jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Selasa, 13 Januari 2009

Menjemput Pemilu 2009 dengan Riang


“Tahun Politik” 2009 sudah di ambang pintu. Sederet peristiwa politik bakal kita jalani sepanjang tahun, dan lima tanggal di antaranya patut dicatat.
Pemungutan suara untuk pemilu legislatif (DPR, DPRD, dan DPD) berlangsung pada 9 April. Pemungutan suara untuk pemilu presiden putaran pertama diselenggarakan pada 6 Juli, disusul putaran kedua, jika diperlukan, pada 21 September. Ketiganya disusul pelantikan anggota legislatif periode 2009-2014 pada 1 Oktober dan pelantikan presiden dan wakil presiden 2009-2014 pada 20 Oktober.

Membaca jadwal Komisi Pemilihan Umum itu, Prof Don Emmerson pun berkelebatan di kepala saya. Tahun 2004 disebut Emmerson sebagai the year of voting dangerously (tahun pemilihan yang berbahaya). Begitulah tampaknya 2009. Maka, mari kita jemput 2009 dengan mendata apa bahaya terbesar yang mengancam dan bagaimana kita menaklukkannya.

Bintang dan penentu

Pemilu bukanlah tujuan. Ia adalah sarana atau kendaraan. Pemilu yang demokratis, berkala, bebas, jujur, adil, dan damai akan percuma manakala tak berhasil memfasilitasi tegaknya keterwakilan, akuntabilitas, dan mandat serta tercapainya kesejahteraan dan keadilan.

Bahaya terbesar dari rangkaian Pemilu 2009 adalah gagal terfasilitasinya perikehidupan publik yang lebih baik hari ini dan esok. Untuk menaklukkannya, selain berharap penyelenggara pemilu bisa menunaikan tugasnya secara layak, kita menumpukan harapan pada dua pelaku: kandidat dan pemilih.

Ratusan ribu kandidat terlibat dalam kontestasi 2009, memperebutkan 18.442 kursi, terdiri dari 15.750 kursi DPRD kota/kabupaten, 1.998 kursi DPRD provinsi, 560 kursi DPR, 132 kursi DPD serta kursi presiden dan wakil presiden. Merekalah ”bintang”, pusat sorotan kamera televisi, pengisi utama berita media massa, berdiri di pusat panggung kampanye.

Kualitas mereka akan ikut menentukan sukses atau gagal Pemilu 2009 dalam menggapai tujuan yang dikejarnya. Inilah ”sukses-gagal seleksi”. Sebab, mereka adalah produk mekanisme seleksi partai dan nonpartai (khusus untuk DPD). Sukses seleksi bersifat elitis, tak melibatkan massa atau pemilih dalam jumlah besar. Tetapi, sukses ini menjadi hulu sukses pemilu.

Di hilir, ada mekanisme ”eleksi”. Dalam medan pertarungan yang sesungguhnya inilah ratusan ribu ”bintang” itu akan ditentukan nasibnya oleh sekitar 171 juta ”penentu”, yakni pemilih, kita, yang tersebar di 611.636 tempat pemungutan suara.

Pada akhirnya, terlebih-lebih di tengah rendahnya kualitas para kandidat hasil mekanisme seleksi, peran para pemilih menjadi penting dan genting dalam menentukan sukses akhir Pemilu 2009. Maka, alih-alih runyam memikirkan rendahnya kualitas para kandidat, lebih konstruktif menjemput 2009 dengan menyiapkan diri masing-masing menjadi pemilih berkualitas dan bertanggung jawab.

Ada baiknya kita tak menjadi pemilih cengeng dan kanak-kanak, yang menyalahkan partai politik dan kandidat atas rendahnya kualitas pemilu. Jauh lebih konstruktif, membangun kualitas diri sebagai pemilih dewasa, atau, sekalipun pada akhirnya memutuskan untuk tak memilih, kita melakukannya dengan sama dewasanya.

Jebakan popularitas

Pemilu 2009 pun menuntut kita bertransformasi dari supporters menjadi voters, dari pendukung yang irasional, emosional, dan primordial menjadi pemilih yang kalkulatif, rasional, dan dewasa. Pemilih semacam ini tak merasa tugasnya usai saat sudah mencontreng dalam bilik suara, melainkan merasa tugasnya sebagai warga negara justru baru dimulai.

Transformasi berikutnya pun diperlukan, yakni dari ”pemilih” menjadi ”penagih janji” yang berupaya menjaga haknya serta menunaikan kewajibannya atas orang lain dan orang banyak sepanjang waktu. Dalam konteks itulah, salah satu temuan Lembaga Survei Indonesia pada 8-20 September lalu memprihatinkan.

Menjawab pertanyaan, ”Bila pemilihan anggota DPR diadakan sekarang, siapa yang akan dipilih dari nama-nama berikut?”, lebih banyak calon pemilih yang terpesona popularitas dan kepesohoran ketimbang kompetensi kandidat. Di antara 10 pesohor dan 10 politisi yang diajukan, Ferry Mursidan Baldan, legislator berpengalaman dan diandalkan partainya, hanya dipilih oleh sekitar 0,1 persen responden, jauh di bawah suara yang diperoleh pesohor yang belum teruji, seperti Eko Patrio (5,6 persen) atau Marissa Haque yang meraih sekitar 5,2 persen.

Mari kita hindari jebakan popularitas itu. Dengan cara inilah antara lain kita bertransformasi dari supporters menjadi voters, lalu menjadi ”para penagih janji”. Dengan inilah kita jemput 2009 dengan riang.


Oleh:
EEP SAEFULLOH FATAH
Anggota Komunitas ”Para Penagih Janji”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar