PK-Sejahtera Online. Joko dan seorang pengendara mobil mewah beradu tatap. Tangan si pengendara keturunan Tionghoa kemudian mulai merogoh sakunya. Namun mendadak berhenti. Berganti matanya serius mengeja huruf demi huruf di kertas yang menempel di kardus milik Joko. Tak lama, ia pun mulai membuka perlahan kaca mobilnya seraya memasukan Rp 50 ribu ke kardus, sambil bertutur “Kalau PKS saya percaya”.
Itulah sekelumit kisah penggalangan dana yang dilakukan kader-kader PKS Batam untuk membantu para korban gempa bumi berkekuatan 7,6 skala richter yang mengguncang beberapa wilayah di Sumatra Barat. Dari menjelang siang sampai malam mereka bergantian “shift” mengejawantahkan kepedulian.
Gempa yang diprediksikan bakal merenggut sekira 4000 nyawa ini memang begitu menyedot perhatian dan empati. Di jalanan Batam pun ada begitu banyak organisasi yang ikut turun ke jalan menggalang dana bantuan.
Namun “nama besar” PKS rupanya masih bisa diandalkan oleh para “donator jalanan”. Buktinya banyak sekali para penyumbang yang membaca dahulu kalimat yang lekat di kardus para sukarelawan. Tak jarang para pengendara sengaja memanggil sukarelawa PKS, padahal sebelumnya sudah mondar-mandir sukarelawan organisasi lain ke dekat mobil atau motornya.
Di sela-sela lampu hijau, seorang sukarelawan curhat. Siswi OSIS SMP Islam Terpadu di bilangan Tiban itu mengatakan, “Om kok bisa dapat banyak sih?” “Yang gesit dan kasih senyum dong”, jawab saya sekenanya. Meski dalam hati menduga, ini lebih karena faktor “bendera” PKS.
Meski ada juga sebagian pengendara yang apatis atau bahkan tidak menaruh kepercayaan. Itu adalah bagian dari potret hidup kehidupan dalam memandang suatu kejadian.
Penjual Koran dan minuman pun “welcome” dengan keberadaan sukarelawan PKS. Sering kali ia memanggil saya memberi tahu ada pengendara yang akan kasih bantuan, meski ia harus gigit jari jajakannya sementara tak laku.
Dan ada satu hal yang membuatnya dapat pelajaran, yaitu setiap waktu sholat tiba para sukarelawan PKS itu menghentikan aktivitas penggalangan dana. Mereka berganti menggalang pahala menunaikan kewajiban kepada Tuhannya. Sholat dulu pak. I … iya, jawab penjual Koran terbata-bata.
Ungkapan seorang keturunan Tionghoa itu adalah sebuah harapan. “Takjubnya” tukang Koran melihat kita berhenti dan bergegas sholat juga adalah sebuah keluarbiasaan. Dan itu hanya bagian kecil dari masyarakat yang memilki asa yang sama kepada PKS. Semoga dapat kita bisa menjaga dan menularkannya. (isy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar