jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Rabu, 24 Maret 2010

Calon Boneka Pilkada Solo

Hanya berselang tiga puluh menit sebelum batas waktu yang ditetapkan, pada Senin, 8 Maret 2010 pukul 23.30 WIB, Koalisi Peduli Solo (KPS) mendatangi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surakarta sekaligus mendaftarkan Pifik Muchtar (PDP) dan Swatinawati (PDS) sebagai calon Walikota/Wakil Walikota Surakarta. Praktis ada tiga pasangan calon yang menunggu proses verifikasi hingga 3 April, yaitu Jokowi-Rudy (Jo-Dy), Eddy Wirabhumi-Supradi Kertamenawi (Wi-Di), dan Pifik Muchtar-Swatinawati (Fi-Na). Isu yang dilontarkan terkait pengusungan Fi-Na ialah penyelamatan demokrasi di Kota Solo. Penyelamatan demokrasi berarti mengawal Pilkada supaya terlaksana tepat pada waktunya dengan mengantisipasi kemungkinan terjadinya pasangan calon tunggal.

Pascapendaftaran Fi-Na, muncul gugatan tentang keabsahan dukungan pencalonannya. Sekretaris Partai Buruh menggugat dukungan yang diberikan oleh ketuanya sendiri. Keabsahan dukungan Partai Barnas dipertanyakan dan Pifik Muchtar dilaporkan ke pihak yang berwajib oleh rekan-rekan separtainya. Menarik karena permasalahan internal ketiga partai politik tersebut di atas mendapat sentuhan politis dari Koalisi Partai Politik Surakarta (KPPS). KPPS sendiri merupakan koalisi Parpol pendukung pasangan Wi-Di, yang kini telah ditinggal oleh separuh lebih dari partai-partai politik yang kemudian boyongan membentuk KPS.

Konfigurasi politik memberikan angin segar pada pasangan incumbent semenjak munculnya pasangan Fi-Na yang berkepentingan terhindar dari kemungkinan jebakan calon tunggal. Sebaliknya, konfigurasi ini tidak memberikan ruang bagi lawan politik untuk melancarkan strategi politik bar ji bar beh, bubar siji bubar kabeh, seperti yang terjadi dalam Pilkada di Kota Pekalongan (Joglosemar edisi Senin, 1 Maret 2010). Fi-Na jelas merupakan penghalang yang sebisa mungkin didelegitimasi dan disingkirkan dari arena perebutan kekuasaan politik formal supaya kekuatan politik tertentu semakin memiliki posisi tawar yang kuat.

Boneka atau Kuda Hitam?

Ada tudingan yang diarahkan kepada Fi-Na hanya sebagai calon boneka. Istilah ”calon boneka” cenderung berkonotasi negatif. Namun benarkah keberadaan calon boneka secara etis tidak layak dan secara moral cacat? Bagaimana jika hanya satu pasangan calon yang muncul? Pilkada akan ditunda. Apa implikasi politik yang harus diterima oleh wong Solo? Begitu masa jabatannya berakhir, incumbent akan didemisionerkan oleh DPRD. Untuk mengisi kekosongan jabatan walikota, pemerintah pusat cq kementerian dalam negeri mengangkat pelaksana tugas walikota sampai terpilihnya walikota/wakil walikota baru. Risiko politiknya terlalu besar karena mengorbankan kepentingan dan kedaulatan wong Solo.

Calon boneka justru menjadi solusi yang rasional sekaligus efektif, tidak menerabas etika dan moralitas politik untuk menyiasati Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 pasal 50 ayat (1) dan (2) yang tidak mengakomodasi adanya calon tunggal. Pemunculan pasangan ketiga menjadi masuk akal untuk menyelamatkan demokrasi. Ini adalah bagian dari strategi politik untuk menghindari jebakan calon tunggal. Dapat dipahami bahwa legitimasi dukungan terhadap Fi-Na menjadi objek pertarungan politik dan tarik-menarik kepentingan yang menentukan, setidaknya sampai pada saat KPUD Kota Surakarta secara resmi menetapkan dan mengumumkan nama-nama pasangan calon walikota/wakil walikota yang menjadi kontestan Pilkada.

Bagaimana bila ternyata Fi-Na menjadi kuda hitam? Meskipun dianggap sebagai calon boneka, ruang bagi Fi-Na untuk menjadi kuda hitam tetap terbuka lebar. Ketika Fi-Na mampu mengkapitalisasi momentum ini untuk mengartikulasikan gagasan politiknya secara cerdas, bukan tidak mungkin pasangan ini menjadi kekuatan alternatif yang layak untuk diperhitungkan. Dalam praktik politik dewasa ini, kepentinganlah yang menentukan sebuah partai politik akan berkoalisi, berkomitmen, cair, solid atau melakukan manuver politik tertentu.

Politik Kepentingan

Tentu ada norma-norma tertentu yang mengikat partai politik. Misalnya partai politik yang menyatakan dukungannya secara legal formal kepada pasangan calon tertentu, tidak bisa menarik dukungan. Atau pasangan calon yang lolos verifikasi dan ditetapkan sebagai calon walikota/wakil walikota yang sah, akan didenda Rp 20 milyar bila mengundurkan diri. Di luar legal formal, komitmen politik yang dibuat bersifat tidak mengikat. Menjadi sekadar boneka atau kuda hitam akan diketahui, dari seberapa serius Fi-Na all out terlibat dalam proses kampanye, pengawalan pada pemungutan, penghitungan dan penetapan hasil suara.

Percaturan politik berubah cepat dan dinamis mengikuti alur kepentingan para politisi lokal kita. Serangan terhadap legitimasi dukungan pencalonan Fi-Na dapat dibaca dalam konteks tersebut.

Upaya mempertajam konflik internal partai yang diharapkan bisa mendelegitimasi pencalonan Fi-Na, agaknya tidak murni dilakukan atas nama penegakan asumsi organisasi dan AD/ART partai. Upaya ini menjadi taktik dari kekuatan politik yang tidak menginginkan tampilnya Fi-Na sebagai garansi bagi ketepatan waktu pentahapan Pilkada. Pergumulan antara idealisme kepartaian dan realisme politik yang cenderung transaksional memproduksi formulasi: “sekali merengkuh dayung, 2-3 pulau terlampau” di satu pihak, dan ”sekali melempar batu, dua ekor burung jatuh” di pihak lain.

Formula pertama digunakan oleh kekuatan politik yang memakai tema besar penyelamatan demokrasi untuk menegosiasikan kepentingannya. Sedangkan formula kedua dipakai oleh kekuatan politik lain yang berkepentingan hanya ada dua pasangan calon. Mendekati proses penetapan calon yang akan diumumkan pada 4 April 2010, akumulasi negosiasi dan kompromi akan berjalan dengan sangat transaksional dan dalam skala yang masif.

Politik kepentingan yang dibahasakan dalam narasi penyelamatan demokrasi maupun ekspos konflik internal partai, saat ini mengisi ruang politik. Jebakan calon tunggal diangkat sebagai problematika Pilkada, sehingga dibangunlah isu tentang menyelamatkan kedaulatan rakyat dan keabsahan dukungan terhadap Fi-Na. Harus diakui sulit untuk meyakini bahwa tidak ada transaksi politik di sana-sini. Namun yang layak diapresiasi adalah tren menurunnya ongkos politik dibandingkan dengan ongkos politik pada tahun 2005. Maka Pilkada tepat waktu adalah imperatif bagi demokrasi kita.

Oleh: Guntur Wahyu Nugroho, Mantan Ketua PMKRI Solo, pemerhati masalah sosial politik


Sumber: Harian Joglosemar Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar