindakan-tindakan teror yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu, maka sudah pasti alasannya bukan karena ajaran etik-moral Islam, melainkan karena agenda-agenda lain yang bersembunyi di balik tindakan tak terpuji itu. Di samping itu, penting dibangun pemahaman bahwa siapa pun pelaku dari segenap teror yang terjadi, tidak kemudian mendapat kemenangan.

Mudah-mudahan, kita rakyat Indonesia belum terlambat untuk menghilangkan sikap saling curiga satu sama lain, serta melenyapkan akar-akar dan aksi terorisme di alam yang diamanatkan Tuhan kepada kita melalui cara-cara yang lebih sistematis, visibel, dan manusiawi. Wallahu a’lam.


Oleh: Humaidiy AS, Staf Pengajar Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta dan aktivis Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS)
Sumber: Harian Joglosemar Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar