Lembaga PBB untuk lingkungan hidup UNEP (United Nation Environment Programme) pada 21-26 Februari di Bali menggelar Media Workshop: Reporting Green guna memperkenalkan dan mendiskusikan berbagai isu lingkungan termutakhir. Wartawan dari sedikitnya 15 negara mengikuti kegiatan itu, salah satunya wartawan Joglosemar, Heru Ismantoro yang hadir dengan fasilitasi UNEP. Berikut catatan kegiatan tersebut yang disajikan secara bersambung.
Problem lingkungan global dewasa ini semakin kompleks dan rumit untuk diantisipasi. Melonjaknya jumlah penduduk dunia menjadi pokok permasalahan terjadinya eksploitasi sumber daya alam. Di sisi lain, aktivitas manusia juga menghasilkan limbah yang ujung-ujungnya berpotensi mencemari dan merusak alam.
Setidaknya ada lima problem lingkungan yang patut dijadikan perhatian di abad ini. Kelimanya adalah perubahan iklim (climate change) yang berujung pada pemanasan global (global warming), kepunahan flora dan fauna akibat eksploitasi sumber daya alam yang membabi buta, persoalan limbah berbahaya dan beracun utamanya soal elektronic waste (e-waste), kerusakan lingkungan karena bencana dan konflik, dan persoalan tata kelola rejim lingkungan internasional (internasional environment governance). Dalam kesempatan tersebut UNEP mendorong dunia untuk melaksanakan konsep Ekonomi Hijau (Green Economy) sebagai fondasi pembangunan yang berkelanjutan.
Pada tulisan pertama ini, saya ingin memaparkan sebuah fenomena persoalan lingkungan baru yang dekat dengan gaya hidup kita kini. Problem tersebut adalah sampah elektronik atau e-waste. Sampah elektronik diprediksi akan menjadi masalah serius di masa mendatang hal ini dikarenakan tingginya konsumsi masyarakat terhadap produk-produk elektronik, utamanya telepon seluler, televisi dan kulkas. Problem paling serius diperkirakan akan terjadi di negara-negara berkembang, khususnya negara yang memiliki jumlah penduduk sangat besar, termasuk Indonesia.
E-waste perlu diwaspadai karena mengandung unsur beracun di antaranya kobalt, perak, palladium, tembaga, timbal dan lain sebagainya dalam komponen elektroniknya. Celakanya, usaha daur ulang sampah elektronik itu masih minim dan kini baru diupayakan oleh perusahaan-perusahaan elektronik besar dunia. Di sisi lain, produk elektronik murah terus membanjir di negara-negara berkembang sehingga secara otomatis akan meningkatkan konsumsi alat-alat tersebut.
Sensasional
Meningkatnya pemakaian barang elektronik di negara berkembang diakui oleh Direktur Eksekutif Badan PBB untuk Program Lingkungan Hidup (UNEP) Dr Achim Steiner. Tingginya pemakaian barang elektronik ini akan berimplikasi pada melonjaknya limbah elektronik. Lonjakan signifikan di antaranya diprediksi terjadi di India, Afrika Selatan dan China. E-waste diperkirakan akan melonjak hingga 200-400 persen pada tahun 2020 jika dibandingkan kondisi tahun 2007, di China dan Afrika Selatan. Sedangkan di India akan terjadi lonjakan hingga 500 persen karena tingginya pemakaian alat elektronik di negara tersebut.
Booming e-waste yang paling sensasional akan terjadi pada produk telepon seluler (ponsel). Para peneliti UNEP menghitung sampah ponsel akan meningkat tujuh kali lebih tinggi pada tahun 2020 di China. Sedangkan di India, sampah ponsel diprediksi bakal melonjak 18 kali lebih tinggi dibandingkan tahun 2007.
E-waste tertinggi berikutnya adalah televisi yang mengalami lonjakan 1,5 sampai 2 kali lipat di China. Di India, limbah lemari es juga mengalami peningkatan yang pesat bahkan pada tahun 2020 limbah lemari akan melambung 2-3 kali lipat dibandingkan tahun 2007.
Tingginya pemakaian alat elektronik karena elektronik saat ini sudah menjadi bagian gaya hidup masyarakat dunia. UNEP mendata lebih dari 150 juta ponsel dan pagers terjual pada tahun 2008 atau meningkat 90 juta dibandingkan lima tahun sebelumnya. Secara umum, 1 miliar Ponsel terjual pada tahun 2007 atau naik 896 juta dibandingkan tahun 2006.
Bagaimana dengan Indonesia? Studi lembaga penelitian ROA (Research On Asia) Group menyebutkan perkembangan pasar ponsel Indonesia yang terus tumbuh pesat. Disebutkan, pengguna ponsel di Indonesia tercatat sebanyak 68 juta pada akhir tahun 2006. Pada tahun 2010, angka pengguna ponsel di Indonesia diprediksikan mencapai angka 133 juta (Detikcom 07/09/2007). Angka tersebut membawa Indonesia menempati peringkat ketiga pasar ponsel terbesar di Asia setelah China dan India. Dari data-data sudah terbayang Indonesia berpotensi mengalami booming e-waste di masa yang akan datang. Hal ini sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan kita semua sebagai masyarakat sebagai pengguna alat elektronik.
UNEP mendata e-waste secara global tumbuh 40 juta ton setiap tahunnya. Sampah ponsel dan komputer (personal komputer) menyumbang tiga persen limbah emas dan perak, 13 persen palladium, dan 15 persen kobalt setiap tahunnya.
Ancaman bagi negara berkembang seperti Indonesia tak hanya e-waste yang dihasilkan masyarakatnya sendiri. Namun, juga e-waste dari negara-negara maju yang terus mengupayakan membuang limbah elektroniknya ke negara-negara berkembang. Kasus terakhir terjadi di Indonesia ketika sembilan kontainer limbah elektronik coba dimasukkan oleh pengimpor dari Amerika Serikat. Beruntung, pihak Bea dan Cukai mampu mengungkap dan mengembalikan impor ilegal tersebut. Indonesia harus waspada karena negara ini belum memiliki regulasi khusus yang mengatur e-waste.
Terakhir, sebagai bagian dari masyarakat saya mengajak agak mulai saat kita bijak dalam menggunakan berbagai peralatan elektronik. Beberapa hal yang bisa kita lakukan misalnya membeli barang elektronik yang memiliki jaminan berumur panjang, membeli barang elektronik sesuai kebutuhan alias tidak berlebih, dan men-support upaya perusahaan elektronik yang mengedepankan daur ulang sebagai bagian dari proses produksi mereka. E-waste adalah masalah kita bersama, mari kita antisipasi. (Bersambung)
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar