PK-Sejahtera Online. Anggota Komisi X DPR RI Herlini Amran meminta Departemen Pendidikan Nasional memprioritaskan program 100 hari pada beberapa pekerjaan rumah yang belum terselesaikan saat periode yang lalu. Pasalnya Herlini menilai masih banyak agenda Diknas yang masih menggantung dan mendesak untuk segera direalisasikan sebelum program-program baru digulirkan.Hal itu disampaikan Herlini dalam Rapat Kerja Komisi X dengan Menteri Pendidikan Nasional M Nuh di DPR, Rabu (11/11) kemarin. Raker tersebut mengagendakan paparan program 100 hari departemen yang mendapat alokasi anggaran cukup besar tersebut.
Menurut Herlini paparan Program 100 Hari Diknas sangat bagus dan begitu idealis. Namun untuk merealisasikannya tidak mudah dan masih butuh kaijan mendalam mengingat waktu yang tersedia cukup singkat. "Sementara PR yang ada saja masih menumpuk, jadi perlu prioritas," ujarnya.
Kebutuhan mendesak yang harus jadi prioritas menurut Herlini adalah tindakan yang bisa mengurai persoalan di bidang pendidikan seperti penanganan rehabilitasi dan konstruksi sekolah-sekolah rusak akibat bencana alam serta meningkatkan kesejahteraan atau kejelasan status guru honor. Dari sisi kebijakan, prioritas yang harus dikedepankan adalah menyusun dan memperbaiki renstra dengan melibatkan seluruh stakeholder.
Agenda lama yang juga harus diprioritaskan kembali oleh Diknas menurut Herlini adalah mengevalusai Ujian Nasional yang masih terus menjadi kendala. Menyoal kebijakan melek teknologi melalui jardiknas, yakni program e-learning Herlini mengatakan dibutuhkannya pengawasan yang ketat karena program ini menggunakan anggaran yang cukup besar dan memiliki peluang kebocoran yang banyak. Selain itu program ini juga memiliki efek moral.
"Terlepas apakah program ini berkaitan dengan mutu pendidikan atau tidak, jangan-jangan hanya menambah PR-PR masalah moral, seperti banyak siswa yang hanya FB-an atau mengakses situs-situs berbau porno, belum lagi soal tempat bagi sekolah-sekolah yang belum mempunyai gedung sekolah dan persolan listrik yang mati hidup-mati hidup," urai politisi perempuan asal Kepulauan Riau ini.
Herlini mengapreasiasi kebijakan non diskriminatif yang menjadi pijakan utama pemerintah namun dia mengingatkan agar jangan sampai hal itu sebatas jargon belaka. Karena kenyataannya pemerintah belum bisa mengimplementasikan amanat UUD 1945 bahwa pemerintah berkewajiban memberikan pendidikan buat masyarakat. "Selama ini education for all hanya utopia, maka seberapa mampukah pemerintah mengelimir diskriminasi tersebut?" tanyanya.
Lebih lanjut Herlini juga meminta agar Mendiknas mengupayakan adanya pembicaraan dengan Mentri Agama terkait dengan kebijakan pendidikan satu atap untuk menghindari terjadinya dikotomi pendidikan agama dan non agama.
Sumber: www.pk-sejahtera.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar