jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Rabu, 10 Februari 2010

Saat Melik Nggendong Lali

Bagaimanakah gonjang-ganjing kasus pemotongan uang insentif guru yang lulus sertifikasi di Kabupaten Sukoharjo harus kita maknai bersama? Harian Joglosemar edisi Minggu, 31 Januari 2010 secara khusus mengupas kasus ini. Kasus ini ibarat bola salju yang terus menggelinding dan membesar. Kalau dari awal kita perhatikan liputan media massa terhadap kasus ini, maka secara sederhana dapat kita tarik sebuah kesimpulan yaitu hilangnya akal sehat akibat keinginan seseorang atau beberapa gelintir orang yang menggunakan kekuasaannya untuk memiliki sesuatu yang bukan menjadi haknya. Mungkin pejabat Dinas Pendidikan Sukoharjo juga merasa memiliki hak karena ikut berjasa dalam menandatangani dokumen sertifikasi. Setiap paraf dan tanda tangan dalam birokrasi, artinya uang.

Keinginan itu ada dan berjalan bergandengan tangan dengan sebuah kekuasaan, yang sudah dari sananya cenderung menindas dan mencari celah memanfaatkan setiap jengkal kesempatan untuk meraih keuntungan. Objek dari kekuasaan itu adalah mereka yang dianggap lemah, dapat dimanfaatkan dan dimanipulasi.

Keinginan yang dimiliki oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Sukoharjo untuk memungut uang, apa pun namanya sehingga terkumpul sebanyak Rp 720 juta sejak tahun 2006 (Solopos, 27/1/2010), adalah cara untuk menguasai orang lain. Mengambil apa yang dimiliki oleh orang lain secara kolektif adalah cermin dari banalitas kekuasaan. Ia menyaru dalam bentuk yang paling sederhana yaitu pungutan itu suka rela, ketika ketahuan orang banyak, Dinas Pendidikan mengelak bahwa tidak ada pungutan, sampai yang paling akhir adalah berupa ancaman pemecatan dan pencabutan sertifikat profesi.

Apa jadinya jika lembaga yang bertugas mengurus pendidikan, mengurus pendidik bersikap banal seperti tercermin dari kejadian di Sukoharjo? Banalitas kekuasaan di Dinas Pendidikan Sukoharjo dengan pelopor sang Kepala Dinas, adalah sangat nista jika yang menjadi pihak korban adalah pendidik, guru yang seharusnya dia lindungi dan dia berdayakan. Setiap kebohongan akan melahirkan kebohongan baru, itulah hasil dari banalitas kekuasaan.

Hanya karena tekanan dari seorang pejabat, seorang guru bernama Murdiyanto menggigit perasaan sendiri, menabrakkan diri terhadap realitas hitam ketika teman-temannya ramai-ramai menolak bahwa tidak pernah ada pungutan meski mereka sama seperti Murdiyanto juga dipotong tunjangan profesinya. Ini juga cermin buram bagi seorang pendidik yang setiap hari berhadapan dengan anak didik untuk membangunkan kesadaran mereka akan nilai-nilai hakiki kemanusiaan, yang di dalamnya penanaman nilai-nilai kejujuran. Ada yang lebih menyakitkan dalam diri seorang manusia yang tidak bersumber pada penderitaan hidup, yaitu rasa ketersia-siaan dan kehampaan ditinggalkan oleh kawan, dikhianati teman dan dihina dan diancam oleh atasan sebagaimana terjadi dan dialami oleh Pak Murdiyanto.

Mengingkari sesuatu hal yang pernah dialami memang sebuah keniscayaan, ketika seseorang berpikir mengenai keselamatan diri dan atasan, meskipun hal itu sangat pahit. Dalam ilmu psikologi disebut sindrom appodiance approach conflict, atau konflik yang menjauh dan mendekat. Mereka tahu bahwa yang benar adalah mengalami pungutan, namun mereka tidak enak hati berbicara jujur. Ketika seseorang mengingkari apa yang terjadi untuk membela sebuah kebijakan, maka kebijakan itu akan kehilangan kiblat. Sebab setiap kebijakan yang diambil seharusnya didasarkan kepada akal sehat dan hati nurani. Uang Rp 720 juta yang terkumpul dari pungutan guru sejak tahun 2006 bukan angka yang kecil, apalagi hasil pungutan guru yang merupakan penghargaan negara atas jasa-jasanya.

Mengingkari Hati

Saya menyesal melihat para guru mengingkari dirinya dan hati nuraninya. Lembaga pendidikan yang diisi oleh guru yang gemar mengingkari hati nurani menjadikan mereka ibarat manusia kardus. Yang kita perlukan dan anak didik perlukan untuk dijadikan contoh adalah guru yang real teacher. Guru yang tidak surut langkah oleh sebuah ancaman, yang tidak menguruk ketakutan saat diancam. Apa jadinya anak yang dididik oleh guru model begini?

Saya jadi teringat dengan buku Gitanjali karya Rabindranath Tagore, seorang sastrawan Asia pertama yang meraih Nobel Sastra dari India. Dia menulis, ketika masih ada bayi lahir yang mendapat pengasuhan orangtua dan pendidikan guru, maka sesungguhnya Tuhan belum kapok atau jera terhadap ulah buruk manusia. Orangtua yang masih mau mengasuh anaknya menjadikan anak memiliki pijakan, karena dari orangtualah pertama kali anak mendapat penanaman nilai-nilai kehidupan. Ketika masih ada guru yang mau mendidik anak di sekolah, artinya gelapnya dunia akan segera dapat diurai.

Tanpa asuhan orangtua, anak tidak tahu bahwa sesuatu itu ada yang baik dan buruk. Tanpa pendidikan guru, seorang anak tidak akan tahu apa arti huruf A meskipun sebesar dunia. Maka Tuhan tidak akan jera kepada manusia, termasuk yang mengambil uang tunjangan sertifikasi di Sukoharjo dan daerah lain, karena masih ada guru. Artinya, berterima kasihlah kepada orangtua dan gurumu!

Melik nggendong lali adalah sebuah tamsil, yang berarti keinginan membawa lupa. Uang Rp 600.000 memang kecil, namun jika diakumulasi sebanyak guru yang mendapat tunjangan profesi akhirnya menjadi angka besar. Dan uang itulah yang menyebabkan seorang pejabat menjadi lupa, sebab ada keinginan memiliki dan menguasai dengan pendekatan kekuasaan. Yang tidak disadari oleh pejabat yang memotong uang sebanyak Rp 600.000 yang akhirnya menjadi Rp 720 juta di Sukoharjo adalah bahwa mereka telah “mencuri tidur dari pelupuk mata anak guru” dan “mengambil mimpi dari kepala guru.”

Mungkin Rabindranath Tagore berlebihan dalam bertamsil, karena menempatkan guru dan orangtua kita, namun kemanusiaan yang merupakan nilai-nilai dasar harus dikedepankan dalam mengelola pendidikan. Nilai kemanusiaan seorang Murdiyanto yang seorang guru, dengan bahasa yang sederhana ada keinginan untuk menyenangkan anak saat mendapatkan uang sertifikasi. Menjanjikan sang anak membelikan sepatu, sepeda atau sekadar makan di rumah makan. Namun ketika uangnya berkurang karena dipotong oleh atasan, maka anak tidak dapat tidur dan sang bapak kehilangan mimpi sebab uang tidak cukup. Uang terpaksa dipakai melunasi utang dari toko bangunan sebab kemarin meminjam material bangunan agar rumahnya tidak bocor atau rusak yang mengancam keselamatan keluarga.


Penulis: Rumongso, Pegiat di Komunitas Sapu Lidi, Guru SD Djama’atul Ichwan Sala
Sumber: Harian Joglosemar Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar