Secara sekilas membaca berita pegawai negeri sipil (PNS) di Pemerintah Kota (Pemkot) Solo yang mangkir saat hari kejepit, seolah-olah masuk pada suatu dikotomi bahwa etos kerja PNS memang sudah sedemikian rendahnya. Sebagaimana diketahui, setidaknya 68 orang PNS Pemkot Solo diketahui tidak masuk kerja tanpa izin pada Senin, 15 Maret lalu (Joglosemar, 18/3).
Sanksi yang akan diterima akibat ketidakdisiplinan PNS tersebut, seolah hanya menjadi macan kertas belaka. Padahal sudah ada perangkat hukum yang mengaturnya, sebagaimana telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS. Karena itulah PNS dalam bertindak tidak serta-merta dapat melakukan tindakannya tersebut hanya berdasarkan perintah dan loyalitas kepada pimpinan tetapi harus mempertimbangkan seperangkat peraturan dan perundang-undangan yang mengikat mereka.
Padahal, PNS sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, di mana dalam sikap, tindakan dan perilaku PNS diatur oleh seperangkat ketentuan peraturan dan perundang-undangan. PNS diikat oleh sumpah/janji, peraturan disiplin dan kode etik. Selama ini, PNS divonis sebagai organ birokrasi yang paling tidak produktif, lamban, korup, dan inefisien. Citra pelayanan publik digambarkan dengan prosedur yang memakan waktu lama dan berbiaya mahal. Pelayanan yang mestinya menjadi fokus utama PNS dalam fungsi abdinya sebagai pembantu masyarakat, nyaris tak pernah bisa memberikan kepuasan.
Membicarakan tentang kinerja PNS di Kota Solo ini, seakan menghadapi sebuah persoalan mahabesar yang dari tahun ke tahun tak pernah terselesaikan. Mulai dari bagaimana melakukan rasionalisasi mengingat jumlahnya yang sudah terlampau banyak, meningkatkan gaji untuk mencegah praktik korupsi, maupun meningkatkan produktivitas yang selama ini boleh dikatakan masih rendah, sampai dengan penghapusan pensiun.
Data dari Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara, menunjukkan jumlah PNS di Indonesia telah mencapai 3,7 juta orang. Dari jumlah tersebut, sebagaimana pernah dikaji secara mendalam mayoritas berkinerja buruk. Bahkan, terkesan hanya mengambil gajinya tanpa berkontribusi berarti terhadap pekerjaannya.
Hakikatnya, etos kerja mengajarkan untuk tidak memandang pekerjaan sebagai sekadar jalan mencari penghasilan semata. Dengan bekerja, dapat menjadi jalan untuk menemukan eksistensi, harga diri dan martabat kita sebagai seorang manusia. Seperti diungkapkan Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia yang diterbitkan sekitar seperempat abad lalu, diungkapkan adanya karakteristik etos kerja tertentu yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia adalah munafik, tidak bertanggung jawab, feodalistik, dan lemah wataknya. Selain itu, ada yang menyebut bahwa masyarakat Indonesia memiliki budaya loyo, budaya malas, budaya instan, dan masih banyak lagi.
Beberapa upaya memang bukan tidak pernah dilakukan pemerintah untuk memperbaiki etos kerja abdi masyarakat ini. Melalui penambahan jam kerja, diharapkan bisa menggenjot produktivitas PNS. Namun, meskipun penambahan jam kerja bagi PNS dianggap sebagai salah satu solusi meningkatkan etos kerja, yang terpenting sesungguhnya adalah hasil kerja. Sebab, penambahan jam kerja tidak akan efektif jika hanya menjadikan PNS bosan di kantor.
Pada kenyataannya waktu tersebut sering “dicuri” untuk main game, menjelajahi Facebook atau Twitter, bahkan jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Di samping itu, proyek lima hari kerja yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995, tidak mampu meningkatkan efisiensi pelayanan kepada publik dan mengangkat kinerja aparatur negara. Pemberlakuan lima hari kerja di Pemkot Solo dengan melalui pertimbangan efisiensi dan efektivitas kinerja terkesan tidak efektif,
Sebagai perbandingan, di Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam telah menerapkan waktu kerja di atas 40 jam per pekan. Jam kerja pegawai negeri di Malaysia mencapai 42 jam per pekan. Bahkan, negara Vietnam telah menerapkan 50 jam kerja per pekan terhadap pegawai negerinya.
Sementara di Indonesia hanya 37,5 jam per pekan, itu pun kalau betul dilaksanakan. Kenyataannya waktu itu sering “dicuri” untuk main game, menjelajahi Facebook, belanja ke mal atau membolos di waktu-waktu khusus seperti sehabis cuti Lebaran. Sehingga, tidaklah mengherankan apabila kajian yang dilakukan Kementerian PAN beberapa waktu lalu, menyebutkan produktivitas PNS di Indonesia sangat rendah dan buruk.
Beberapa negara juga mengalami problem rendahnya etos kerja dan produktivitas PNS. Ini menjadi alasan bagi dilakukannya reformasi terhadap pola pembinaan sumber daya PNS. Penelitian Personel Policy Study Group of the European Group of Public Administration (2008), menemukan adanya problem efisiensi kerja di sepuluh negara Eropa yang selama ini dianggap telah maju manajemen SDM-nya.
Paradigma baru yang perlu dikembangkan, seperti juga sudah dilakukan di banyak daerah di wilayah Indonesia adalah efisiensi birokrasi. Perampingan yang diarahkan pada peningkatan profesionalisme dan juga produktivitas. Bukan rahasia lagi sekarang ini banyak PNS di lingkungan Pemkot Solo setengah menganggur ataupun kurang memiliki kemampuan sesuai bidang tugasnya.
Peningkatan Profesionalisme
Adanya sebuah paradigma baru juga mengarahkan pada fungsi kewirausahaan karena hakikatnya sebagai pelayan dan abdi masyarakat. Bukan waktunya lagi memolitisasi atau berpikir secara politis. Birokrasi harus sesegera mungkin melakukan reformasi kelembagaan dan revitalisasi semangat dan kesadaran PNS dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Terkait dengan perbaikan etos kerja PNS di lingkungan Pemkot Solo, banyak pihak menyarankan gaji dan tunjangan kepada para PNS didasarkan pada kinerja atau produktivitasnya, guna menciptakan sistem kerjanya. Jika tidak, maka etos kerja mereka tetap tidak akan menciptakan iklim yang kondusif bagi produktivitas PNS, karena rajin atau malas sama saja.
Selain itu, bisa saja PNS berpikir lebih suka melakukan pekerjaan di luar tugasnya sebagai PNS, asal statusnya tetap PNS dan gajinya sebagai PNS tetap diterima secara penuh. Kalau demikian, sungguh lebih nikmat menjadi PNS malas. Walau malas dan bekerja sesukanya, gajinya tetap penuh.
Sudah saatnya Pemkot Solo membuat proyek-proyek percontohan bagaimana sistem penggajian PNS yang didasarkan pada kinerja dan produktivitas berjalan. Semoga tulisan ini dapat dijadikan bahan renungan para PNS Pemkot Solo untuk berbuat lebih baik lagi dalam bekerja dan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat Solo.
Oleh: Karina Ajeng Hanavitrie, Peneliti Pusat Studi Advokasi dan Kebijakan Publik Surakarta, anggota Himpunan Mahasiswa Adminsitrasi Negara FISIP UNS
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar