Komitmen Partai Keadilan Sejahtera untuk mengubah diri menjadi partai terbuka disambut dengan dukungan cukup berimbang oleh publik, antara yang menerima dan menolak. Respons cukup positif terhadap perubahan ini tidak saja tecermin pada penilaian masyarakat terhadap citra partai, tetapi lebih dari itu, juga tampak dari kesediaan sebagian publik untuk masuk menjadi anggota.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan partai berasaskan Islam yang pendiriannya terkait dengan pertumbuhan aktivitas dakwah Islam sejak periode awal 1980-an. Gerakan dakwah ini berbasis di masjid-masjid kampus. Dalam perkembangannya, aktivitas dakwah ini menjalar pula ke masyarakat umum, bahkan ke kalangan pelajar dan mahasiswa di luar negeri, baik Eropa, Amerika, maupun Timur Tengah. Persaudaraan (ukhuwah) yang dibangun dengan corak ideologi Islam yang kuat menjadi sebuah alternatif cara hidup di tengah-tengah masyarakat perkotaan yang cenderung semakin individualistik (Litbang Kompas, ”Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009”, 2004).
Perubahan politik pada 1998 mendorong para aktivis dakwah ini untuk merumuskan secara lebih konkret upaya peraihan cita-cita mereka. Pendirian partai politik yang berorientasi pada ajaran Islam perlu dilakukan untuk mencapai tujuan dakwah Islam. Partai Keadilan pun dideklarasikan di Jakarta pada 9 Agustus 1998. Tak perlu waktu lama, pada Pemilu 1999, Partai Keadilan yang menjadi cikal bakal Partai Keadilan Sejahtera menduduki peringkat ketujuh dari 48 partai politik peserta Pemilu 1999 dengan perolehan suara 1.436.565 atau 1,36 persen. Sayangnya, peringkat ketujuh dan perolehan suara sebanyak itu tak mampu meloloskan Partai Keadilan dari ambang batas perolehan suara untuk bertahan pada pemilu berikutnya.
PKS pun didirikan pada 20 April 2002 untuk melanjutkan kiprah politik dakwah warga Partai Keadilan. Dalam waktu lima tahun, partai ini berhasil menduduki peringkat keenam dalam perolehan suara nasional dengan proporsi suara 7,34 persen pada Pemilu 2004. Bahkan, di DKI Jakarta, ia mampu menjadi partai pemenang mengalahkan partai-partai besar lainnya.
Kelas menengah kota
Memiliki basis pengikut di kalangan kelas menengah perkotaan, partai ini memperoleh suara tertinggi pada Pemilu 2009 dibandingkan partai berbasis massa Islam lainnya. PKS memperoleh 7,89 persen dari total suara sah, sementara Partai Amanat Nasional hanya memperoleh 6,01 persen, Partai Persatuan Pembangunan meraih 5,32 persen, dan Partai Kebangkitan Bangsa bahkan turun tinggal 4,94 persen.
Meski demikian, proporsi suara 7,89 persen ini juga bisa diartikan PKS belum maksimal memperbesar jumlah pengikutnya. Meskipun secara proporsi terdapat kenaikan dari 7,34 persen menjadi 7,89 persen, dalam jumlah suara justru menurun sekitar 200.000 suara dari semula 8,33 juta suara menjadi 8,21 juta. Ini berarti kesetiaan tinggi terhadap ideologi yang dianut belum berhasil memperbesar partai. Atas dasar kondisi tersebut, pada Musyawarah Nasional II yang berlangsung 16-20 Juni 2010, PKS berketetapan untuk mengubah target dan membuka diri bagi masuknya semua kalangan masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim.
Dukungan berimbang
Gaung keterbukaan yang menggema keras dalam Musyawarah Nasional II ini juga disambut antusiasme sebagian publik. Antusiasme tersebut ditunjukkan dengan menyatakan bersedia menjadi anggota PKS apabila partai ini berubah menjadi partai terbuka. Hal ini terekam dalam jajak pendapat yang diselenggarakan Litbang Kompas pada 16-18 Juni 2010. Dari 702 responden jajak pendapat, proporsi responden yang menyatakan bersedia menjadi anggota dengan yang tidak bersedia cukup berimbang, masing-masing 43,2 persen menyatakan bersedia, sementara 43,0 persen lainnya menolak menjadi anggota jika partai ini berubah menjadi partai terbuka.
Meski demikian, respons publik yang berimbang ini akan tampak sebagai dukungan positif menjadi anggota apabila dikaitkan dengan pilihan partai politik responden pada Pemilu 2009. Jajak pendapat ini mengungkapkan bahwa pemilih partai-partai lain ”mungkin” akan bergabung dengan PKS apabila keterbukaan jadi diterapkan. Di antara responden yang sebelumnya memilih Partai Demokrat, terdapat proporsi 43,4 persen yang menyatakan bersedia menjadi anggota PKS apabila partai ini menjadi partai terbuka. Kesediaan responden itu juga berlaku untuk konstituen dua partai besar lain, yakni Golkar (34,2 persen) dan PDI-P (42,9 persen).
Akan tetapi, perubahan itu belum tentu menguntungkan apabila dilihat dari internal basis massa tradisional PKS. Perubahan tersebut disikapi dengan penolakan sebagian dari konstituen PKS sendiri. Jajak pendapat ini mencatat bahwa di antara responden yang memilih PKS pada Pemilu 2009, terdapat 34,0 persen yang menyatakan akan hengkang dari PKS jika partai ini mengubah diri sebagai partai terbuka. Hal ini mudah dipahami, mengingat sejak awal pendiriannya, partai ini kental meniupkan roh keislaman kepada para kader dan anggotanya. Namun, dukungan dari 59,7 persen konstituen PKS untuk membuka diri cukup menjadi penanda bahwa langkah tersebut kini tetap bisa dilaksanakan meski perkembangan partai ke depanlah yang pada akhirnya akan menentukan kesetiaan.
Citra terbuka
Dukungan publik atas peralihan PKS menjadi partai terbuka tecermin pula dalam pola penilaian masyarakat atas penyelenggaraan organisasi partai. Berkaitan dengan perekrutan anggota, separuh responden (49,3 persen) menyatakan, PKS merekrut anggota secara terbuka. Bahkan, lebih dari separuh responden (62,0 persen) menilai, PKS saat ini pun sudah merupakan partai yang terbuka untuk semua agama. Pola penyikapan ini tak dimungkiri berkaitan dengan kenyataan bahwa PKS juga mempunyai pendukung dari kalangan non-Muslim, seperti di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Lebih dari itu, PKS kini memiliki 20 anggota legislatif non-Muslim yang sebagian besar merupakan anggota DPRD di Papua.
Masih berkaitan dengan pengorganisasian partai, publik menilai, PKS merupakan partai yang terorganisasi dan solid. Penilaian ini dikemukakan oleh sebagian besar responden (80,2 persen). Soliditas para pengikut PKS dibuktikan oleh hasil survei Litbang Kompas menjelang Pemilu 2009 yang menyatakan bahwa terdapat hampir 77 persen konstituen PKS pada Pemilu 2004 yang waktu itu akan memilih kembali PKS pada Pemilu 2009.
Selain soal penyelenggaraan organisasi partai, penilaian cukup positif juga diberikan publik terutama yang berkaitan dengan identitas PKS sebagai partai berbasis massa Islam.
Dalam jajak pendapat ini terungkap bahwa separuh lebih responden (66,8 persen) tidak setuju apabila PKS disebut sebagai partai garis keras. Meski dinilai bukan sebagai partai garis keras, PKS dilihat oleh separuh lebih responden (57,8 persen) tetap memiliki identitas Islam yang kental. Karakteristik Islam yang kuat ini bisa jadi dihubungkan dengan ”stigma” yang kerap melekat bahwa perjuangan partai ini untuk menegakkan syariat Islam di negeri ini.
Dukungan ataupun penolakan responden jajak pendapat ini yang cukup berimbang terhadap rencana PKS mengubah orientasi partainya merupakan cerminan dari perdebatan yang masih berlangsung di tubuh PKS dalam menyikapi angin perubahan. (Litbang Kompas)
Sumber: KOMPAS (Senin, 21 Juni 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar