Semenjak era reformasi bergulir, ruang-ruang publik mulai terbuka lebar. Tiap hari nyaris ada gelombang massa yang turun ke jalan. Desakan puncak yang biasa kita dengar adalah, menuntut pertanggungjawaban Sang Presiden untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tengah terjadi.
Tuntutan semacam ini adalah lumrah, mengingat posisi presiden adalah kepala negara sekaligus pimpinan manajerial pemerintahan. Aksi massa pun bergandengan dengan forum-forum dialog, jajak pendapat, maupun debat opini yang disiarkan secara masif oleh media massa. Akhirnya, masyarakat di seluruh antero negeri merespons. Maka jadilah ia sebuah bola liar yang terus menggelinding hingga ke dasar yang paling radikal, yaitu berupa tuntutan: Turunkan Presiden!
Hantaman massa seperti itu dialami oleh semua Presiden Indonesia. Dalam perjalanan reformasi yang telah mencapai satu dasawarsa ini, Gus Dur lah yang paling telak mengalaminya, ia diturunkan di tengah jalan.
Sepanjang SBY bertakhta, sejak terpilih pada 2004 hingga ditahbis di kursi yang sama pada 20 Oktober 2009, radikalisme politik bergerak cukup cepat. Tensi tertinggi terjadi di awal periode sekarang. Sejak gonjang-ganjing kriminalisasi KPK, makelar kasus, skandal Century, Hari Antikorupsi, dan pelarangan buku Membongkar Gurita Cikeas, suara publik berteriak kian dahsyat. Namun, apakah gonjang-ganjing kali ini bakal membuat SBY (di)turun(kan)?
Terancam
Ada beberapa hipotesis yang bisa diajukan terkait kemungkinan SBY akan turun di tengah jalan. Ini sekadar pandangan awal yang prosesnya akan terus berkembang seiring perkembangan waktu. Di mana filsafat Kegelian tentang benturan antara tesa dan antitesa yang pasti melahirkan sintesis, menemukan kontekstualisasinya dalam pergulatan politik.
Pertama, ini adalah kali kedua SBY berkuasa. Kaum oposan menyebutnya: rezim SBY jilid 2. Kemenangan partainya di Pemilu 2009 terjadi secara fantastis, mengalahkan partai-partai babon seperti Golkar dan PDIP. Bahkan dalam Pilpres, Pasangan SBY-Boediono menang mutlak di putaran pertama. Rumor terjadinya kecurangan pun bertebaran. Gugatan muncul di meja Mahkamah Konstitusi (MK), namun hasilnya Pemilu tetap dinyatakan syah. Kemenangan inilah yang membuat gerah sejumlah pihak.
Kedua, pada periode ini (2009-2014) SBY berdiri lebih kokoh. Sejumlah partai dirangkul menjadi koalisinya. Di tingkat legislatif, musuh SBY memang tak bisa dibilang kecil, namun tak sebesar di periode jilid 1. Bahkan di lembaga eksekutif, ia sedemikian kokoh. SBY berhasil menempatkan orang-orang yang patuh kepadanya, mulai dari Wapres, menteri-menteri, hingga aparatur negara yang lain untuk bekerja sama serta mengelilinginya. Slogannya adalah: bersama kita bisa!
Orang seidealis dan segalak Kwik Kian Gie, Siti Fadilah Supari, atau Rizal Ramli adalah kalangan (mantan menteri) yang dianggap tak layak pakai lagi. Singkatnya, SBY nyaris mengampu kekuasaan secara tunggal. Sehingga tak aneh bila para komentator mensinyalir bangkitnya potensi Orde Baru jilid 2.
Ketiga, terbukanya pintu demokrasi tak serta-merta melahirkan stabilitas politik. Di tingkat rivalitas politik, demokrasi mempersilakan terbangunnya ruang konsolidasi bagi pihak-pihak yang kalah, tapi amat berbahaya bagi kelompok yang sedang berkuasa. Dalam mekanisme demokrasi, siapa pun bisa naik atau diturunkan secara tiba-tiba.
Akan tetapi, mekanisme demokrasi bersifat lebih sportif ketimbang permainan politik praktis. Dalam demokrasi, kuantitas massa adalah kuncinya. Tapi dalam politik praktis, kudeta dapat terjadi kapan saja. Dari kasus Gus Dur, kita bisa belajar. Betapa ia dapat diturunkan oleh hanya segelintir orang. Andai saja saat itu Gus Dur mau menggunakan mekanisme demokrasi yang paling radikal (unjuk kekuatan massa), barangkali kisahnya akan berbeda. Tapi Gus Dur tak ingin terjadi pertumpahan darah di antara sesama anak bangsa. Ia ikhlas diturunkan. Jika hal yang sama terjadi pada SBY, apakah dirinya mampu legawa seperti itu?
Keempat, selama memerintah, SBY sering mengklaim keberhasilannya dalam memberantas korupsi. Namun di lapangan faktanya berbeda. Persentuhan masyarakat dengan berbagai institusi pemerintahan, acap dinodai oleh praktik-praktik korupsi.
Maka ketika terjadi kriminalisasi KPK, masyarakat geram bukan kepalang. Sehingga, rekayasa penggerogotan KPK membuat sensitifitas publik memuncak. Jadi, tak mengherankan jika aksi massa di jalanan, agitasi intelektual, hingga gelombang facebooker, bergerak amat cepat dalam merespons kasus itu.
Setelah kasus KPK meredam, publik harus meningkatkan energinya untuk menghadapi skandal Bank Century, politisisasi pansus, dan pelarangan beberapa buku yang dituding membuka aib sejumlah pejabat dalam perkara korupsi.
Lalu gugatan publik mencuat: klaim SBY tentang terentasnya korupsi, adalah tidak benar! Masyarakat merasa dibohongi, lalu mulai menumpahkan ketidakpuasannya secara emosional. Radikalisme seperti ini tentu saja mengancam buat SBY.
Kelima, arus neoliberalisme memukul sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ekonomi rakyat tak kunjung membaik. Angka pengangguran masih tinggi. Akses pendidikan serta kesehatan murah belum terjangkau. Upah buruh tak mencukupi biaya hidup yang membengkak, dan sistem kerja kontrak memupus harapan tentang kesejahteraan. 30 Persen masyarakat yang notabene petani terbebani oleh kapitalisasi pangan. Nelayan terjungkal oleh kontrak pengalihan sumber daya laut yang dikuasai pihak asing. Pasar tradisional terancam punah oleh globalization market. Harga tanah dan perumahan kian melambung tinggi. Masalah-masalah sosial seperti sengketa lahan dan dehumanisasi masih menciderai lingkup keseharian. Neolib bahkan menghancurkan secara langsung ataupun tidak langsung sektor lingkungan, kemasyarakatan, juga segi-segi kebudayaan.
SBY kurang jeli membidik persoalan-persoalan yang disebabkan oleh neoliberalisme tersebut. SBY tak mampu menolak program-program neolib yang ditancapkan kekuatan global (asing) di negara ini.
Maka muncul stigma yang menyudutkan posisinya, baik itu dicap sebagai pemerintahan boneka neolib, pemimpin yang tak berani dan peragu, maupun sebagai kepala negara yang tidak memiliki konsep dalam membangun kemandirian bangsa.
Beberapa hipotesa di atas, tak boleh diremehkan. SBY jangan terlalu percaya diri dengan perolehan suaranya yang berkisar 60 persen di Pilpres lalu. Pasalnya, keberpihakan konstituen dapat berubah sewaktu-waktu. Lagi pula, tingkat suara golongan putih (Golput) sangat besar. Artinya, dukungan terhadap SBY kemarin tidak memiliki angka pasti yang mampu dijadikan sebagai parameter kekuatan politiknya.
SBY tak cukup mencari empati dan segala bersumpah, tapi ia harus menunjukkan bukti serta kerja konkritnya dalam menyelesaikan permasalahan bangsa yang kian memburuk. Jika tidak, bisa dipastikan ia akan turun sebelum waktunya.
Oleh: Lukman Wibowo, dosen dan peneliti di AKP Widya Buana, Semarang, serta staf pengajar di Phylosophy College, Semarang
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar