jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu
Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..
Selasa, 13 Januari 2009
Semiotika Iklan Politik PKS
Saya akan coba menafsir iklan politik PKS yang menempatkan Soeharto sebagai pahlawan dan guru bangsa. Tafsir ini dalam sudut pandang kajian komunikasi dimana saya akan menggunakan semiotika (ilmu tanda) untuk membedahnya, agar punya ruh akademis. Seperti kita ketahui bersama, iklan itu mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan. Kritikan cukup beragam, mulai dari kalangan yang mengatakan PKS terlalu berani serta terkesan oportunis (mengambil simpati keluarga dan pendukung Soeharto). Sampai paling keras, dilontarkan oleh Fazlul Rahman, calon Presiden 2009 jalur independen, yang mengatakan PKS sebagai pengkhianat reformasi. Atas reaksi kontra yang cukup heboh itulah, saya tergoda untuk menafsirkannya.
Kalau kita cermati, setelah iklan muncul dan mendapat beragam kritikan, beberapa petinggi PKS begitu sibuk dan tergopoh-gopoh menjelaskan maksud sebenarnya dari iklan tersebut. Mulai dari Anis Matta dan Fahri Hamzah yang mengatakan bahwa maksud iklan adalah pesan rekonsiliasi, pesan mengakhiri dendam masa lalu. Lantas, tak tanggung-tanggung, Tifatul Sembiring, Presiden PKS juga angkat bicara lewat opini di Republika (06/12/08), walau agak berbeda, dengan mengatakan adanya kesalahan teknis dalam tayangan iklan tersebut. Dengan penjelasan itu, malah tambah membuat publik bingung dan meraba-raba sendiri. Disatu sisi, beberapa petinggi PKS menjelaskan maksudnya bahwa iklan tersebut mengandung pesan rekonsiliasi, sementara orang nomor satunya (Presiden PKS) mengatakan ada kesalahan teknis. Sebenarnya, bagaimana fenomena ini dibaca?.
Mengikuti konsep ahli semiotika bernama Roland Barthes dalam “The Death of Authornya”, jelas iklan telah gagal. Dalam konsep tersebut, kita bisa memahami bahwa ketika teks (iklan) telah terlahir dan tertayangkan maka “pengarang telah mati”. Dalam arti tidak ada kuasa iklan (orang dibalik iklan). Kuasa berada di publik. Masyarakat bebas menafsirkan sendiri maksud dari iklan yang muncul. Beragam penjelasan dari para petinggi PKS pada dasarnya justru memperlihatkan kegagalan nyata dari iklan. Ini kalau kita melihat dari sudut pandang kajian iklan secara akademis. Inti kegagalannya, bukan iklan yang berbicara, tapi malah orang dibalik iklan yang berbicara.
Selanjutnya, kita perlu memahami modus produksi makna iklan itu. Saya akan meminjam konsep dari John Fiske dalam “Television Culture”. Produksi makna terjadi melalui berbagai tahap. Pertama, tahap “Reality”, sebagai partai yang cukup profesional memang iklan tersebut tidak datang tiba-tiba dan spontan. Soeharto menurut PKS dinilai sebagai tokoh yang berpengaruh. Iklan tersebut juga berdasar pertimbangan survey. Seperti hasil survey LP3ES yang menyebutkan 34% responden memilih Soeharto sebagai presiden paling berpengaruh. Sementara, Soekarno 24% dan SBY hanya 12 %. Alasan cukup realistis walau mengandung resiko. Dengan bacaan ini, alasan kesalahan teknis menjadi argumen yang rapuh. Kedua, tahap “Representation” Dalam hal ini Soeharto direpresentasikan sebagai sosok pahlawan dan guru bangsa. Inilah “judi” besar PKS dalam urusan politik, terobosan yang cukup paling berani. Harapannya, tentu untuk meraih simpati pada keluarga dan pendukung Soeharto. Hasilnya, bisa jadi memuaskan namun bisa pula pasca penayangan iklan tersebut banyak kader dan simpatisan yang tidak memilik PKS lagi pada pemilu selanjutnya, kecuali kader-kader yang loyal saja. Namun, prediksi ini memang spekulatif. Kenyataan yang akan berbicara pada pemilu nanti. Ketiga, tahap ideologi. Ideologi (nilai) yang ingin disampaikan adalah rekonsiliasi. Sebuah pesan untuk mengakhiri dendam masa lalu. Terlihat mulia memang. Tapi, kenapa mesti Soeharto? Ini yang masih menjadi pertanyaan besar. Lagi pula, sebenarnya ideologi ini justru disampaikan diluar iklan tersebut. Publik tidak menangkap pesan ini dalam iklan. Yang publik tahu PKS menempatkan Soeharto sebagai pahlawan dan guru bangsa. Lantas publik (selain pendukung setia Soeharto dan kroni-kroninya) mengecam keras. Tahap ideologisasipun gagal.
Kemudian, mari kita baca iklan tersebut dengan semiotika teks. Semiotika teks sendiri menurut Yasraf Amir Piliang adalah cabang dari semiotika, yang secara khusus mengkaji teks dalam berbagai bentuk dan tingkatannya. Disebut sebagai semiotika teks karena unit analisis terkecilnya adalah teks itu sendiri, sementara unit analisis terkecil semiotika umum adalah tanda. Dalam pengertian yang luas, teks didefinisikan sebagai pesan-pesan baik yang menggunakan tanda verbal maupun visual.
Dalam kasus iklan politik PKS ini, kita akan mengalisis teks visual (visual text). Teks visual sendiri adalah teks yang melibatkan di dalamnya unsur-unsur visual seperti gambar, ilustrasi, foto, lukisan atau citraan komputer. Diantara yang termasuk ke dalam teks visual ini antara lain, advertising teks, teks fashion, teks televisi, teks seni (patung, lukisan, tari, teater, teks obyek (komoditas) serta teks arsitekstur.
Kalau menyaksikan iklan PKS, sebenarnya tak begitu rumit karena unsur-unsur yang digunakan nampak sederhana. Walaupun begitu, iklan sesederhana apapun tetap bermain dalam pengelolaan tanda. Bermain tanda dengan ramuan yang apik sehingga menghasilkan pesan (citra) tertentu. Dalam pandangan ahli semiotika, khususnya semiotika periklanan, ada dimensi-dimensi khusus pada sebuah iklan. Dimensi tersebut saling terkait dan mendukung untuk memperoleh sebuah citraan tertentu. Iklan, biasanya berisikan unsur-unsur tanda berupa objek (object) yang diiklankan, konteks (context) berupa lingkungan, orang atau makluk lainnya yang memberikan makna pada objek, serta teks (berupa tulisan) yang memperkuat makna (anchoring).
Disini kita bisa melihat objek (object) yang diiklankan berupa iklan politik PKS. Dalam buku karya Budiman Hakim berjudul “Yuk Ngobrolin Iklan” pada hakikatnya sebuah iklan itu jualan, baik iklan komersial, tokoh, maupun layanan masyarakat. Dalam hal ini tentu PKS juga melakukannya, bukan sebuah iklan cuma-cuma, tapi iklan meraup suara (dan bisa jadi dana dari cendana). Dalam kajian iklan murni hal ini tak jadi soal, iklan adalah jualan. Yang menjadi masalah adalah penempatan sosok Soeharto. Saya kira kurang tepat, justru berpotensi menjadi bumerang. Alih-alih mendapatkan dukungan, justru bisa jadi sebaliknya.
Konteksnya (context) disesuaikan dengan semangat sumpah pemuda (kebangkitan nasional) yang menjadikan iklan tersebut terkesan punya ruh dan tepat waktunya sebab orang-orang juga sedang membicarakan hari bersejarah tersebut, jadi tidak out of konteks. Saya kira dalam studi iklan, strategi ini sudah tepat. Kemudian teks (text) “Mereka adalah pahlawan dan guru bangsa”. Saya kira dalam level inilah sebuah kesalahan fatal dari iklan tersebut. Muatan teks ini sangat sensitif. Karena sudah terlanjur digunakan, maka resiko politik akan sendirinya terasakan.
Kesimpulan saya, iklan tersebut telah gagal dalam dua level. Baik muatan maupun strategi pengemasannya. Ditambah lagi apologi dari sang pengiklan (PKS). Lengkaplah sudah. Kalau boleh memberi saran, saya kira kedepan, partai ini harus belajar banyak lagi dalam soal strategi pencitraan. Mengoreksi tim media serta membereskan “oknum” yang bermain mata dengan keluarga cendana itu perlu demi memperbaiki citra partai kembali. Lantas bagi publik, mari kita mentertawakan iklan-iklan politik di berbagai media yang semakin tidak waras itu. Sudah saatnya kita berjuang, mengembalikan daulat. Dari kuasa media, menjadi kuasa publik,
Oleh:
Sudaryono Achmad
Kolumnis.Tinggal di Jakarta.
http://jurnalkomunikasi.com/?p=510
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar