jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Jumat, 15 Juni 2012

Salah Distribusi, Penulis yang Kena Getah?

"Pokoknya, asal mau sama mau, gak masalah, kok."
Akta menegakkan telinga.
"Eh, tapi harus tahu trik-trik jitunya. Jangan sampai hamil, juga kena penyakit kelamin. Gawat kan kalau sampai kena gituan."
"Eh, ini nih... ada cara praktis yang manjur. Udah banyak yang ngebuktiin!"
"Mana ... mana?"
"Eh, katanya sperma itu..."
"Nah, di majalah ini dikatakan, sel telur itu kalau ketemu ama sperma...."
"Eh, ada yang asyik punya, nih. Petunjuk dengan pakai KB kalender!"
Akta berlalu dengan cepat mendengar obrolan di lokasi kamar mandi yang diselingi suara cekikikan. Suara-suara perempuan. Akta merasa sangat risi. Kok bisa sih, mereka tidak malu membicarakan masalah semacam itu?

Petikan kalimat tersebut, ada di buku "Ada Duka di Wibeng", tulisan sahabat saya, Jazimah Al-Muhyi. Buku yang akhir-akhir ini membikin geger, karena ditemukan berada di rak perpustakaan SD di Kebumen. Para guru merasa heboh, karena kalimat-kalimat tersebut dinilai mengandung unsur pornografi, dan tidak cocok dicerna dalam logika anak SD. Dalam blog http://sakobere.blogspot.com/2012/05/ada-duka-di-wibeng-membuat-resah.htmlbahkan disebutkan sebuah komentar dari seorang guru, "ngelus dhadha, yang nulis mestinya belajar mengenal dunia bocah dulu ..." 

O, ya, blog ini, petikan naskahnya hanya sampai pada: "Eh, ada yang asyik punya, nih. Petunjuk dengan pakai KB kalender!" 

Sementara paragraf di bawahnya tidak diambil. 

Akta berlalu dengan cepat mendengar obrolan di lokasi kamar mandi yang diselingi suara cekikikan. Suara-suara perempuan. Akta merasa sangat risi. Kok bisa sih, mereka tidak malu membicarakan masalah semacam itu?

Sekilas, saya juga ngelus dada. Jika anak saya kedapatan membaca buku ini, pasti akan saya larang. Tapi, tunggu dulu!

Betulkah Jazimah adalah sosok yang tak mengenal dunia bocah? Sehingga ia memasukkan buku ini ke perpustakaan SD? Tentu tidak! Jazimah ibu berputera 4, yang bahkan sangat mengerti dunia anak. Tetapi, ia tak menulis buku ini untuk anak. Lihatlah cover buku ini dengan seksama.


Amati bagian pojok bawah sebelah kiri buku ini. Tulisan "For Teenager" terlihat jelas, memperlihatkan bahwa buku ini memang ditulis khusus untuk remaja. Serial Akta memang bercerita tentang seorang remaja bernama Akta dan sekolahnya, SMA Widya Bangsa yang dipelesetkan menjadi WIBENG. Diceritakan bahwa WIBENG adalah sebuah SMA yang dipenuhi dengan remaja-remaja 'alay' dengan pergaulan yang kacau-balau, dan Akta berusaha untuk mengubah suasana tersebut sebisanya.

Untuk logika seorang remaja, obrolan semacam itu jelas-jelas suatu hal yang sangat biasa. Lihatlah berita-berita di bawah ini!

4 dari 5 Remaja Kecanduan Pornografi (Lihat Di Sini!)
62,7% Remaja Sudah Berhubungan Seks (Baca di Sini!)
Dan silakan Anda search sendiri berita-berita semacam itu. 

Tampak betul usaha Jazimah untuk mengkonter freeseks di kalangan remaja, lewat tulisan ini. Dan, sebagai seorang ibu yang sebentar lagi memiliki anak berusia remaja, saya justru berterimakasih kepada sosok-sosok semacam Jazimah, yang mencoba memotret realita yang ia lihat sendiri di kalangan remaja dan memberikan solusinya.

Jadi, apakah Jazimah salah? Tidak! Jazimah telah melakukan usaha yang terpuji. Dan untuk ukuran remaja, buku tersebut jauh dari pornografi.

Sayangnya, entah kenapa, buku tersebut ternyata didistribusikan untuk perpustakaan SD. Ini yang saya sangat kaget! Mengapa bisa begitu? Setahu saya, buku ini memang lolos penilaian dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan (PUSKURBUK). Silakan Anda cek di link ini! Daftar Buku Lolos Penilaian Puskurbuk. Tetapi, tentu saja ini tak lantas menjadi acuan bahwa buku ini boleh masuk ke level SD. Siapa yang salah? Bukan kompetensi saya untuk menudingnya.

Yang ingin saya ungkapkan hanya, betapa berat beban psikis yang ditanggung oleh Jazimah. Ia mengaku schook mendengar pemberitaan gencar media, yang memfokuskan permasalahan justru pada konten buku, dan bukan mekanisme distribusinya. Media, kebanyakan tanpa konfirmasi, menyebut buku ini sebagai buku porno.

Suara Merdeka Edisi Cetak tanggal 9 Juni 2012 misalnya, menuliskan berita dengan judul: Buku Porno Mulai Ditarik.
Jogja Okezone.com juga mengeluarkan berita dengan judul: Buku Bacaan Berbua Porno Beredar di Sekolah Dasar

Tanpa konfirmasi dan membaca isi buku tersebut, mendadak bertebaran status-status di FB, Twitter, dan juga artikel-artikel di blog-blog yang menuding bahwa "Ada Duka di Wibeng" adalah buku porno. Ketika saya men-search "Ada Duka Di Wibeng Buku Porno di Google" dalam waktu 0,35 detik, ada 3,260 entry.

Apakah buku Ada Duka di Wibeng itu buku porno? Tidak! Saya katakan, sama sekali tidak porno. Hanya, tidak cocok untuk SD. Dan Jazimah, serta penerbit, memang jelas-jelas menyebutkan, itu buku remaja. Tetapi, mengapa buku itu ada di SD? Tentu bukan Jazimah yang membawa buku itu ke SD dan menawarkannya, bukan? Tetapi, mengapa dia yang harus kena getahnya? Semua orang, yang tak tahu menahu tapi sok tahu, mengarahkan jemari ke dia. "Hei, kamu, si penulis buku porno!"

Saya sedih, karena Jazimah telah dihakimi dengan minim konfirmasi. Saat rame-ramenya pemberitahuan itu, bahkan ada seorang teman Ustadz yang SMS ke saya, dia sangat khawatir jika buku tentang pernikahan yang ia tulis dan diterbitkan oleh penerbit tempat saya bekerja, ternyata juga 'salah kamar' dan masuk perpustakaan SD. Saya memahami kekhawatiran beliau. Di Indonesia, budaya konfirmasi itu masih langka. Bisa jadi orang-orang kemudian akan menuding buku itu sebagai buku porno, dan beliau disebut ustadz porno. Halah!

Lepas dari itu semua, jadikan momen ini sebagai kesempatan untuk membenahi proses distribusi buku, khususnya lewat DAK yang hingga saat ini banyak dinilai karutmarut.

Jangan sampai kita justru menuding penulis yang baik sebagai biang pornografi! Itu sama dengan fitnah, Jenderal!
 
Sumber: Afifah Afra
 
 
Silahkan baca juga untuk pengayaan tema :
Suara Merdeka
Afifah Afra
Forum Lingkar Pena (FLP)
Indonesia Optimis

Solopos
Kompasiana
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar