KOMPAS.com. Pengalaman tiga kali pemilihan umum cukup untuk membuat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menghitung ulang strategi politiknya. Melalui semboyan "PKS untuk semua", partai Islam itu mulai membuka diri kepada semua golongan dan agama.
Setelah lebih dari satu dasawarsa berkiprah di kancah politik Indonesia, PKS mulai mempertimbangkan untuk melegalformalkan keanggotaan kalangan non-Muslim. Masalah keanggotaan non-Muslim itu menjadi salah satu usulan yang dibahas dalam Sidang Majelis Syura PKS, Rabu lalu.
Usulan itu membuat persidangan Majelis Syura dengan agenda amandemen anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) berjalan cukup alot. Salah seorang panitia Musyawarah Nasional (Munas) II PKS, Mahfudz Shiddiq, menuturkan, sidang sesi ke-2 yang dimulai pukul 14.00 baru selesai sekitar pukul 23.00. Usulan keanggotaan non-Muslim itu memang baru dibahas dalam sidang sesi ke-2.
Sidang itu berjalan lambat lantaran masih ada anggota Majelis Syura yang keberatan dengan usulan keanggotaan non-Muslim. Mereka khawatir, pembukaan ruang bagi kalangan non-Muslim akan berimbas terhadap basis massa PKS yang berasal dari kalangan Muslim. ”Mereka hanya ingin berhati-hati saja. Tapi, setelah dijelaskan bahwa Islam bersifat terbuka dan berorientasi untuk mendatangkan kemaslahatan umat, semua anggota Majelis Syura akhirnya sepakat,” katanya.
Namun, klausul keanggotaan non-Muslim itu tidak secara eksplisit diatur dalam AD/ART baru. Tidak ada kalimat yang menjelaskan secara gamblang bahwa kalangan non-Muslim bisa menjadi anggota PKS.
PKS hanya membagi keanggotaan menjadi dua kategori, yakni kader dan anggota. Kader adalah anggota yang terikat penuh dengan AD/ART partai dan terikat penuh dengan sistem kaderisasi yang berbasis keislaman. Sedangkan mereka yang masuk kategori anggota adalah semua warga negara Indonesia yang terikat penuh kepada organisasi. Anggota bersifat lebih umum dan terbuka bagi siapa pun dari golongan serta agama apa pun.
Pada AD/ART sebelumnya, PKS hanya mengenal anggota saja. Anggota harus terikat penuh dengan AD/ART serta mengikuti kaderisasi yang berbasis keislaman dengan mengawali sebagai anggota mula, kemudian naik menjadi anggota muda, madya, dewasa, ahli, dan purna.
Legalisasi keanggotaan non-Muslim itu didasari pertimbangan semakin banyak pendukung PKS dari kalangan non-Muslim, seperti di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Apalagi kini PKS memiliki 20 anggota legislatif dari kalangan non-Muslim. Sebagian besar merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Papua.
Bukan hanya kalangan non-Muslim, PKS juga mulai mendekati basis massa tradisional Islam. Pada Pemilu 2009, PKS mulai mendapat dukungan dari masyarakat pedesaan yang juga merupakan basis massa gerakan Islam tradisional, seperti Nahdlatul Ulama (NU). PKS pun memperoleh kursi DPR dari daerah basis NU, seperti Pasuruan dan Madura.
PKS juga memperoleh dukungan dari warga Muhammadiyah. Pada Pemilu 2004, banyak suara warga Muhammadiyah, yang merupakan basis massa tradisional Partai Amanat Nasional, beralih ke PKS.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Abdul Munir Mulkan yang juga pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai, gagasan keterbukaan PKS yang ingin mengakomodasi pemilih ataupun calon anggota legislatif atau pengurus partai dari non-Muslim atau warga Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai sebuah kecerdasan untuk merebut suara pemilih dalam memenangi pertarungan politik.
Kondisi itu bukan menunjukkan lunturnya ideologi PKS, melainkan hanya sebuah strategi politik. Menurut Munir, sikap itu sejalan dengan pemikiran Yusuf Qardhawi sebagai salah satu sumber inspirasi partai-partai yang mengadopsi pemikiran gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, termasuk PKS di Indonesia. Dalam kondisi tertentu, partai Islam boleh bersikap pragmatis sepanjang itu hanya menjadi strategi untuk merealisasikan tujuan-tujuan ideal semata, seperti penerimaan atas demokrasi, pemimpin wanita, atau penerimaan atas non-Muslim.
Namun, Munir meyakini, kalaupun non-Muslim bisa diakomodasi dalam partai, mereka tidak akan dilibatkan dalam Majelis Syura PKS. Posisi Majelis Syura adalah pimpinan tertinggi partai dan di lembaga itulah segala kebijakan partai ditentukan. "Jika Majelis Syura sudah ada yang berasal dari non-Muslim, itu berarti ideologi PKS telah berubah," katanya. Dengan demikian, walau PKS sudah mendeklarasikan sebagai partai terbuka dengan menerima mereka yang non-Muslim, ideologi PKS tetap terjaga.
Upaya PKS mendekati warga NU dan Muhammadiyah juga dinilai sebagai kecerdikan PKS. Jika PKS "memusuhi" warga NU dan Muhammadiyah, ia akan mati. NU dan Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan dengan jumlah anggota terbesar di Indonesia. "Ketegangan yang muncul antara PKS dan Muhammadiyah serta NU menjelang Pemilu 2009 membuat target perolehan suara PKS tak terpenuhi. Ini menjadi pelajaran bagi PKS yang selama ini dikenal cenderung eksklusif," ujarnya.
Terjaganya ideologi PKS meski berubah menjadi partai terbuka juga diungkapkan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Bahtiar Effendy. Keterbukaan yang digagas saat ini tidak akan mengubah dasar ideologi partai, yaitu Islam. Keterbukaan yang dilakukan merupakan konsekuensi dari besarnya jumlah umat Islam Indonesia yang mencapai 88 persen dari jumlah penduduk.
"Ideologi PKS tetap Islam, tetapi tafsiran dan bagaimana ideologi itu harus diaplikasikan, itu yang bersifat fleksibel, apakah mau sektarian, eksklusif, universal, atau inklusif. Itu bergantung pada perkembangan situasi," katanya.
Menurut Bahtiar, PKS tidak bisa lagi menggunakan tafsir ideologi Islam seperti yang digunakan pada Pemilu 1999 saat bernama Partai Keadilan. Keterbukaan PKS saat ini pun menunjukkan hal itu bahwa pemahaman terhadap Islam disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Karena itu, saat non-Muslim dan Muslim di luar garis pemahaman Islam PKS diakomodasi dalam partai, mereka harus bisa menerima ideologi dasar PKS. Siapa pun bisa masuk ke PKS dan menerima konsekuensi ideologis PKS, bukan konsekuensi agamanya.
Sikap keterbukaan itu, menurut Bahtiar, bisa saja dianggap pragmatis. Namun, pada batas tertentu dalam politik, partai memang harus pragmatis agar tidak hidup dalam alam nilai yang absolut dan tak memiliki relevansi dengan tindakan praktis.
Namun, pragmatisme itu tidak selamanya menguntungkan karena mengabaikan nilai-nilai prinsip. "Walau petinggi PKS membantah partainya pragmatis, selama beberapa tahun terakhir, PKS memang lebih pragmatis dalam berpolitik. Namun, itu terjadi pada semua partai karena tujuannya sama, yaitu untuk berkuasa," katanya.
Pragmatisme itu memang menimbulkan penolakan sebagian kader PKS. Namun, konflik itu bisa dikelola dengan baik sehingga tidak muncul ke permukaan.
Oleh: Anita Yossihara dan M Zaid Wahyudi
Sumber: Kompas.Com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar