Oleh: M. Indra Kurniawan, S. Ag.
Syafaqah artinya lembut dan halusnya perasaan. Dalam makna positif syafaqah diartikan sebagai sikap jiwa yang selalu ingin berbuat baik dan menyantuni orang lain serta penuh kasih sayang.
Sikap seperti ini digambarkan Allah SWT dalam QS Ali Imran: 159,
”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Syafaqah itu diperintahkan oleh Nabi
Rasulullah SAW adalah teladan terbaik dalam hal ini, dalam kondisi apa pun syafaqah selalu tertanam dalam hatinya yang mulia.
Banyak contoh mengenai hal ini, salah satunya adalah saat berkecamuk perang Uhud dimana kondisi kaum muslimin dalam keadaan terdesak, Rasullah sendiri luka-luka, pipinya pecah dan beberapa giginya rontok akibat tombak kaum musyrikin, beliau tetap menghiasi dirinya dengan syafaqah. Beliau menolak ketika diminta mengutuk dan menyumpahi kaum musyrikin. Beliau malah berdo’a: ”Ya Allah berilah hidayah kepada kaumku, sebab mereka itu tidak mengerti…”
Demikianlah, syafaqah menjadi ciri hati seorang mu’min. Sikap ini berlaku umum, bukan hanya diantara sesama mu’min.
Thabrani meriwayatkan bahwa pada suatu saat Rasulullah bersabda di hadapan para sahabat: ”Tidak sempurna iman kalian kecuali kalian berkasih sayang.” Mendengar hal itu salah seorang sahabat berkata: ”Kami semua telah berkasih sayang..”. Rasulullah kemudian menjelaskan: ”Sesungguhnya yang kumaksud bukanlah hanya berkasih sayang antara salah seorang kalian kepada sahabatnya (sesama mu’min), akan tetapi berkasih sayang ’aamah (secara umum)”
Sementara mereka yang berhati kejam dinilai oleh Nabi kita sebagai orang yang paling jauh dari Allah SWT. Beliau bersabda:
”Sesungguhnya manusia yang paling jauh dari AllahYang Maha Tinggi adalah orang yang berhati kejam (al-’aasi-l qolbi)”. (HR. Thabrani)
Jadi, tidak alasan bagi kita untuk tidak menghiasi diri dengan syafaqah, terlebih lagi jika kita renungkan firman Allah berikut ini,
”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya: 107).
Menempatkan Syafaqah dalam sikap yang positif
Lembut dan halusnya perasaan harus ditempatkan dalam sikap yang positif, contohnya adalah:
Menyayangi anak
Suatu saat salah seorang sahabat yang bernama Al-Aqra bin Habis At-Tamimi melihat Rasulullah menciumi cucunya dengan penuh kasih sayang, ia lalu berkata di hadapan Nabi bahwa dirinya memiliki 10 orang anak, dan tak pernah satu pun diciumnya. Nabi kemudian bersabda: ”Siapa yang tidak menyayangi, tentu tidak akan disayangi…”
Menyayangi anak—sebagai bukti adanya syafaqah—tentu harus diwujudkan pula dengan tindakan-tindakan lain seperti memberinya gizi yang cukup (2: 233), memberi pendidikan yang baik sebagaimana diperintahkan Nabi, ”Tidak ada pemberian yang paling utama yang diberikan seorang ayah kepada anaknya dari memberikan didikan yang baik (HR. Tirmizi), dlsb.
Santun dalam berbicara
Rasulullah SAW bersabda kepada istrinya, Aisyah r.a., ”Sesunggunya diantara kelompok manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah ta’ala adalah mereka yang dijauhi manusia untuk menghindari kejahatannya”.
Hadits ini diriwayatkan Bukhari, berkaitan dengan keheranan Aisyah ra. ketika melihat Rasulullah berbicara dengan lemah lembut kepada seseorang yang disebut oleh Rasulullah sebagai bi’sa akhul ’asyirah (saudara kerabat yang buruk).
Peka terhadap kesulitan orang lain
Seorang muslim harus dapat merasakan suka duka yang dialami saudara-saudaranya, karena mereka hakekatnya adalah satu tubuh yang saling menguatkan.
Ibnu Abbas dalam suatu riwayat dari Baihaqi pernah diceritakan sejenak meninggalkan i’tikafnya, karena dia pernah mendengar Nabi bersabda: ”Barangsiapa pergi untuk berusaha mencukupi kebutuhan saudaranya dan berhasil, itu lebih baik daripada beri’tikaf di masjid selama sepuluh tahun. Dan barangsiapa beri’tikaf sehari dengan niat ingin memperoleh keridhoan Allah, baginya Allah akan menjadikan tiga parit lebih jauh dari dua ufuk Ttimur dan Barat yang akan memisahkannya dari neraka”.
Begitulah syafaqah diwujudkan dalam sikap yang positif. Sementara itu sifat mudah tersinggung, cepat marah, mudah kecewa juga lahir dari kelembutan dan kehalusan perasaan. Akan tetapi ini adalah syafaqah yang negatif yang harus kita jauhi.
Kiat menghaluskan perasaan
Syafaqah dapat dibentuk melalui nilai, sarana dan lingkungan pendidikan serta pembinaan, sebagaimana Rasulullah dididik dalam nilai dan lingkungan yang membuat beliau memiliki kehalusan jiwa dan perasaan.
Ada beberapa kiat yang bisa kita coba untuk mengahaluskan perasaan, diantaranya adalah:
1. Tingkatkanlah tilawah dan tadabbur Qur’an kita.
2. Banyak-banyaklah menyebut dan mengingat nama Allah dalam setiap gerak langkah hidup kita.
3. Perbanyaklah interaksi dengan hadits-hadits dan sirah Nabi serta riwayat para sahabat. Terutama yang berkaitan dengan kehalusan jiwa dan perasaan.
4. Bangun dan carilah lingkungan yang kondusif / berjama’ah dalam kebaikan.
5. Selalu sadar dengan hakikat kehidupan, bahwa tujuan utama kita adalah keridhoan Allah SWT, bukannya dunia yang fana ini.
Hikmah bersifat halus
Hikmah bersifat halus dan lembut yang paling nyata adalah seperti yang disebutkan firman Allah SWT dalam Qur’an surat Ali Imran ayat 159 di atas. Kelembutan akan membuat orang mendekat, sedangkan bersikap keras dan berhati kasar akan membuat orang menjauh.
Jadi sifat lemah lembut apa pun alasannya haruslah diutamakan, bahkan ketika kita berhadapan dengan orang paling ingkar sekalipun. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT,
”Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. Thaha: 44)
Ayat ini adalah perintah Allah kepada Musa dan Harun untuk berdakwah kepada Fir’aun yang terkenal dengan kesombongannya yang luar biasa, yakni mengaku sebagai tuhan. Kalau kepada orang sebejad Fir’aun saja harus berlemah lembut, apalagi kepada saudara kita sesama muslim?
Tapi tentu saja ini bukan berarti menghilangkan sikap tegas dan keras pada orang yang ingkar dan melecehkan agama Allah. Harus difahami bahwa tegas dan kerasnya seorang muslim, juga karena adanya syafaqah. Mereka berjihad hanyalah untuk menyeru manusia kepada khaliq, berorientasi pada akhirat yang kekal serta menegakkan keadilan dan membebaskan manusia dari kezaliman. Mereka berdakwah dan beramar ma’ruf nahi munkar karena cinta dan kasih sayang yang tertanam dalam diri-diri mereka.
Inilah syafaqah….mudah-mudahan kita dapat memahaminya.
* * * * *
Daftar Bacaan:
- Akhlak Seorang Muslim, Muhammad Al-Ghazaly
- Etika Islam, Miftah Faridl
- Kurikulum Tarbiyah Islamiyah II, Tim Raudhotul Jannah
Sumber : Al-Intima
jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu
Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..
Kamis, 20 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar