jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Kamis, 08 Oktober 2009

Robohnya “Rumah Gadang”


Oleh: Presiden PKS, Tifatul Sembiring
---------------------------------------------


"Ondeh rang rantau…. dangalah… Minang Maimba" Lirik Lagu: Elli Kasim (Wahai para perantau, dengarkanlah Minang memanggil)

Berjalan menyusuri kawasan gempa Sumatera Barat 30 September 2009 lalu, membuat hati ini terenyuh, bergidik menyaksikan bangunan-bangunan yang hampir seluruhnya rubuh di sepanjang jalan yang kami lewati. Berada di kota Padang saja, tidak tahan pilunya hati, tangisan dan ratok keluarga korban, disertai sergapan bau amis mayat yang masih belum sempat di evakuasi. Di kelurahan Tarantang, Lubuak Kilangan, pinggiran kota Padang, rumah-rumah Perumnas yang baru dihuni dua bulan, sudah runtuh kembali. Belum lagi pemandangan sekitar di hampir semua jalur yang kami lewati sambil menyalurkan bantuan, hancur luluh akibat gempa berkekuatan 7,6 Scala Richter tersebut.

Di tengah Kota Padang, menurut data Satkorlak, tidak kurang dari 11.000 bangunan hancur dan sudah lebih dari 200 mayat ditemukan. Mulai dari tempat kursus Gama di samping kantor Padang Ekspres, show room mobil Adira, kantor-kantor Pemerintahan, LIA, Pasar Raya, Hotel Ambacang, Hotel Bumi Minang, Kampuang Cino, juga Muaro.

Bahkan di Hotel Ambacang sampai hari ini, masih dilakukan evakuasi. Berbagai spekulasi jumlah korban diungkapkan, karena tidak ada akses jalan masuk. Bongkahan puing beton masih bertumpukan saat penulis mengunjungi kawasan tersebut, hari Senin 5/10/2009. Baru 10 % puing Ambacang yang dirubuhkan, sementara bangunan utama kelihatan masih utuh, meski konstruksi sebenarnya sudah patah dua lantai. Aroma busuk kuat tercium sehingga sebagian relawan dan petugas menggunakan masker penutup hidung.

Berjalan ke arah Pariaman suasanana kian mencekam. Hampir 90% rumah dan bangunan rubuh akibat gempa. Mulai dari Padang Sago, Nan Sabaris, Bukik Tandikek, Kecamatan Patamuan yang kini jadi kuburan masal. Apalagi jika ditelusuri dari wilayah Kabupaten Agam, Mulai dari Sungai Batang--kampung ulama terkenal Buya Hamka--lebih 2.000 pengungi bertumpuk di pasar, mengisi los-los seadanya, melantai kedinginan. Hampir sepanjang bukit pinggiran danau Maninjau terdapat titik longsor, merubah dominasi warna rimbun kehijauan semula, menjadi dinding kecokelatan tebing yang runtuh.

Di Malalak jalan putus ke arah Sicincin, sehingga relawan harus berjalan kaki sejauh 15 kilometer untuk memberikan bantuan ke arah Tandikek. Lubuak Basuang, Manggopoh, Sungai Limau, Sungai Garinggiang, Kampuang Dalam Sikucua, bahkan puluhan tempat lagi yang kami tidak ingat namanya. Entahlah dengan Mentawai dan Siberut, belum ada kabar, padahal di sana bermukim hampir 100.000 jiwa.

Di Padang Sago, anak-anak kecil berlarian mengejar mobil yang datang, akankah memberi bantuan. Orang-orang tua yang lebih dominan, banyak termenung di samping rumahnya yang rubuh, sambil berlindung di bawah tenda bambu beratap plastik darurat yang miring. “Ambo ndak bisa bajalan lai Pak, kaki bangkak, lah tigo hari lalok di lantai, ngilu bana”(saya tidak bisa jalan, kaki saya bengkak sebab tiga hari tidur dilantai, terasa ngilu), ujar seorang nenek sambil menunjukkan kakinya yang sembab.
Anak-anak kecil pun terlihat lusuh dan kumal, mungkin beberapa hari belum mandi. Ke mana orang ramai berkumpul mereka ikuti. Karena mungkin ayah atau ibu mereka menjadi korban.

“Indak ado bapak nan ka mamangku, indak ado mamak nan kamambimbiang”(tidak ada ayah yang mengasuh, tidak ada paman yang mau menuntun), ujar seseorang paruh baya.

Gempa di Sumatera Barat kali ini, termasuk paling besar dampaknya dibandingkan gempa-gempa sebelumnya. Peristiwa ini tidak saja menghancurkan bangunan fisik, akan tetapi punya dampak sosial yang besar. Dimana para tokoh setempat juga banyak yang menjadi korban. Kebiasaan orang Minang untuk kembali bermusyawarah, membahas masalah-masalah yang dialami masyarakat di “Rumah Gadang”, semacam balairung tempat berkumpul, jadi sangat terganggu karena sarana infrastruktur dan suprastrukturnya tidak memadai.

“Rumah Gadang kami lah runtuah” (Rumah Gadang kami sudah runtuh), kata mereka.

Suatu sarana tempat berkumpulnya niniak mamak, bundo kanduang, ulama dan cadiak pandai serta datuak –sebagai tungku nan sajarang--berkumpul untuk memutuskan masalah-masalah suku atau nagari yang mereka hadapi. Inilah efek sosial yang akan segera muncul, karena banyaknya korban, masalah-masalah sosial yang biasanya selesai di level masyarakat nagari, kini tidak terpecahkan.

Urang Rantau, yaitu orang Minang yang berada di perantauan, dimasukkan sebagai golongan “cadiak pandai”, dalam situasi demikian tentu sangat diharapkan bantuan dan uluran tangan mereka. Hari ini orang-orang masih berada di tenda-tenda pengungsian, yang paska gempa 30 September lalu tak henti-henti pula diguyur hujan. Namun masa-masa ini adalah tahap tanggap darurat, masih emergency, bantuan kemanusiaan dan para relawan sementara ini masih banyak berdatangan. Yang lebih krusial adalah masa-masa recovery dan rekonstruksi. Relawan sudah kembali, lalu siapa lagi yang akan mengurus mereka?. Di sinilah peran urang rantau untuk secara kontinyu mengawal bantuan mesti terus dilanjutkan. Menghimpun dana di rantau, Anggota Dewan mengawal anggaran bantuan, juga para pedagang dan pengusaha Minang selayaknyalah mengarahkan untuk memotong hewan kurban pada idul Adha nanti di wilayah bencana ini.

Selanjutnya, ke depan tentu semua kita harus memuhasabahi, mengoreksi diri dari kekeliruan-kekeliruan masa lalu. Apakah kebiasaan “Tabuik”--melarung sesajen ke laut-- masih akan terus dilakukan, sementara keluar nagari kita berkata “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah”. Apakah soal jama’ah Sattariyah yang tetap dipelihara dengan segala kelainannya dan keminiman pemahaman agamanya dari mayoritas ummat Islam di Indonesia, tetap tidak dilakukan pembinaan untuk pencerahan pemahaman mereka?. Atau kelompok-kelompok lain yang banyak terdapat di kawasan terdampak G30S (Gempa 30 September) kali ini.

Bagi Allah swt, AL-HASIIB, Yang Maha Cepat Perhitungannya, telah digariskan: “Kalaulah penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa, maka akan kami bukakan pintu2 keberkahan dari langit maupun dari bumi, akan tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami, maka Kami siksa mereka dengan apa-apa yang mereka dustakan”(QS 7:96).

Marilah kita koreksi mutu keimanan dan ketaqwaan kita semua, wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar