Pembaca yang budiman,
Saya ingin mengajak anda berfikir dan memberikan pendapat sejenak melalui tulisan (opini) saya pagi ini mengenai PKS dan Reshuffle Kabinet Jilid II.
Pembaca yang budiman,
Baru-baru ini, kita menyaksikan rangkaian pemberitaan di dalam negeri yang mengulas dan menampilkan rangkaian pelaksanaan perombakan kabinet Pemerintahan Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudoyono bersama Wakilnya Bapak Budiono.
Seperti yang di cantumkan dalam Pasal 17 Ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan : “Presiden memiliki kewenangan untuk melakukan reshuffle. Yang merupakan hak Presiden yang dijamin Undang-undang."
Selama tiga pekan pemberitaan, akhirnya hasil reshuffle kabinet keluar. Kabinet baru hasil reshuffle bentukan pemerintahan SBY-Budiono terbentuk. Adanya pergantian dan pergeseran menghiasi reshuffle kali ini. Penambahan jumlah wakil menteri dalam komposisi kabinet juga terlaksana. Meskipun dalam perjalanannya, pergantian dan penambahan jumlah wakil menteri mendapatkan kritikan dan sorotan dari publik sejumlah pengamat dan elit politi. Hingga akhirnya Presiden SBY mampu dengan berani melakukan hak amanat UU tersebut.
Ada delapan nama baru masuk kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II, tujuh menteri dan seorang kepala Badan Intelijen Negara, serta empat menteri bergeser tempat.
Reshuffle juga ditandai berkurangnya kursi menteri untuk dua partai politik, yakni Demokrat dan PKS, yang kehilangan masing-masing satu menteri. Keduanya ialah mantan Menteri Perhubungan Fredy Numberi (Demokrat) dan mantan Menristek Suharna Suprapranata (PKS).
Demokrat sendiri rela jatah menterinya berkurang. Demokrat mendukung kebijakan Presiden SBYyang mengurangi jatah menteri dari partainya. Kebijakan itu dinilai pilihan terbaik untuk kepentingan bangsa dan negara.
PKS sendiri yang sebelumnya gencar dan paling getol menyampaikan ancaman dan peringatan bahwa akan menarik semua menterinya dan keluar dari koalisi bilamana jatah menterinya berkurang satu, kini malah berbalik arah menolak dikatakan ingin keluar dari koalisi karena merasakan dirugikan. Padahal sampai detik ini, sejumlah petinggi dan politisi PKS terus menggencarkan dan menyalahkan Presiden SBY atas keputusan mengganti menteri PKS.
Sekarang isu yang beredar adalah, PKS tidak berani keluar dari koalisi karena menyadari akan pentingnya logistik untuk persiapan Pemilu 2014. PKS menyadari bahwa Menteri adalah jabatan strategis untuk menggalang segala sumber daya manusia dan sumber daya materi. PKS menyadari betul bahwa pengurangan satu jatah menteri memberikan sinyal bahwa PKS tengah terancam logistik pemilu 2014. Maka wajar saja kalau PKS memuntahkan kembali pernyataannya akan keluar dan menarik semua menterinya bilamana menterinya berkurang satu. Namun, publik terlanjur melihat.
Pembaca yang budiman,
Keberadaan PKS di Kementerian dan posisi PKS di pemerintahan adalah satu paket yang diikat kontrak politik. Kontrak politik tersebut dibicarakan langsung antara pak SBY dan PKS yang diwakili Ketua Majelis Syuro. PKS selalu menggadang-gadangkan diri bahwa mereka mempunyai kontrak koalisi khusus yang spesial sebelum pemerintahanSBY-Budiono mencalonkan diri. PKS merasa, SBY tidak bisa dengan seenaknya mencaplok satu menteri mereka. Itulah sebabnya PKS merandang karena terjadi pengurangan menteri dan disini PKS merasa sangat dirugikan.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring yang tadinya santer terdengar akan diganti oleh Menteri Pemuda Olah Raga, Andi Mallarangeng, kini malah tetap berada di posisinya. Tifatul Sembiring juga sempat dikabarkan akan dicopot dari Jabatannya karena desakkan publik atas kasus penyedotan/pencurian pulsa yang nota bene adalah tanggungjawab Kementerian Keminfo.
Gonjang-ganjing perombakan kabinet, sempat membuat sejumlah kader PKS ketakutan dan merandang. PKS merasa dalam posisi terncam. Sehingga PKS selalu intens melakukan menuver politik. Sesuai dengan khas-nya adalah politik “gertak sambal” sudah menjadi ciri khas PKS sejak Pemerintahan SBY-Budiono di Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I.
Mengingat PKS adalah mitra koalisi yang paling sering melanggar kontrak koalisi. Kontrak politik yang telah disepakati oleh dua pihak tentunya bisa saja berubah akibat pengaruh dari dinamika lapangan. PKS juga yang paling getol mengkritik dan menyerang pemerintah. Penggembosan PKS saat mafia pajak. Angka 4 menteri yang ditagih PKS dari zaman lampau sampai detik ini jelas tidak lagi relevan akibat ketidakkonsistenan PKS.
Kesimpulannya adalah bahwa hilangnya satu kursi menteri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadikan polemik dalam kontrak koalisi. menurut hemat penulis, PKS tidak akan berani keluar dari koalisi. Kerugian yang akan dialami PKS jika keluar dari koalisi terletak pada dana. Selain itu, dengan adanya menteri PKS di kabinet, otomatis akan mendompleng partai tersebut dalam menyambut Pemilu 2014. Saya rasa langkah PKS tetap di pemerintahan merupakan langkah yang bagus. Setidaknya mereka akan butuh dana untuk pemilu nanti.
Sebelum reshuffle PKS melakukan pengancaman, tapi setelah reshuffle, mereka gelar pertemuan dan pertemuan itu menghasilkan perubahan sikap untuk tidak keluar dari koalisi. Disini PKS sadar betul pernyataan mereka.
Kini PKS dihadapkan pada persoalan yang sangat genting. Publik sangat berharap PKS dan sejumlah menterinya bisa mengambil sikap untuk keluar dari koalisi. PKS harus menarik semua menterinya sebagai bukti pernyataan PKS yang terlanjut keluar. PKS adalah partai terbesar ke empat setelah Golkar. Selayaknyalah PKS mempertaruhkan kredibilitas dan konsistenannya untuk mengembalikan kepercayaan dan militansi simpatisannya. PKS sudah tidak lagi bisa menarik pernyataannya. PKS harus berani membuktikan kepada publik bahwa mereka bukan partai yang hanya bisa “Gertak sambal” lawan politiknya.
Kita tunggu sikap PKS dalam mengambil keputusan dalam menyikapi kontrak koalisi yang telah mereka bangun. Apakah PKS akan mengorbankan simptisan atau mengubur impian itu demi merajut dan merebut sejumlah dana logistik menjelang 2014. Hanya PKS yang bisa jawab. Salam
Sumber: Kompasiana
jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu
Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar