Tanggal 13 Agustus 2010 lalu, atau empat hari menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan ke-65 Republik Indonesia, Baiq Suryani (38), warga Desa Jenggik, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) tega menjual bayi yang baru dua hari dilahirkannya seharga Rp 300.000. Bukan karena Suryani kehilangan kasih sayang seorang ibu, tetapi ia tidak berdaya menghadapi impitan kebutuhan ekonomi keluarganya. Suryani memiliki enam orang anak, sedangkan suaminya kabur entah ke mana saat dirinya hamil anak ke enam. Akhirnya dia terpaksa harus menjual anak terakhirnya karena dililit kebutuhan ekonomi.
Peristiwa yang sama juga terjadi pada awal Juli lalu di Denpasar, Bali. Siti Munawaroh, wanita asal Surabaya, Jatim, juga menjual bayi laki-lakinya karena tidak mampu membayar biaya persalinan sebesar Rp 6 juta di RSU Sari Darma Denpasar. Munawaroh adalah ibu pada umumnya yang juga memiliki kasih dan sayang besar terhadap anaknya. Namun dia beralasan, “Saya relakan bayi saya dirawat orang, yang penting saya bisa membayar biaya persalinan.” Sebuah alasan yang tidak bisa ditafsirkan lain kecuali alasan ekonomi (Seputar Indonesia, (15/8).
Lebih tragis lagi, Rabu 11 Agustus 2010, seorang ibu dua anak bernama Khoir Umi Latifah, warga yang tinggal di Papringan, Depok, Sleman, Yogyakarta memilih melakukan pati obong atau mati bakar diri bersama dua anaknya karena depresi. Seperti yang tertulis dalam surat wasiatnya, dia melakukan aksi nekat dan tragis itu gara-gara persoalan utang Rp 20.000. (Solopos, 15/8).
Itulah sederet realitas tentang betapa kerasnya kehidupan dan betapa fakta itu terkadang memang kejam, bahkan lebih kejam dari cerita fiksi. Kehidupan kian keras ketika hal itu menyangkut perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Isu ini adalah isu mendasar yang tidak pernah menjadi tuntas diselesaikan, bahkan ketika kita merayakan momentum heroik bangsa Indonesia berupa Hari Kemerdekaan RI ke-65 pada 17 Agustus tahun 2010 ini. Persoalan ekonomi, pengangguran, kesejahteraan, kebutuhan sehari-hari serta pendapatan dan pendidikan untuk rakyat kecil terus mengemuka. Di samping kecamuk persoalan bangsa lainnya seperti korupsi, terorisme, video porno, moralitas bangsa tingkah laku pejabat dan lain sebaginya, membuat negeri ini seakan-akan tidak pernah membereskan apapun selama periode 65 tahun kemerdekaannya.
Mengetahui sekian fakta tersebut, apa makna kemerdekaan bangsa kita yang telah berusia 65 tahun ini? Terutama buat si miskin yang seakan tidak pernah tersentuh oleh kebijakan pemerintah. Apa bedanya dengan hidup di masa penjajahan Belanda?
Kemerdekaan adalah Proses
Ada kecenderungan untuk memaknai kemerdekaan dari segi aspek formal-yuridis saja, tetapi dari segi substansi diabaikan. Secara yuridis, Indonesia merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945, atau bahkan sehari sebelumnya ketika Soekarno-Hatta diminta oleh beberapa elemen masyarakat untuk mendeklarasikan kemerdekaan RI di Rengasdengklok. Tetapi secara substansi kemerdekaan itu belumlah selesai sampai kini. Jika secara yuridis formal kemerdekaan diandaikan sebagai sebuah ritual yang bisa diwujudkan sekali jadi, maka secara substansial kemerdekaan adalah proses panjang yang belum selesai.
Ketika kemiskinan masih menjadi “penjajah” rakyat Indonesia, ketika kesejahteraan justru menjadi utopia yang sulit digapai, ketika sumber daya ekonomi strategis lebih banyak diserap pihak asing, ketika negara kita hanya menjadi pasar bagi negara-negara maju lain, ketika Indonesia tidak bisa melakukan sesuatu yang menunjukkan kemajuan dan prestasinya, maka saat itulah kemerdekaan itu belumlah selesai. Ketika kemerdekaan belum selesai, maka nilainya belum bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Kemerdekaan yang tidak selesai itulah yang dirasakan betul oleh si miskin. Merekalah yang pantas bertanya pertama kali ketika Indonesia ini memperingati hari kemerdekaannya yang ke 65 ini. Bukan menggugat atas berdirinya NKRI, tetapi menggugat ke mana kebijakan pemberdayaan dan agenda-agenda pembangunan yang telah berlangsung selama ini. Kenapa hidup di bumi yang subur seperti Indonesia harus miskin, lebih miskin dari hidup seperti di Singapura, negara yang bahkan kekurangan tanah dan air? Mereka akan bertanya tentang seringnya kita atau lamanya kita merayakan HUT kemerdekaan.
Peristiwa seperti yang dikutip di awal tulisan ini bisa jadi hanya fenomena gunung es yang tampak kecil, tetapi kejadian yang sebenarnya jauh lebih gawat. Kemiskinan di negara yang undang-undangnya (Pancasila dan UUD 1945) memberi amanat untuk menyejahterakan masyarakatnya adalah hal yang sangat sulit diterima dan ironis. Apalagi, keadaan itu telah berlangsung selama 65 tahun! Indonesia sejak dilahirkan dari rahim penjajahan Belanda, yang memperoleh kemerdekaan lewat perjuangan dan bukan dengan pemberian, telah diamanati dengan satu tugas yang belum pernah berubah dan belum pernah diamandemen sampai sekarang, yakni: sejahterakan rakyat. Tetapi fakta menunjukkan tugas yang tidak pernah berubah dan terus-menerus dalam keadaan mendesak itu belum bisa tuntas dilaksanakan.
Karena itulah, daripada pemerintah larut dalam perayaan kemerdekaan, lebih baik dipikirkan agenda-agenda mendesak bangsa ini, utamanya dengan proses pemberdayaan (empowering) dan pencerdasan (educate) kehidupan bangsa secara menyeluruh, terutama pemberdayaan orang miskin yang tinggal di pelosok-pelosok Tanah Air. Bagi komunitas yang terbelakang, miskin, bodoh dan terpinggirkan, tidak ada kado yang lebih indah dari bangsa ini kecuali campur tangan pemerintah secara nyata dalam menghadapi persoalan mereka. Si miskin tidak butuh retorika dan komunikasi politik, mereka juga tidak butuh ideologi yang njlimet, tetapi jelas mereka butuh aksi nyata. Mereka butuh kesejahteraan, dengan kata lain si miskin di pelosok negeri ini butuh makan.
Kasus Siti Munawaroh, Latifah dan Baiq Suryani semoga menjadi kasus yang terakhir. Kematian mereka karena ingin menyampaikan kritik pada pemimpin, tetapi ketimbang berdebat dengan mengatakan bahwa cara mereka mengkritik salah, lebih baik pemerintah, mulai dari eksekutif, legislatif dan yudikatif, bekerja sinergis dan menjadikan rakyat Indonesia –terutama si miskin, sebagai alasan untuk berbakti pada negara dan bangsa. Dirgahayu ke-65 Republik Indonesia!
Oleh: M Sanusi, peneliti pada Media Literacy Circle (MLC) Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar