Siapa di negeri ini yang tak kenal Jupe alias Julia Perez? Pelantun Belah Duren ini termasuk selebritas yang paling sering mendapat liputan media, terutama infotainment.
Jupe sering menjadi buah bibir karena ucapan dan perilakunya yang blak-blakan terkait hal-hal dalam hubungan intim yang banyak ditabukan masyarakat. Saat ini, heboh Jupe sudah merambah ke luar wilayah asalnya di jagat hiburan. Jupe kini terjun ke panggung politik. Tak tanggung-tanggung, Jupe terjun ke dunia baru baginya ini dengan membuat gebrakan: langsung menjadi bakal calon Bupati Pacitan, Jawa Timur. Banyak orang di Pacitan merasa tidak rela Tanah Airnya dipimpin figur yang ”cuma” sekelas Jupe. Padahal, banyak pemimpin nasional negeri ini berasal dari sana, termasuk Presiden SBY. Tindak-tanduk Jupe sebagai selebritas tentu saja menjadi bahan penilaian utama kelayakannya menjadi seorang bupati.
Sebagai artis, Jupe tidak dikenal sebagai artis yang kritis menyuarakan kritik sosial semacam Dedi Mizwar, Iwan Fals, Dik Doang, atau anggota grup band Slank. Jupe cuma artis yang tenar karena sering tampil ”buka-bukaan”. Apalagi Jupe belum pernah sekalipun mengunjungi Pacitan dan mengenali masyarakatnya. Dari perspektif hak asasi manusia (HAM), Jupe tak bisa dilarang untuk menjadi seorang bupati, bahkan presiden sekalipun. Jupe memiliki hak setara SBY, Boediono, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, atau siapa pun warga negeri ini untuk maju menjadi pemimpin publik dan politik. Dalam tulisan ini saya akan lebih menyoroti pencalonan Jupe dalam kerangka kritik sosial terhadap kondisi kepemimpinan publik dan politik kontemporer di Indonesia.
Krisis Akut
Harus disadari, kepemimpinan publik dan politik (public leadership) kita saat ini sedang mengalami krisis akut. Kepemimpinan publik kita, dari tingkat nasional hingga tingkat RT, dipenuhi kamuflase, korupsi, dan ketidakpedulian pada kaum marginal. Sulit sekali dalam kepemimpinan publik sekarang ditemui pemimpin dengan konsep kuat tentang kesejahteraan dan keadilan sosial. Hal-hal urgen yang menjadi tanggung jawab pemimpin semisal orientasi pada pemberantasan kemiskinan dan penegakan hukum dan keadilan seperti mudah diabaikan begitu saja oleh seseorang yang menjadi pemimpin di negeri ini.
Di sisi lain, dengan wajah kepemimpinan seperti itu, menjadi seorang pemimpin sepertinya merupakan hal yang mudah dan simpel. Katakanlah, menjadi seorang presiden cukup hanya dengan menjaga citra di depan media; menjadi menteri cukup dengan menjadi ketua atau anggota sebuah partai politik dan berkoalisi dengan partai berkuasa (the ruling party); menjadi gubernur cukup hanya dengan kaya dan menjadi bupati cukup dengan popularitas. Krisis leadership juga tergambar pada bagaimana seorang pejabat publik tidak bisa menjaga marwah-nya sebagai pemimpin.
Di suatu kegiatan kampanye tentang save sex melalui penggunaan kondom di suatu kabupaten di Aceh, misalnya, hadir bupati daerah tersebut yang mendapat kesempatan menyampaikan sambutan. Sang Bupati justru menyatakan, ”Memakai kondom, sama saja dengan membungkus lidah kita dengan plastik saat akan makan yang membuat makan menjadi tidak terasa nikmat!” Betapa krisisnya kepemimpinan di negara ini! Seorang pemimpin yang kredibel tidak akan menyampaikan pendapat atas nama kepentingan sendiri dengan ”merelakan” omong kosong tentang nilai seperti itu. Artinya, jika mau mengucapkan omongan tak bernilai, tidak perlu menjadi seorang bupati.
Di tengah krisis kepemimpinan tersebut, muncullah figur seperti Jupe–atau Ayu Azhari yang beberapa waktu lalu terlibat dalam bursa calon Wakil Bupati Sukabumi. Jupe hanya mewakili cara bagaimana perspektif kepemimpinan yang sedang krisis itu bekerja. Jupe adalah sebuah kritik sosial atas situasi kepemimpinan yang tidak ”amanah”, tidak prorakyat, dan tidak bekerja keras mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Jupe adalah kritik sosial atas kepemimpinan publik yang sedang sakit, di mana menjadi pemimpin tidak usah pusing-pusing harus memiliki integritas, kredibilitas, kapabilitas, dan kapasitas.
Pemimpin Alternatif
Krisis kepemimpinan publik juga pernah melanda Amerika Serikat (AS) di masa George Walker Bush. Kemunculan Barack Obama sebagai pemimpin alternatif menjadi mulus bukan saja karena Obama sendiri, tapi karena respons sosial atas krisis kepemimpinan politik itu. Yang menarik dari pengalaman AS adalah respons kritis di sana memunculkan kepemimpinan harapan (leadership of hope), dengan standar nilai baru bagi seorang Pemimpin Negeri Paman Sam pada diri Obama.
Bedanya, di negeri kita respons terhadap krisis kepemimpinan tidak berbentuk leadership of hope, tapi satirical leadership. Kemunculan Jupe, Ayu Azhari, dan figur lain yang dianggap tak berkelas menjadi pemimpin politik merupakan satire atas kondisi krisis kepemimpinan ini. Sebagai satire, jika kita sudi menjadikannya bahan pelajaran, maka perdebatannya tidak sekadar pada aspek Jupe sebagai artis blak-blakan yang masih bau kencur dalam dunia kepemimpinan politik. Sebagai satire sosial, kehadirannya, seharusnya, menjadi bahan refleksi secara utuh atas situasi kepemimpinan publik kita. Kritik sosial ini berlaku untuk semua elemen bangsa, tak cuma politisi dan aktivis partai. Bagi para feminis, ini juga bisa menjadi kritik penting tentang kepemimpinan perempuan.
Meski tanggung jawab kepemimpinan perempuan bukan cuma pada feminis, tapi setidaknya ini menunjukkan para feminis masih belum mampu mengatasi berbagai hambatan dalam menghadirkan kepemimpinan perempuan yang kredibel dan kapabel. Sebagai kritik sosial, kemunculan Jupe harus menjadi bahan refleksi dan kesadaran sosial tentang kepemimpinan politik kita. Utamanya, menyadarkan para pemimpin negeri ini untuk tidak seenaknya dalam menjalani jabatan sebagai pemimpin publik; mereka harus lebih serius dan bekerja keras untuk terpenuhinya hak-hak masyarakat akan kesejahteraan dan keadilan jika tidak mau disamakan dengan (calon) pemimpin publik/politik yang ”cuma” sekelas Jupe.
Akhirnya, sebagai modal awal, ketika Jupe ramai-ramai diragukan untuk menjadi bupati, artinya kita masih punya standar kepemimpinan yang harus memiliki integritas, kredibilitas, dan kapabilitas. Sebagai standar, ia harus diterapkan secara adil, pada semua pemimpin dan calon pemimpin, bukan hanya pada Jupe. Siapa pun harus menyadari, di tengah bangsa yang sedang berjuang menanam demokrasi sejati yang berujung pada kesejahteraan dan keadilan, harus selalu berkembang pemikiran bahwa menjadi pemimpin di negeri ini bukan hal mudah dan ”main-main”. Siapakah yang masih peduli? (oke)
Oleh: Farid Muttaqin, Peneliti pada Puan Amal Hayati, Alumnus Ohio University, AS Share
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar