ADA kabar baik bahwa pos kementerian strategis dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) periode II di bawah duet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono tetap dipercayakan kepada kalangan profesional.
Ini dimaksudkan untuk menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan, terutama kepentingan politis, jika pos itu diserahkan kepada figur yang terafiliasi dengan partai politik.
Pos kementerian strategis dimaksud, kebanyakan di bidang ekonomi, seperti pos Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara BUMN.
Bisa dicermati dari sejumlah nama kandidat yang beredar untuk pos-pos itu, hampir semuanya berlatar belakang profesional. Tidak ada yang dari parpol. Kalaupun dari partai politik, maka figur itu seorang profesional.
Sangat mungkin, secara keseluruhan KIB jilid II masih didominasi wajah-wajah yang terafiliasi dengan parpol tertentu, baik koalisi pendukung SBY-Boediono saat Pilpres lalu, maupun dari Partai Golkar dan PDI-P.
Salah satu posisi ekonomi konon akan dipegang Pramono Anung, yang dilantik menjadi Wakil Ketua DPR periode 2009-2014 pada 2 Oktober lalu. Pram kemungkinan besar tak akan sampai sebulan menduduki jabatan ini. Sekjen PDI-P ini, sebelum 21 Oktober, kemungkinan harus melepas jabatannya di legislatif. Ia harus mengikuti arahan partainya menyeberang ke eksekutif.
Ia akan menempati pos strategis yang sudah disiapkan pemerintahan terpilih SBY-Boediono untuk PDI-P. Pramono Anung, konon diposisikan sebagai salah satu menteri, kemungkinan besar Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM). Pos lainnya masih menanti bagi sosok lainnya.
Semakin pasti bahwa politik SBY tidak akan mengembangkan oposisi. Slogan yang kuat diucapkan SBY adalah, "Ada saatnya berkompetisi, ada saatnya berkooperasi." Pandangan politik SBY sangat kuat berorientasi pada ide persatuan nasional. Masuknya Pram ini jelas akan menguatkan koalisi PDIP ke dalam kubu Demokrat.
Dengan tingkat perolehan suara yang sudah besar dalam pemilu, SBY tetap berkepentingan 'melunakkan' PDI-P dan Partai Golkar. Hasilnya, transaksi politik dengan PDI-P mendudukkan Taufiq Kiemas di kursi Ketua MPR. Sementara dengan Golkar, transaksi itu mewujud pada terpilihnya Aburizal Bakrie sebagai ketua umum partai.
Pakar filsafat politik UI Rocky Gerung melihat penyelenggaraan Kabinet SBY nanti tidak akan bertumpu pada prinsip presidensial. Sebab SBY tetap memerlukan dukungan politik DPR.
Tetapi yang mengkhawatirkan bagi demokrasi adalah bahwa politik DPR nanti akan berubah dari sifat awalnya sebagai politik koalisi untuk mengamankan kebijakan presiden, menjadi politik kolusi untuk memanfaatkan kebijakan negara. Artinya, karena dasar koalisi itu bukan ideologis, dengan mudah transaksi politik berubah menjadi transaksi pragmatis dengan pertimbangan ekonomis semata-mata.
Pola inilah yang dikhawatirkan para pakar politik, akan mendasari proses-proses tukar tambah kepentingan dalam pelaksanaan fungsi legislasi di parlemen. Jadi sebetulnya upaya meletakkan dasar-dasar pemerintahan presidensial menjadi terhalang justru oleh kalkulasi pragmatis presiden yang sangat khawatir dengan politik 'bola liar' di DPR.
Namun demikian, kita melihat berbagai kemungkinan dalam dinamika lembaga legislatif dan eksekutif akan terus berjalan. Fungsi kontrol dari parlemen kita harapkan masih ada, meski sporadis dan tak berstruktur, sehingga setidaknya parlemen tidak bisu sama sekali dalam mengawasi eksekutif.
Presiden membutuhkan checks and balances, meski ia cenderung menolak partai oposisi melalui akomodasi politik PDIP, Golkar, dan Gerindra ke dalam kabinet. Ke depan, boleh jadi, politik mungkin berjalan relatif lamban karena berbagai akomodasi kepentingan. [mor]
Sumber: http://www.inilah.com/rubrik/editorial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar