jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Selasa, 17 Agustus 2010

Panjat Pinang dan Kemerdekaan

Setiap bulan Agustus bangsa Indonesia melakukan berbagai cara dalam memperingati hari proklamasi kemerdekaan. Ada yang bersama-sama melakukan aksi kebersihan lingkungan, pasang bendera, umbul-umbul dan pernak-pernik aksesori sebagai hiasan pesta HUT kemerdekaan. Ada pula yang menyelenggarakan lomba mulai dari anak-anak sampai dewasa. Tetapi, dahulu ada satu lomba yang menjadi ciri khas dalam setiap peringatan tujuh belasan, yaitu lomba panjat pinang.

Apa yang menarik dari lomba panjat pinang? Lihatlah bahwa lomba itu banyak disaksikan oleh banyak orang. Satu tiang yang vertikal yang di bagian puncaknya digantungkan berbagai hadiah menarik. Tetapi untuk sampai ke puncak dan meraih hadiahnya harus dilalui dengan kompetisi. Karena, setiap peserta lomba harus berebut untuk memanjat tiang pinang yang berlumuran pelumas sehingga licin. Jika ada yang baru sampai bagian tengah-tengah kemudian melorot lagi, semua yang menonton bertepuk gembira.

Jika ada yang akhirnya sampai ke atas maka perjuangannya pasti dengan menginjak-injak teman atau lawan. Perjuangan sampai ke atas dilalui dengan badan yang penuh berlepotan pelumas sehingga menjadi kotor. Anehnya setelah sampai pada puncak, sejumlah hadiah yang sepenuhnya menjadi hak si pemenang ternyata masih harus berbagi dengan yang ikut serta. Sekalipun hadiah-hadiah kecil yang baginya tidak dianggap bernilai harus direlakan untuk dilempar ke bawah yang menjadi rebutan lagi bagi para peserta. Itulah pemandangan unik dan menarik dari lomba panjat pinang yang sering kita jumpai di acara lomba ”pitulasan”.

Sebenarnya lomba panjat pinang itu dapat kita jadikan bahan renungan dalam memaknai kemerdekaan Indonesia saat ini. Bukankah di era sekarang ini mobilitas sosial untuk tampil di puncak stratifikasi sosial harus dilalui dengan model panjat pinang itu? Di mana, setiap orang yang ingin menjadi elite atau orang nomor satu di negara dan daerah harus rela dan bersedia berlomba dengan sesama untuk sampai ke puncak strata.

Mereka harus mau bermain kotor dengan menginjak atau menyikut kompetitornya. Permainan kotor karena harus mengalahkan dengan berbagai cara kalau diperlukan bisa saja dengan sarana dana. Atau dalam bahasa politik disebut bermain money politic. Pemainan kotor itu dianggap tidak masalah dan sudah jamak, yang penting bisa sampai puncak. Perilaku politik dan sosial di Indonesia saat ini benar-benar seperti lomba panjat pinang. Mobilitas vertikal dalam sekejap hanya bermodal keberanian menginjak, menyikut dan berlepotan dengan sarana yang kotor.

Setelah sampai di puncak kekuasaan dia harus berbagi gelimang hadiah yang suka-suka untuk diambil semua atau dibagi dengan lainnya. Sebab, jika tidak ada share dengan yang ikut bermain, pasti tiang tempat dia sedang berada di puncak akan digoyang-goyang juga. Jika sampai jatuh karena goyangan, maka semua penonton hanya tertawa.

Itulah model perpolitikan dan tatanan sosial yang terjadi di Indonesia merdeka dewasa ini. Banyak orang ramai-ramai menjadi calon legislatif (Caleg). Karena menjadi Caleg adalah sarana untuk mobilitas vertikal secara sosial. Oleh karena itu yang penting bukan lagi kualitas intelektual melainkan modal finansial. Kalau perlu tebar ancaman jika tidak pilih dirinya. Atau dibuai dengan janji-janji bualan belaka. Jika sudah sampai puncak kekuasaan tiba-tiba seperti sinterklas yang kasih-kasih hadiah (baca: program) tetapi include ada bagian dirinya juga.

Perhatikan juga perilaku dalam Pilkada kita. Persis seperti lomba panjat pinang. Kemenangan harus direkayasa. Untuk sampai puncak kekuasaan kalau perlu harus meninggalkan norma-norma sosial, norma hukum dan norma agama. Tidak ada lagi kata malu. Tidak ada yang bersih dalam setiap lomba panjat pinang. Semunya yang turut serta pasti dan harus berlaku kotor. Tidak ada tenggang rasa dan tidak ada hormat menghormati.

Mari kita renungkan dalam-dalam apakah kekuasaan yang diperoleh itu dengan perjuangan yang bersih. Jawabnya tentu tidak karena harus mengalahkan dengan berbagai cara. Kemenangan yang didapat dalam meraih kekuasaan bukanlah kemenangan yang sejati, karena harus menzalimi.

Simbolisasi lomba panjat pinang dalam representasi tatanan politik dan sosial dewasa ini harus mulai direnungkan kembali. Haruskah dalam memberi makna terhadap kemerdekaan itu lantas kehilangan modal dasarnya, yaitu teguhnya solidaritas sosial? Karena kemerdekaan adalah sebuah makna yang legitimasinya berwujud fenomena-fenomena sosial dalam tatanan kaidah kemanusiaan Indonesia.

Kekuasaan politik dan sosial di alam kemerdekaan harus menunjukkan wajah manusiawi. Kita sudah tidak lagi dalam tatanan kolonial maupun fasis. Oleh karena itu jangan sampai para elite politik dan sosial kita mengoper alih peran dari ”the white man” dalam era kolonial dulu. Tetapi realitasnya rakyat dewasa ini tidak hanya menjadi beban malahan menjadi berkah bagi para elit kaya kuasa kita. Coba saja kasus Bank Century, korupsi pajak, mafia hukum adalah potret politik dan sosial di alam kemerdekaan yang terjadi terhadap bangsa sendiri. Rakyatlah yang akhirnya menderita.

Wajar saja jika para petinggi negeri ini saat ini kehilangan empati karena naiknya ke tampuk pimpinan melalui model panjat pinang. Dalam permainan panjat pinang juga tidak dikenal empati, karena tujuan utama adalah berebut hadiah yang sudah jelas-jelas menggiurkan dan menarik hati. Semua tindakan mudah dibenarkan dengan alasan demokrasi.

Lantas apa yang bermakna dari kemerdekaan itu jika setelah 65 tahun ini yang terjadi korupsi, kapitalisasi, kriminalisasi, degradasi dan politisasi ? Benarkah sebagai bangsa sudah kehilangan solidaritas yang hakiki? Misalnya saja, atas nama otonomi sekarang ini harus berkompetisi dalam batas-batas administrasi. Inilah bias eksperimen reformasi ketika otonomi adalah segala-galanya. Setiap wilayah politik dan sosial harus otonom, pendidikan harus otonom, lembaga hukum harus otonom, dan seterusnya. Semakin banyak orang mengekspresikan otonomi melampaui nilai kemanusiaan yaitu solidaritas sesama insani.

Kesimpulannya, bahwa kita harus melakukan redefinisi makna kemerdekaan tatkala realitas yang ada hanya menindas bangsa sendiri. Sebuah kemerdekaan tanpa makna jika terjadi penindasan terhadap bangsa sendiri. Kecuali kalau saat ini sudah tidak ada independensi alias tergantung kekuatan politik luar negeri. Jika itu tren yang terjadi, maka sampai kapan pun tatanan sosial kita ibarat lomba panjat pinang yaitu demokrasi di alam kemerdekaan tanpa hati nurani.


Oleh: Tundjung W Sutirto, Pemerhati budaya, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Sumber: Harian Joglosemar Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar