JAKARTA. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai jika gugatan uji materiil dari sekelompok LSM terhadap kebebasan beragama itu dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), maka itu bisa menjadi pemicu konflik. Ini ditegaskan Ketua PBNU KH Ahmad Bagja dalam perbincangan dengan Republika di Jakarta, Senin (1/2).''Keberadaan peraturan perundangan mengenai penistaan dan atau penodaan agama harus dipertahankan. Karena itu permintaan agar undang-undang dicabut atas nama demokrasi sangat tidak tepat. Karena itu, kita berharap Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi undang-undang itu,'' tegas kiai Bagja.
Lebih lanjut dijelaskan kiai Bagja bahwa tanpa adanya peraturan itu maka yang akan terjadi adalah anarki. ''Di satu sisi orang bisa berbuat sesukanya membuat agama atau aliran kepercayaan sesuai selera, di sisi lain masyarakat yang tidak terima akan berbuat sesukanya untuk melakukan penghakiman,'' paparnya.
Ditegaskan kiai Bagja bahwa UUD 1945 memang menjamin kebebasan beragama. ''Namun itu harus dimaknai sebagai bebas memilih dan menjalankan agama yang diakui dan sah menurut undang-undang. Bukan berarti kemudian kebebasan terhadap agama baru,'' tambahnya. Diakui kiai Bagja bahwa tuntutan agar tidak ada pembatasan mengenai jumlah agama yang diakui, justru hal itu yang menjadi pintu masuk bagi penodaan terhadap agama yang telah jelas eksistensinya.
Penolakan dari Agama Mana pun
Hal senada dikemukakan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin bahwa uji materi terhadap kebebasan beragama yang diajukan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ke Mahkamah Konstitusi (MK) sangat berbahaya.
''Saya mengetahui ada agenda pengajuan tentang kebebasan beragama. Sikap saya maupun organisasi bahwa itu berbahaya,'' tandas Din disela-sela Seminar Nasional Satu Abad Pendidikan Muhammadiyah: Format dan Tantangan Pendidikan Muhammadiyah Ke Depan di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Jakarta, akhir pekan lalu.
Din Syamsuddin mengatakan, jika Peraturan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No 5/1969 itu jadi diubah, maka akan sangat berpotensi memicu konflik yang lebih besar bagi kehidupan beragama di Indonesia karena merasa kemurnian ajaran agamanya terganggu. ''Bisa muncul anarki sebagai reaksi dari umat beragama yang protes jika agamanya diganggu,'' katanya.
Ditegaskan Din, penolakan ini akan mendapatkan dukungan dari komunitas agama manapun karena semua umat beragama manapun tidak ingin agama yang cuci dinodai agama. ''Agama merupakan masalah sakral yang tidak boleh terusik,'' ungkapnya.
Sumber: Republika Newsroom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar