jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Jumat, 15 Juni 2012

Salah Distribusi, Penulis Terfitnah!

Dunia perbukuan kembali dibuat hiruk-pikuk. Jika beberapa waktu yang lalu diramaikan kasus lembar kerja siswa (LKS) dengan muatan yang tak layak untuk anak-anak, sekarang diramaikan dengan aneka buku ”porno” yang didistribusikan ke perpustakaan SD. Tujuh buku dituding sebagai buku sarat muatan seksual yang tak cocok untuk siswa SD. Tujuh buku ”porno” itu ternyata diterbitkan PT Era Adicitra Intermedia Solo.

Dari tujuh buku tersebut, empat di antaranya ditulis oleh anggota Forum Lingkar Pena, yakni Tidak Hilang Sebuah Nama (Galang Lutifyanto), Ada Duka di Wibeng (Jazimah Al Muhyi), Syahid Samurai (Afifah Afra, nama pena saya sendiri) dan Festival Syahadah (Izzatul Jannah). FLP adalah organisasi pengaderan penulis dengan karya-karya mencerahkan.

Koran Pikiran Rakyat, Bandung, misalnya, dalam terbitan edisi Selasa (12/6) menuliskan: Menurut Guru kelas VI SD Cempaka Arum, Basin, pada bab 9 (Buku Ada Duka di Wibengpen) berjudul Asal Mau Sama Mau ada pemaparan cerita yang sangat vulgar. Misalnya, disebutkan bagaimana berhubungan badan tetapi tidak sampai hamil dan terkena penyakit. Hal itu sangat tidak pantas dibaca anak usia SD karena mereka dapat menyalahartikan. 

Lebih seram lagi adalah berita di koran Republika  edisi Selasa (12/6) yang ditulis oleh Arie Lukihardianti. Silakan disimak: Novel Ada Duka di Wibeng sarat muatan seksual yang tak layak dibaca murid SD, pada beberapa bagian, tertulis dalam novel tersebut, anjuran untuk melakukan hubungan seksual yang aman alias tidak hamil, dan membenarkan hubungan seksual siswa SMP dengan asas suka sama suka.
Sedangkan novel Syahid Samurai, novel tersebut dianggap penghancur moral anak-anak dengan menyajikan cerita berbau seksual dengan wanita kedua. Sedangkan novel Festival Syahadah dan Sabuk Kiaki menggambarkan kekerasan perang di Palestina dan menyajikan gambar berbau kekerasan.

Penafsiran Keliru
Ada beberapa hal yang ingin saya cermati dari realitas tersebut. Saya melihat ada semacam penafsiran yang keliru, khususnya pada empat novel yang telah saya baca, dan bahkan novel Syahid Samurai itu saya tulis sendiri. Novel Duka di Wibeng menceritakan seorang tokoh bernama Akta yang bersekolah di SMA Widya Bangsa dan dipelesetkan menjadi Wibeng.

Akta adalah seorang remaja yang hidup di antara para remaja SMA dengan segala pergaulannya yang kacau balau. Di Bab IX yang menghebohkan itu diceritakan bagaimana bobroknya anak-anak SMA Wibeng yang sudah dilanda demam free sex. Judul bab itu adalah Asal Mau Asal Mau? Tanda tanya di akhir judul sebenarnya menunjukkan sebuah tanda tanya penulisnya akan problematika free sex di antara remaja.
Agar jelas, inilah petikan bab itu.

“Pokoknya, asal mau sama mau, gak masalah, kok.”
Akta menegakkan telinga.
“Eh, tapi harus tahu trik-trik jitunya. Jangan sampai hamil, juga kena penyakit kelamin. Gawat kan kalau sampai kena gituan.”
“Eh, ini nih… ada cara praktis yang manjur. Udah banyak yang ngebuktiin!”
“Mana … mana?”
“Eh, katanya sperma itu…”
“Nah, di majalah ini dikatakan, sel telur itu kalau ketemu ama sperma….”
“Eh, ada yang asyik punya, nih. Petunjuk dengan pakai KB kalender!”
Akta berlalu dengan cepat mendengar obrolan di lokasi kamar mandi yang diselingi suara cekikikan. Suara-suara perempuan. Akta merasa sangat risi. Kok bisa sih, mereka tidak malu membicarakan masalah semacam itu?

Mari kita cermati tulisan tersebut! Di petikan itu terlihat jelas bahwa Akta tidak setuju dengan apa yang disampaikan para perempuan yang ia sebut ”tidak malu” itu. Di dalam fiksi kita mengenal tokoh antagonis. Hanya orang bodoh yang justru menuruti pesan-pesan yang dibawa oleh tokoh antagonis. Sebagaimana dalam kisah Bawang Merah dan Bawang Putih. Tentunya, para pembaca tak akan menganggap pesan yang dibawa si tokoh antagonis Bawang Merah sebagai pesan moral yang harus diikuti.

Demikian pula dalam buku Ada Duka di Wibeng. Dari petikan tersebut, tampak jelas bahwa kata-kata itu muncul dari tokoh antagonis yang ditentang Akta, sebagai tokoh pembawa pesan penulis. Dan, apakah novel ini sarat muatan seksual? Ketika saya membaca buku ini dengan seksama, ternyata saya hanya menemukan adegan ”vulgar” itu pada petikan saya saya cantumkan di atas!

Dan, apakah adegan tersebut adalah sebuah penggambaran dari hubungan badan sebagaimana yang terdapat pada buku-buku porno yang banyak beredar di toko-toko buku dan bisa dengan mudah dibeli anak-anak? Silakan Anda menjawab sendiri! Novel Syahid Samurai (SS) yang saya tulis dengan nama pena Afifah Afra juga dituduh sebagai perusak moral bangsa karena ada hubungan seksual dengan wanita kedua.

Baiklah, saya terangkan isi novel tersebut. Novel SS adalah sekuel dari novel Bulan Mati di Javasche Oranje (BMDJO) yang mendapatkan penghargaan sebagai runner up novel terbaik FLP Award 2002. Tokoh utama novel tersebut adalah Mahmud dan Johana. Pada novel BMDJO, diceritakan bahwa Mahmud dan Johana, yang telah menjadi suami istri, terpisah karena perang.

Mereka berpisah hingga puluhan tahun. Lantas, di novel SS, saya kisahkan Mahmud telah mendirikan sebuah pesantren. Ia senantiasa menduda, sementara istrinya menghilang entah ke mana. Mahmud menerima usulan seorang kiai dari pesantren lain untuk dinikahkan dengan putri koai tersebut. Kemudian, karena suatu hal, Mahmud dan Johana kembali bertemu.

Melihat Johana dalam keadaan sangat memprihatinkan, terlunta-lunta dan miskin, istri kedua Mahmud menyarankan agar Mahmud kembali menikahi Johana. Ia menerima dengan ikhlas. Apakah penggambaran semacam itu disebut sebagai merusak moral bangsa? Apalagi, di novel ini, sama sekali tak ada satu pun kata yang menjurus pada adegan seksual secara vulgar. Demikian juga di novel Festival Syadahah dan Tidak Hilang Sebuah Nama. Saya tak menemukan sedikit pun unsur yang mengarah kepada pornografi.

Salah Distribusi?
Namun demikian, tentu kami tak menampik, bahwa novel-novel tersebut memang bukan untuk anak-anak. Dan itu kami sadari betul. Ketika saya menulis Syahid Samurai, misalnya, saya juga tak membayangkan novel tersebut akan dibaca oleh anak-anak. Segmennya jelas: novel dewasa. Akan tetapi, meskipun novel tersebut bersegmen dewasa, kami juga tetap memiliki etika untuk membuat novel yang santun, tidak lucah (porno).

Akan tetapi, jika novel tersebut ditemukan di perpustakan SD, saya benar-benar kaget. Ini jelas-jelas tindakan yang menurut kami salah. Salah kaprah kian berlanjut setelah media massa kemudian mengangkat hal ini dengan tajuk Buku Porno Masuk SD. Celakanya, saya sebagai salah satu penulis ”buku porno” itu tak dimintai konfirmasi sekali pun, dari siapa pun. Dan, ketika saya membaca berita-berita yang berseliweran, kesan yang ditangkap dengan kuat adalah, buku-buku itu sungguh akan merusak moral anak-anak dengan kepornoannya yang sangat vulgar.

Sebagai penulis, saya merasa sangat dizalimi. Saya sudah berusaha untuk membikin buku sesantun mungkin dengan segmen yang tepat. Lantas buku itu ”salah kamar” dan tanpa konfirmasi buku saya dituduh porno. Buku yang merusak mental bangsa dengan adegan seksual dengan wanita kedua! Sebuah tuduhan yang sangat berbeda dengan konteks cerita.

Agar peristiwa ini tak terulang, saya memohon pihak-pihak yang terkait segera melakukan beberapa hal. Pertama, pihak yang berwenang mendistribusikan buku-buku ini harus membenahi sistem distribusi. Buku sebagus apa pun jika ditujukan pada segmen yang tidak tepat, tentu akan sangat berbahaya. Dan, tampaknya jika karut-marut distribusi tak segera dibenahi, hampir semua penulis akan mengalami nasib seperti saya dan teman-teman.

Kedua, kepada para wartawan, budayakan konfirmasi! Bukankah salah satu dari etika jurnalistik adalah cover both sides? Mengapa sebagai pihak yang dirugikan atas berita ini, saya tak pernah sekali pun dimintai konfirmasi? Jangan menghakimi buku A buruk, buku B jorok, tanpa membaca isi buku tersebut. Dilihat dari berita yang berseliweran, tampak jelas para pewarta tak memahami konteks cerita dari buku-buku yang mereka wartakan.

Ketiga, kepada masyarakat luas, pahami konteks pornografi dengan baik. Jangan sekadar mengatakan itu porno, padahal buku itu sebenarnya tidak porno. Upaya perbaikan di sebuah bidang jangan sampai menimbulkan kerusakan di bidang yang lain.

Sumber: Solopos


Silahkan baca juga untuk pengayaan tema :
Suara Merdeka
Afifah Afra
Forum Lingkar Pena (FLP)
Indonesia Optimis

Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar