Oleh : Lutfi Rachman
Aktif di LENGKAP (Lembaga Pengembangan dan Kajian Politik)
***
Menarik jika menilik sejarah pemilu Indonesia di era reformasi,
diantaranya adalah fakta bahwa dari tiga kali penyelenggaraan pemilu
ketiganya selalu melahirkan juara baru, pemenang pemilu 1999 PDIP
(33,74%), pemilu 2004 Partai Golkar (21,58%), pemilu 2009 Partai
Demokrat (20,85%).
Maka pemilu 2014 sangat menarik untuk
ditunggu apakah ia akan melahirkan lagi juara baru, atau untuk pertama
kalinya dalam sejarah pemilu di era reformasi akan ada partai yang
memenangkannya untuk kedua kali atau bahkan Demokrat bisa mengulang
kesuksesan menjadi juara bertahan?
Dengan analisa yang
sederhana sebenarnya kita bisa melihat kemungkinan mana yang akan
terjadi di pemilu 2014. Diantara yang mudah untuk dilihat adalah
kemungkinan yang terakhir sepertinya sulit untuk terjadi, dengan seabreg
kasus korupsi yang melilit kader-kadernya hingga penetapan Anas
Urbaningrum sang ketua umum saat itu sebagai tersangka oleh KPK
berlanjut dengan prahara rumah tangga yang seolah mengobrak abrik
bangunan Demokrat sebagai partai pemenang, rasanya sulit dibayangkan
dengan cara apa demokrat harus mengatrol suara.
Dari ketiga
partai yang pernah memenangkan pemilu legislatif di era reformasi,
presentase kemenangan partai Demokrat paling sedikit yakni hanya 20,85%
dibanding PG 21,58% dan PDIP 33,74%. Kemenangan di 2004 itu pun
disinyalir lebih karena pesona Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang pada
tahun 2014 nanti akan berakhir masa jabatannya sebagai presiden RI dan
tak mungkin mencalonkan lagi, tragisnya popularitas pemerintahannya
memperlihatkan trend menurun akibat beberapa kebijakan yang dianggap
kontroversial serta teka-teki Century yang suka tidak suka telah
menyerempet penghuni istana, dengan kondisi seperti itu rasanya Demokrat
butuh banyak keajaiban untuk kembali menang.
Apakah mungkin diantara PDIP dan PG bisa menjadi pemenang untuk yang kedua kalinya?
Hal itu mungkin terjadi jika dua syarat ini terpenuhi, pertama, jika
PDIP dan PG begitu mempesona rakyat Indonesia sehingg berhasil
melonjakan suara sedikitnya 7% saja. Dari 14,45% suara di pemilu 2004 PG
bisa jadi 21,45% suara di pemilu 2014, dan PDIP dari 14,03% suara
pemilu 2009 menjadi 21,03% di pemilu 2014 yang itu berarti sedikit
melampaui suara pemenang pemilu 2009 PD (20,85%). Tetapi untuk memenuhi
syarat pertama ini saja bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat di tiga
pemilu era reformasi kedua partai ini malah memperlihatkan trend
menurun.
Lihatlah PDIP dari posisi juara pertama di pemilu
1999, periode pemilu berikutnya langsung menurun tajam tinggal 18,53%
saja dan di pemilu 2009 hanya tersisa 14,03%. Demikian pula dengan PG di
pemilu 1999 dia memperoleh 22,44%, pada pemilu berikutnya tahun 2004
meskipun saat itu dinobatkan sebagai pemenang tetapi sesungguhnya PG
mengalami penurunan suara, tinggal 21,58% yang masih memilihnya, dan di
pemilu 2009 turun lagi menjadi tinggal 14,45% saja. Sekali lagi
jangankan menaikkan 7%, sekedar mempertahankan suara saja, sulitnya luar
biasa.
Kedua, PDIP dan PG mungkin saja memenangkan pemilu 2014
jika PD benar-benar dihukum rakyat Indonesia dan suaranya merosot
hingga 8% dan begitu buruknya partai-partai lain di luar the big three
sehingga tak jua mampu memanfaatkan kekecewaan yang telah nampak di tiga
pemilu terhadap tiga partai besar ini sehingga suaranya tak jua
melonjak, dan PDIP serta PG cukup mempertahankan suaranya saja.
Lalu bagaimana terhadap kemungkinan munculnya juara baru di 2014?
Dari sederet partai peserta pemilu yang menguntit dibawah the big
three, seharusnya pemilu 2014 adalah milik peringkat ke empat yakni PKS,
tapi bisakah PKS meraihnya? Mari kita lihat kemungkinannya.
Pertama, dari sisi kemampuan melonjakan suara. Dari semua partai peserta
pemilu di era reformasi, hanya ada tiga partai besar yang mampu
melonjakkan suara secara luar biasa, yang pertama PDIP dari posisi
nothing di pemilu terakhir era orde baru, langsung melejit menjadi
pemenang dengan 33,74%, tapi siapapun tahu bahwa kemanangan PDIP ini
lebih diakibatkan, “maaf” keajaiban cinderella dengan Megawati Soekarno
Putri sebagai Cinderella nya, terbukti di pemilu berikutnya suara PDIP
langsung rontok kembali. Partai kedua adalah Partai Demokrat, hanya
butuh dua kali pemilu bagi mereka untuk menjadi pemenang, pada awal
kesertaannya di pemilu 2004 PD langsung menyedot 10,36% suara pencapaian
yang luar biasa untuk partai yang baru pertama kali muncul, dan pada
pemilu berikutnya dia berhasil melipatgandakannya menjadi 20, 85% suara.
Partai ketiga yang mampu melakukannya ya PKS, tidak lolos ET di pemilu
pertama yang mereka ikuti tahun 1999 saat mereka hanya memperoleh 1,36%
suara, PK yang kemudian berubah menjadi PKS langsung mendobrak dengan
kenaikan suara 600% menjadi 7,34% Pada pemilu berikutnya di 2004,
sayangnya pada pemilu 2009 suara PKS stagnan di 7,88%.
Maka
jika melihat histori perolehan suara seperti ini, PKS masihlah menyimpan
beberapa misteri yang membuat partai-partai lain tak kan nyenyak tidur
bersaing dengan PKS. Benar bahwa pada pemilu ke tiga suara PKS stagnan
di 7,88% tetapi siapapun mengetahui bahwa PKS masih menyimpan kekuatan
besar yang sulit ditandingi partai manapun, yakni kekuatan pengkaderan
yang nyaris tak mampu dilakukan partai manapun. Jika seiring waktu PKS
terus menerus mengokohkan pengkaderannya maka infrastruktur partai ini
akan semakin lengkap merata, dan jika sudah demikian bisa dipastikan tak
ada amunisi politik yang mampu mengalahkan jaringan kader yang tertata
dengan baik. Sebagian partai bertumpu pada citra media untuk melonjakan
suara, tapi hal tersebut bisa lemah saja jika menemui jaringan kader
yang mengakar di masyarakat, demikian pula dengan amunisi money politics
atau negatif campaign dan memainkan kecurangan pemilu, diyakini akan
terkulai lemah menghadapi jaringan sadar kader PKS.
Faktor
kedua, biasanya kemenangan pemilu legislatif selalu berhubungan dengan
isu besar tingkat nasional yang mencuri perhatian publik, baik itu
berhubungan dengan figur besar atau peristiwa besar, persis seperti yang
terjadi pada kemenangan PDIP lewat figur Megawati di pemilu 1999,
kemunculan Golkar Barunya Akbar Tanjung dan konvensi capres PG yang
mencuri perhatian publik di 2004 dan SBY sang Presiden flamboyan dengan
program BLT nya yang semakin dicintai rakyat hingga mengerek Demokrat
sebagai pemenang di 2009.
Adakah sesuatu yang menyedot
perhatian publik pada PKS menjelang 2014 ini? Saya yakin anda tersenyum
seperti saya, drama penangkapan mantan presiden PKS LHI yang super
cepat, kemunculan Presiden baru bernama Anis Matta bak Soekarno katanya,
dan gencarnya KPK menggali begitu dalam borok PKS dari suap impor
sapi-pencucian uang-sampai urusan AD-ART PKS sepertinya menjadi tema
yang paling hot untuk seluruh media di Indonesia, dan saya kira semakin
seru dramanya, akan semakin menaikan rating PKS di 2014.
Jadi apakah PKS akan memenangkan pemilu legislatif 2014?
#salam 3 BESAR ...
jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu
Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar