VIVAnews. Partai Keadilan Sejahtera menilai fatwa haram rokok yang dikeluarkan Muhammadiyah baru-baru ini posisinya setara dengan fatwa haram infotainment yang dikeluarkan oleh NU beberapa waktu lalu. Fatwa itu adalah aspirasi sebagian masyarakat saja.
“Kalau fatwa itu berasal dari organisasi kemasyarakatan (ormas), maka artinya itu berasal dari aspirasi sebagian masyarakat,” ujar Ketua Fraksi PKS, Mustafa Kamal, kepada VIVAnews, Senin 15 Maret 2010.
Muhammadiyah mengeluarkan fatwa rokok haram pada tanggal 8 Maret lalu di Yogyakarta. “Dalam Al Quran disebutkan, jangan kamu dengan sengaja mati. Sementara rokok termasuk ke dalam kategori bunuh diri secara perlahan-lahan, karena merokok itu termasuk kotoran dan tidak baik, serta merusak diri dan orang lain. Dari fakta ekonomi dan kesehatan, merokok jelas haram,” jelas Ketua Muhammdiyah, Yunahar Ilyas, usai memfatwakan rokok haram.
Menanggapi fatwa tersebut, PKS sebagai partai Islam terbesar di tanah air menegaskan, setiap ormas keagamaan berhak untuk memfatwakan apa saja yang menurut kajian ilmiah mereka halal atau haram. Sebelum 8 Maret 2010, Muhammadiyah hanya memfatwakan rokok sebagai mubah (tidak dilarang, tapi tidak pula dianjurkan).
Yunahar menyatakan, perubahan fatwa tersebut dilakukan setelah Muhammadiyah mempelajari lagi dampak rokok dari segi kesehatan dan ekonomi. “Dulu Muhammadiyah kurang meneliti soal rokok. Sekarang data-data yang kami dapat sudah lengkap,” katanya. Mantan Ketua PP Muhammdiyah, Syafi’i Maarif, turut mendukung fatwa haram rokok ini.
Namun Ketua PP Muhammadiyah yang saat ini menjabat, Din Syamsuddin, mengatakan bahwa fatwa tersebut belum menjadi keputusan resmi organisasi. Ia menegaskan, fatwa haram rokok secara khusus akan diberlakukan untuk kalangan internal Muhammadiyah, sebagai tanggung jawab moral organisasi terhadap para anggotanya.
Meski diberlakukan untuk internal Muhammadiyah, namun PKS meminta pemerintah untuk cepat tanggap dalam melihat aspirasi warga Muhammadiyah ini. Apalagi, kata Mustafa, Muhammadiyah merupakan salah satu ormas terbesar di tanah air. “Pemerintah tetap berkewajiban untuk mengantisipasi dampak-dampak yang akan terjadi,” ujar Mustafa.
Selama ini, menurut Mustafa, pemerintah terlihat kurang menanggapi berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh ormas keagamaan. “Seperti NU yang sejak lama memfatwakan infotainment haram, namun sampai sekarang tidak ada sama sekali kebijakan pemerintah yang merespons soal itu.” Seharusnya, tegas Mustafa, pemerintah mengeluarkan peraturan yang dapat mengakomodir kebutuhan semua pihak.
Sumber: vivanews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar