MENJELANG peringatan Hari Pangan Sedunia tiap 16 Oktober, masyarakat Jateng dikejutkan berita adanya krisis pangan di Wonogiri. Berita itu bukan isapan jempol, dalam rapat pembahasan RAPBD 2012 terungkap ada permintaan pemkab pemenuhan 8 ton makanan pokok untuk daerah rawan pangan di Paranggupito Wonogiri. Fakta itu ironi mengingat dalam beberapa kesempatan Gubernur Bibit Waluyo menegaskan bahwa provinsi ini merupakan salah satu penyangga beras nasional, dan faktanya secara data statistik per Juli 2011 surplus 2.965 juta ton beras.
Kondisi itu juga bertolak belakang dengan kebijakan nasional yang sedang berpihak pada penyediaan pangan. Sejak 2010 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menempatkan ketahanan pangan sebagai salah satu prioritas.
Bahkan Desember 2010 Kementerian Perencanaan Pembangunan/ Bappenas mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Pangan Dana Gizi 2011-2015. Keluaran dari aksi ini salah satunya konsumsi pangan dengan asupan 2.000 kkal/ orang/ hari bisa segera terwujud. Pertanyaannya mengapa masih ada berita rawan pangan di Jateng?
Kondisi pangan di sebuah daerah dapat dilihat melalui dua pendekatan, yakni ketersediaan bahan pangan dan aksesibilitas pangan penduduk di satu daerah. Tahun 2012, Jateng memberikan perhatian serius masalah ketersediaan pangan. Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran Sementara APBD 2012 mencantumkan anggaran ketahanan pangan di Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan, Peternakan, dan Perkebunan lebih dari Rp 46,917 miliar.
Terkait dengan ketersediaan pangan, salah satu kendala utamanya adalah pola pikir sebagian masyarakat, misalnya anggapan ”baru (disebut) makan jika mengonsumsi nasi” atau ”makan umbi-umbian berarti warga miskin”. Menilik kasus Paranggupito Wonogiri yang diberitakan rawan pangan sejatinya kecamatan itu menjadi sentra penghasil umbi-umbian, terutama ubi pohon, talas, uwi, dan mbothe.
Namun karena belum semua warganya mengenal food combining dan terjebak paradigma anggapan miskin bila tidak makan nasi maka pada musim nggaplek mereka menjual hasil panen ubi kayu untuk beli beras agar bisa makan nasi tiga kali sehari. Karena harga beras jauh lebih tinggi dari harga gaplek maka persediaan pangan mereka berkurang.
Modernisasi Lumbung
Perlu ada peningkatan pemahaman bahwa kebutuhan konsumsi manusia lebih ditentukan oleh besaran asupan kalori bukan dari jenis dan banyaknya jumlah yang dikonsumsi. Perubahan pola pikir ini perlu dijadikan isu utama dalam komunikasi dengan masyarakat. Selain itu, pemerintah perlu segera mengembalikan fungsi lumbung pangan dalam gaya hidup masyarakat.
Zaman dulu hampir di tiap rumah kita menjumpai bangunan untuk menyimpan bahan pangan yang dikenal dengan lumbung, atau minimal ada tempat penyimpanan yang disebut gledhek. Namun karena keterbatasan lahan serta isu modernisasi, lumbung dan gledhek menghilang. Saat ini momentum tepat untuk mengembalikan lumbung ke hati masyarakat, tentu dengan format dan tata kelola berbeda.
Untuk mengembalikan lumbung sebagai jantung ketahanan pangan ini ada dua langkah yang bisa dilakukan. Pertama; membangun lumbung yang dimodernisasi dalam konsep dan fasilitas di tiap desa yang berisiko rawan pangan. Lumbung modern itu perlu dilengkapi alat pengering, lantai jemur, dan manajemen baru yang bisa disinergikan dengan koperasi unit desa (KUD).
Kedua; menumbuhkan lumbung hidup di pekarangan. Cara ini bisa ditempuh dengan membudidayakan menanam di pekarangan dengan tanaman yang memiliki kandungan kalori memadai. Budaya menanam untuk keasrian, perlu ditambah aspek manfaat terkait dengan fungsinya sebagai cadangan pangan keluarga. Terobosan penumbuhan sentra pangan melalui gerakan revitalisasi lumbung dan menumbuhkan desa mandiri pangan merupakan upaya menumbuhkan kesadaran mandiri pangan. (10)
Oleh: Hadi Santoso, anggota Komisi Perekonomian (Komisi B) DPRD Jateng dari Fraksi PKS
Sumber: Suara Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar