INILAH.COM, Jakarta. Musyawarah Nasional (Munas) II Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 16-20 Juni menjadi momentum bersejarah. Setidaknya, PKS secara formal bakal meninggalkan stigmatisasi sebagai partai kanan, eksklusif, dan Islam konservatif. Niat serius atau bagian dari marketing politik?
Niat PKS untuk menjadi partai tengah tak terbendung lagi. Momentum tertinggi di PKS melalui Munas bakal dimanfaatkan menjadi penegasan partai itu sebagai partai terbuka, inklusif, dan tidak lagi lekat dengan pemahaman keagamaan yang konservatif.
Demikian ditegaskan Kepala Divisi Kebijakan Publik DPP PKS Mustafa Kamal. “Misi transformasi kita tekankan. Kita ingin tinggalkan perdebatan Islam dan nasionalisme, sehingga kita masuk pada isu substantif. Pancasila sebagai konsensus nasional tidak perlu diperdebatkan,” cetusnya dalam jumpa pers di arena Munas II PKS di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Rabu (16/6).
Menurut Mustafa, menjadi keniscayaan bagi PKS menghargai multikultural dan keberagamaan Indonesia. Ia mencontohkan, praktik itu sudah terjadi di PKS melalui ditampungnya sejumlah kader dari unsur Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (Persis).
“PKS bukan untuk membuat mazhab (pemikiran keagamaan Islam) baru. PKS tempat berhimpun untuk kepentingan bangsa dan negara,” cetus Mustafa yang juga Ketua Fraksi PKS DPR RI.
Terkait menyatunya sejumlah paham keagamaan di Indonesia itu, Sekjen DPP PKS Anis Matta mengatakan, dalam format kepengurusan pasca-Munas akan muncul struktur baru bidang pengembangan umat. “Struktur ini refleksi atas ketegangan selama ini antara PKS dengan sejumlah ormas seperti NU dan Muhammadiyah,” ungkapnya.
Sementara dalam kesempatan yang sama, Ketua DPP PKS Mahfudz Siddiq mengakui, pilihan untuk bergeser menjadi partai inklusif, moderat, dan modern, tidak terlepas dari refleksi perjalanan partainya selama 10 tahun terakhir. “PKS berasal dari gerakan ke-Islaman selama 20 tahun. Warna eksklusifitas terlalu kuat,” aku Mahfudz.
Menurut dia, pengalaman tiga kali pemilu pasca-reformasi menjadi bukti untuk meneguhkan PKS sebagai partai modern, moderat, dan inklusif. Ia menyebutkan, dalam Pemilu 1999 Partai Keadilan (PK) hanya mampu meraup suara sekitar Rp 1,3% sehingga tidak lolos electoral threshold (ET). “Ini pukulan luar biasa, di situlah celah bagi PKS untuk membuka pikiran,” tandas Mahfudz.
Pengalaman Pemilu 1999 jelas menjadi pelajaran berharga bagi PKS. Setidaknya dua pemilu 1999, pembuktian PKS melakukan refleksi dan koreksi muncul dengan perolehan suara lolos ET maupun parliamentary threshold (PT).
Mahfudz menegaskan, sejak 2000 PKS mulai membangun diri sebagai partai Islam moderat, inklusif, dan modern.”Tapi itu tidak gampang lho. Karena kalau dibedah orang PKS macam-macam, mulai pengikut Umar Patek hingga Umar Wirahadikusumah,” candanya.
Mahfudz menegaskan, pada Pemilu 2014 PKS bakal memaksimalkan peran kepartaian di tengah mulai meredupnya Partai Demokrat dengan tidak tampilnya lagi SBY sebagai calon presiden. Target menjadi tiga besar dalam Pemilu 2014, sambung Mahfudz, menjadi rasional. “Makanya, kita tetapkan target PKS menjadi tiga besar di Pemilu 2014,” cetusnya.
Sementara dalam rapat Majelis Syura terkait perubahan AD/ART terjadi perdebatan alot terkait keanggotaan dan syarat kepengurusan. Menurut Mahfudz Siddiq, usulan yang berkembang di internal Majelis Syura adanya klausul yang secara legal formal membuka ruang keanggotaan bagi non muslim. “Ada beberapa anggota Majelis Syura yang keberatan, namun bukan suara dominan,” ungkap Mahfudz.
Upaya PKS menjadi partai tengah, inklusif dan moderat memang masih butuh pengujian. Namun, niatan dan upaya untuk menjadi partai tengah patut mendapat apresiasi. Setidaknya ini mendorong konsolidasi demokrasi yang berpegang teguh pada nasionalisme yang menghargai plularitas kebangsaan. Kita lihat saja. [mdr]
Sumber: Inilah.Com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar