jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Rabu, 24 Maret 2010

Jihad Versus Terorisme Negara

Sebagai warga negara Indonesia, saya sungguh tidak paham strategi apa yang sedang dibangun pemerintah dengan Densus 88 yang begitu gencar dan bangga telah melakukan penumpasan terhadap apa yang mereka sebut teroris. Kita bisa bertanya kepada negeri-negeri yang sekarang tengah berkonflik. Tiada satu pun kata tentang teroris yang tidak melibatkan Amerika Serikat (AS) dalam konflik mereka. Artinya, selalu ada peran Amerika Serikat di sana. Yang menjadi pertanyaan, apakah keberadaan negara super power itu hanya sekadar menjadi wasit, atau dewa penyelamat konflik itu?

Karena sebuah kenaifan, jika hanya demi alasan kemanusiaan tiba-tiba Amerika Serikat berada di negara konflik. Justru imperialismelah yang sesungguhnya menonjol di sana. Ketika mengumumkan pendudukan Afghanistan, Presiden George W Bush menyebut Afghanistan sebagai negara yang mensponsori pelanggaran hukum dan pembunuhan terhadap orang-orang tak berdosa. Maka pantas bagi mereka balasan yang setimpal dan predikat bagi negara perusuh Afghanistan adalah teroris. Dan selama pendudukan Amerika berlangsung, sudah banyak orang-orang tak berdosa dan anak-anak yang terbunuh. Maka menjadi sebuah kewajaran jika demonstran di Indonesia seperti Hizbut Tahrir, Kisdi (Komite Indonesia untuk Solidaritas Islam) dan sejumlah Ormas Islam lain menyebut Pemerintah Amerika Serikat sebagai The Real Teroris. Dan secara fakta setiap penyebutan nama terorisme selalu tidak bisa dipisahkan dengan penyebutan jihad dan kelompok Islam. Meski sesungguhnya perilaku teroris bisa diperankan oleh siapa saja, tanpa memandang agama dan kebangsaan.

Akhirnya dua kata terorisme dan jihad tidak henti-hentinya menjadi bahan sorotan, menghiasi media massa. Dibahas dalam diskusi-diskusi dan seminar, digunjingkan di kaki lima, dalam bus kota, di masjid hingga pengajian kampung dan di sela kesibukan aktivitas kantor. Hasilnya wajah Islam nampak mengerikan karena diidentikkan dengan kekerasan. Bahkan oleh banyak media digambarkan sebagai suatu agama yang dengan mudah mengobarkan perang dengan dalih jihad? Dengan demikian, jihad dalam benak mereka menjelma teror yang amat mencekam. Padahal, sesungguhnya tidak demikian.

Makna Jihad

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999), pengertian pertama tentang jihad adalah usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan. Arti lain jihad, adalah usaha sungguh-sungguh untuk membela Islam dengan mengorbankan harta benda jiwa dan raga. Jihad juga berarti perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam. Jadi jelas, jihad menafikan kekerasan atau peperangan. Tapi itu bukan jalan satu-satunya untuk mengimplementasikan semangat.

Spektrum jihad dalam ajaran Islam sebetulnya sangat luas. Sayangnya dalam kenyataan tidak jarang orang melakukan simplifikasi makna jihad semata-mata untuk dijadikan alat pembenar bagi tindakannya yang justru melenceng dari konteks jihad itu sendiri. Distorsi jihad semacam itu menjadi amunisi bagi media Barat dan kalangan anti-Islam lainnya untuk memojokkan umat Islam, terutama terhadap gerakan yang bermaksud kembali kepada ajaran Islam dan mengintensifkan nilai-nilai ke-Islamannya. Mereka dengan serampangan dicap sebagai fundamentalis dalam persepsi fundamentalisme Kristen.

Seperti halnya jihad dalam istilah teroris atau terorisme pun sering begitu mudah dilekatkan pada seseorang, sekelompok orang, atau sebuah negara yang dalam diplomasinya suka menggunakan istilah-istilah kekerasan, bahkan menantang perang terhadap lawannya. Karena sudah diciptakan image sedemikian rupa bahwa negara Barat khususnya Amerika Serikat. Negara-negara yang berperadaban dan mengklaim sebagai panutan dunia, maka siapa yang berkonfrontasi dengannya berarti antiperadaban, nilai-nilai kemanuasiaan dan demokrasi sehingga sah untuk dihancurkan. Contohnya dengan dalih untuk memberantas terorisme yang ditempelkan pada Osama yang ditempelkan di Afganistan, Amerika telah mengobarkan perang terhadap negeri miskin itu yang tidak bersedia untuk tunduk terhadapnya. Demikian juga nantinya terhadap negara-negara lain yang dinilai akan mengancam hegemoni global barat, seperti Irak yang sebelumnya adalah sekutu AS dalam perang melawan Iran. Dan sekarang dengan seribu macam cara mencoba mensahkan hukuman pada Iran.

Melalui politik stigmatisasi inilah, Amerika Serikat mengawali serangannya terhadap negara-negara yang dianggap musuh terhadap kepentingannya. Semua media massa dikerahkan untuk membombardir resistensi rakyat Afghanistan dan masyarakat muslim dunia, sehingga terpecah-pecah kekuatan moral dan sentimen agamanya.

Menurut klasifikasi Deplu AS, beberapa negara Timur Tengah yang kebetulan mayoritas muslim seperti Sudan, Libya, Iran dan Irak adalah termasuk negara pendukung atau sponsor terorisme internasional, sehingga menunggu giliran dan momentum yang tepat untuk mendapatkan ganjaran dari AS. Serangan itu bisa dilakukan lewat resolusi DK PBB dalam bentuk menjatuhkan embargo ekonomi dan militer terhadap negeri yang memusuhi AS, sebagaimana yang sudah diterapkan terhadap Iran dan Libya.

Sejauh ini politik labelisasi itu merupakan salah satu cara atau senjata yang digunakan AS khususnya dan Barat pada umumnya untuk menekan banyak negara yang tidak sejalan kebijakan politiknya. Melalui politik labalisasi yang didukung oleh kampanye hampir seluruh media, terutama televisi secara sitematis dan besar-besaran. Maka besar kemungkinan sesuatu yang sebelumnya hanya prasangka (praduga) bisa berubah menjadi fakta. Apa yang dilakukan oleh Mabes Polri dengan Densus 88 tentang latihan militer di Poso sesungguhnya sejak tahun 2000 sudah ada. Bahkan sejak Badan Intelijen Negara (BIN) dipimpin oleh Ahmad Mahmud Hendro Priyono, yang kenyataannya hanya isapan jempol belaka. Dan sekarang diulang begitu Barack Obama berencana datang (walau akhirnya ditunda). Isu itu diangkat lagi, yang menjadi pertanyaan, benarkah separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah habis? Sekali lagi isu teroris Aceh hanyalah kamuflase atau pengalihan isu belaka. Tidak lebih, tidak kurang.

Oleh: Muhammad Taufiq, Advokat pendiri Tim Pengacara Muslim, sekarang tengah menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum FH UNS


Sumber: Harian Joglosemar Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar